JAKARTA (riaumandiri.co)-Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, menegaskan, cara paling tepat untuk membuktikan adanya kebakaran hutan dan lahan, adalah dengan melakukan pengecekan langsung ke lapangan. Langkah itu akan semakin efektif bila dilakukan dengan cara operasi terpadu.
Harus
Hal itu dilontarkannya mengenai kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang mulai terjadi di beberapa kawasan di Tanah Air, termasuk Provinsi Riau.
Menurutnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) tidak bisa bergantung sepenuhnya pada data hot spot dalam penanganan Karhutla.
"Yang paling efektif adalah mengecek langsung di lapangan dengan sistem patroli terpadu," ujarnya, usai halal bihalal dengan Presiden Jokowi di Istana Negara Jakarta, Senin (11/7).
Ia menjelaskan cara melihat data titip api harus lihat peluangnya berapa besar misal 50 persen. Itu artinya kalau dicek di lapangan, 50 persennya memang ada hot spot itu.
"Saya paling kaget itu waktu tanggal 2 atau 3 Juli, katanya ada 300 hot spot, saya tak percaya dengan data itu dan minta direktur saya langsung turun ke lapangan," katanya.
Ia menegaskan jika kondisi datanya sudah seperti itu maka cara paling efektif adalah mengecek langsung di lapangan dengan sistem patroli terpadu.
"Memang data hot spot dari satelit menjadi acuan, tapi itu sentralnya ada di Singapura. Saya tidak mau curiga tetapi kita harus tetap waspada," ucapnya.
Menurut dia, kondisi Indonesia berbeda sehingga tidak bisa digunakan sistem hot spot itu mentah-mentah.
"Negara lain itu homogen sehingga mereka bisa pakai sistem kontrol komputer dan sejenisnya. Kalau sistem itu dipakai di Indonesia, ternyata setelah dicek di lapangan ternyata hot spot itu tobong pembakaran batu bata, tempat pembuatan arang oleh rakyat. Karena itu sistem hot spot itu tidak bisa sepenuhnya jadi acuan," tuturnya.
Sebelumnya Menteri LHK menjelaskan potensi kebakaran hutan setiap tahunnya di Indonesia dapat terbagi menjadi tiga tahap krisis. Fase pertama kebakaran hutan kerap terjadi antara awal bulan Februari hingga Maret. Krisis tahap kedua, menurut Siti, terjadi sekitar akhir Juni hingga akhir Juli.
Sedangkan krisis tahap ketiga, tutur Siti, terjadi sekitar bulan September hingga Oktober. Krisis kebakaran hutan pada fase ini biasanya dipicu akibat musim kemarau yang berlebihan atau biasa disebut fenomena el nino.
Sebelumnya, Kepala Badan Penanggulan Bencana Daerah (BPBD) Riau, Edwar Sanger, mengatakan, sejak awal Januari hingga Juli 2016, luas lahan yang terbakar mencapai 1.400 hektare lebih. Buntutnya, selama Hari Raya Idul Fitri, tim Satgas Karhutla Riau masih terus berjibaku memadamkan api baik melalui darat dan udara.
Dijelaskan Sanger, Satgas Karlahut juga memadamkan api di area TNTN di Siak, yang sengaja dibakar pihak yang tidak bertanggung jawab. Selain itu dari area tersebut juga ditemui pondok-pondok yang telah ditinggalkan penghuninya. Di duga pondok tersebut milik pelaku illegal logging, yang telah merambah hutan di arean TNTN seluas 15 hektare.
"Setelah mendapatkan laporan adanya kebakaran di arean TNTN tim udara langsung turun memadamkan api dan berhasil dipadamkan. Tim juga menemukan pondok-pondok pelaku perambah hutan di sana, tapi dalam keadaan kosong. Mungkin mereka tahu ada patroli," ungkapnya.
Sejauh ini kebakaran hutan dan lahan telah terjadi di beberapa wilayah. Seperti di Bengkalis, Rohil, Meranti, Siak dan Pelalawan. Namun berkat kerja sama berbagai pihak terkait, api bisa dipadamkan dan tidak meluas ke daerah lain.
Terkait hal itu, Gubri Arsyadjuliandi Rachman memberikan apresiasinya kepada Satgas Karhutla Riau.
"Saya berikan apresiasi kepada Satgas Karlahut yang telah berjibaku mencegah dan menekan kebakaran hutan di kabupaten/kota di Riau. Kabut asap saat ini tidak terlalu mengganggu aktivitas masyarakat seperti tahun-tahun sebelumnya. Dan hal ini harus bisa dipertahankan terus," ujarnya apel pagi bersama Senin kemarin. (bbs, ant, rtc, azw)