Awal Mei 2016 lalu telah dilaksanakan sebuah simposium tentang korban peristiwa G 30 S/PKI di Jakarta. Hasilnya menimbulkan silang pendapat dan membuka luka lama sejarah.
Bagaimanpun juga pemberontakan G 30 S/PKI dengan dalangnya partai komunis di Indonesia adalah sejarah buruk. Mengingat pemberontakan telah menumpahkan darah, dendam dan kontradiksi. Namun masih ada yang ingin membela komunis. Apa yang mau meraka cari?
Sesungguhnya kalau kita rujuk kepada Alquran terdapat banyak memuat kisah sejarah, yang monumental bagi manusia. Dapat dijadikan pembeda, penjelasan tentang sejarah bernilai dan tidak bernilai.
Antara lain kisah Firaun misalnya di Mesir menjadi penegak kebatilan dalam era yang cukup panjang. Sangat jelas Firaun dan pengikutnya hendak menanamkan dan melestarikan ajaran Firaunismenya.
Contoh hukuman Tuhan terhadap kaum Firaun ditenggelamkan ke dalam laut, gagal karena nilai kebatilannya. Di lain pihak pada era yang sama dengan Firaun, berdiri tegak Musa As. Musa As membawa ajaran kebenaran.
Nilai yang diajarkan Musa adalah kebenaran. Sementara ajaran Firaun ajaran kebatilan. Ajaran Musa As sukses, menyelamatkan dan menjadi penolong semua kaum.
Demkian juga halnya dengan Indonesia. Sudah ada ajaran demokrasi yang digali dan dipelajari dari sejarah peradaban Indonesia. Ajaran yang benar.
Ajaran itu kemudian simpulan filosofisnya dimunculkan dalam konstitusi dan falsafah Pancasila. Namun komunis Indonesia mengajarkan demokrasi nilai lain.
Diktator proletarnya, yang anti Ketuhanan. Kisah itu diulang-ulang oleh kaum komunis di Indonesia. Tapi Indonesia selamat dari paham komunisme. Dalam konteks seperti itu, di Indonesia sudah ada nilai demokrasi berketuhanan. Prinsip itu yang dianut mayoritas, Hanya saja sayangnya, kaum komunis menentangnya.
Bukankah komunis mem berontak berkali kali, guna mendirikan negara berpaham komunis .Diawal tahun 1926 melawan penjajah Belanda.
Tokohnya ditangkap Belanda. Ada yang dibuang ke Digul (Papua sekarang). Tidak berhenti disitu. Diulangi lagi tahun 1948 kaum komunis memberontak lagi.
Mengambil momentum dalam keadaan Indonesia masih kacau pasca Proklamasi 1945. Pemberontakan tersebut dinamakan Pemberontakan Komunis Madiun.
Untuk ketiga kali komunis memberontak lagi pada 30 September 1965. Disebut pemberontakan 30 September. Gagal. Tokohnya ditangkap diadili dan dihukum.
Paparan di atas, menyimpulkan kaum komunis telah bersalah menggunakan nilai yang batil di Indonesia. Dengan demikian apa yang dilakukan oleh gerakan komunis adalah gerakan yang bukan saja tidak bernilai dan batil, tetapi juga a hystoris. Menentang logika dan nilai atau moral sejarah.
Hampir semua ahli membenarkan, ajaran komunis bukan nilai yang benar. Yaitu membandingkan ajaran nilai dibawa Musa as dan ajaran Firaun. Yang benar adalah nilai yang dibawa Musa As.
Sebaliknya Firaun membawa ajaran yang batil. Dalam hal ini, menarik pendapat wakil Presiden Mohammad Hatta, bahwa ajaran komunis tidak dapat dibenarkan. Karena prinsip komunisme menentang ajaran prinsip demokrasi. Sementara Indonesia menganut prinsip dan sistem demokrasi. (70 Tahun Hatta: Sinar Harapan 1970)
Hal ini membawa perbedaan Hatta dan Soekarno. Soekarno memandang komunis itu biasa-biasa saja. Anggapan Soekarno ibarat satu keluarga ada pendapat yang beda. Bagi Hatta bukan demikian. Berpegang prinsip komunis anti demokrasi. Oleh karena itu bukan keluarga, demikian Hatta.
Sejalan pandangan Hatta, guru saya dari Universitas Pendidikan Bandung Prof Ahmad Tafsir, berpendapat ajaran komunis mengandung bahaya.
Yaitu esensi ajaran kontradiksi, melawan fitrahnya manusia, yang secara umum adanya manusia itu ingin pelindung, yaitu Tuhan.
Bagi Prof Ahmad Tafsir, ajaran komunis menentang keberadaan Tuhan bagi manusia. Kontradiksi ini menghancurkan, melapetaka kemanusiaan. Negara komunis demikian keadaanya.
Terhadap pertanyaan, apa yang dicari bagi mereka yang membela ajaran komunis di Indonesia, adalah membela yang salah. Yang seharusnya kita bersikap belajar, agar tidak ikut nilai salah yang membawa kehancuran kemanusiaan.
Karena dasar itu, saya sependapat, komunisme adalah masa lalu. Kebatilan yang yang absurds. Tidak punya hari depan. Akan tenggelam dalam lipatan zaman.
Mengungkit sejarah tentang G 30 S PKI sejauh ini tidak relevan. Akibatnya hanya membawa silang sengketa dan luka antara kita. ***
Penulis Dosen Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA), Jakarta