BALI (riaumandiri.co)-Ajang Munaslub Partai Golkar di Bali, Minggu (15/5) kemarin mulai memanas. Hal itu dipicu sistem pemilihan ketua umum. Tujuh calon menyatakan tetap harus menggunakan aturan yang telah berjalan selama ini, yakni voting dilakukan secara tertutup.
Hanya Setya Novanto, yang disebut-sebut setuju sistem voting terbuka, meski akhirnya dibantah yang bersangkutan.
Tidak hanya itu, pada Minggu malam sempat terjadi kericuhan di arena Munaslub di Nusa Dua Bali. Kejadian ini berlangsung beberapa menit sebelum Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Luhut Pandjaitan memasuki arena Munaslub.
Ricuh tersebut merupakan buntut dari dualisme kepengurusan di dua organisasi pendiri Partai Golkar, yakni Soksi dan Kosgoro 1957. Namun ricuh tak berlangsung lama, karena petugas pengamanan langsung bertindak.
Memanasnya situasi di Munaslub, ditandai dengan pernyataan tujuh calon ketua umum (Caketum) yang menolak digelarnya voting terbuka.
Setya Novanto Penolakan itu disampaikan ketujuh Caketum yakni Ade Komarudin, Priyo Budi Santoso, Mahyudin, Airlangga Hartarto, Aziz Syamsudin, Syahrul Yasin Limpo, dan Indra Bambang Utoyo, dalam konferensi pers bersama pada Minggu siang kemarin.
Mereka menyatakan siap melawan sampai titik terakhir segala upaya untuk mengarahkan pemilihan ketum Golkar lewat voting terbuka. Konon katanya pemilihan lewat jalur terbuka tersebut disiapkan untuk memuluskan langkah Setya Novanto menuju kursi Golkar 1.
"Kalau diolah-olah kita akan melawan, sampai tetes darah terakhir kalau perlu. Semuanya harus berjiwa besar siap menang siap kalah. Menang happy dan kalah juga happy. Hanya keledai bodoh saja yang menginjak lubang yang sama, perpecahan Golkar ini tidak boleh terulang lagi," kata caketum Golkar Mahyudin.
Hal senada juga disampaikan Caketum lain, Priyo Budi Santoso. Menurutnya, tidak pernah ada cerita ketua umum Golkar dipilih lewat mekanisme voting terbuka.
"Tahap pemilihan caketum dengan cara terbuka sudah tentu menyalahi pakem demokrasi yang sudah saya ketahui. Tidak boleh ada aturan main yang mencederai keinginan bertanding secara fairplay," tegas Waketum Golkar ini.
Tidak hanya itu, mereka juga bersama-sama menandatangani surat pernyataan yang menggambarkan sikap mereka.
Dalam surat itu disebutkan, mereka menolak sistem voting terbuka dan menyatakan sepakat bahwa proses pemilihan Ketum harus melalui voting tertutup sesuai AD/ART Partai Golkar dan Tatib Munaslub yang ada.
Tak Masalah
Sementara itu, Setya Novanto mengaku tidak mempermasalahkan sistem pemilihan ketua umum tersebut.
"Masalah pemilihan tertutup dan terbuka buat saya adalah apa yang berdasarkan aturan yang ada, tertutup saya sangat bersedia, sangat siap melakukan hal yang terbaik," ujarnya.
Novanto menyerahkan seluruh keputusan kepada tim penyelenggara munaslub. "Saya serahkan semuanya ke panitia, saya tidak pernah ikut campur soal masalah-masalah teknis.
Karena saya terus melakukan hal-hal yang berkaitan dengan koordinasi dan juga dengan seluruh tim yang ada," kata Novanto.
"Saya aturan yang diberikan OC, SC saya ikut saja. Tertutup pun siap. Kalau itu sudah menjadi hal aturan kita harus ikuti. Saya ikuti apa pun keputusan dan yang disarankan," sambungnya.
Jika pada pemilihan Ketum nanti Novanto terpilih, ia mengaku siap merangkul caketum lainnya. Meski begitu, Novanto tetap berpatokan pada produk keputusan panitia penyelenggara Munaslub. Termasuk soal proses pemilihan.
"Apa yang menjadi keputusan tim SC saya akan ikuti, menghargai dan hormati, apa pun putusannya. Buat saya nggak ada masalah," tutup mantan Ketua DPR itu.
Ricuh Sementara itu, ricuh sempat mewarnai jalan Munaslub, tadi malam. Hal itu bermula dari sengketa dualisme kepemimpinan di dua organisasi pendiri Partai Golkar, yakni Soksi dan Kosgoro 1957.
Sengketa itu berujung pada kericuhan peserta saat sidang pleno yang mengagendakan pembahasan verifikasi peserta dari unsur ormas dan organisasi pendiri.
Seperti diketahui, Soksi dipimpin dua ketua umum yaitu Ade Komarudin dan Rusli Zainal. Belakangan, jabatan Rusli digantikan oleh Ali Wongso setelah dirinya tersangkut kasus hukum.
Sedangkan Kosgoro, yang awalnya sengketa terjadi lantaran ada dua ketua umum, yaitu Agung Laksono dan Aziz Syamsudin, justru melebar.
Pada saat Munaslub, Ridwan Hisjam justru juga menyampaikan bukti bahwa dirinya merupakan Ketua Umum Kosgoro dan diakui negara melalui SK Menkumham per 3 Mei 2016.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Nurdin Halid, yang memimpin jalannya sidang sempat menawarkan agar kedua organisasi itu tetap diberi hak suara. Namun, seluruh ketua umum harus bermusyawarah untuk satu suara.
Rupanya, tawaran itu menimbulkan perdebatan dan saling adu mulut antar kader Kosgoro dan Soksi yang mendukung masing-masing ketua umum.
Hingga akhirnya sidang sempat diskors dua kali, masing-masing selama lima menit dan sepuluh menit, sebelum diambil keputusan.
"Saya tawarkan untuk kepentingan bersama, untuk kebesaran Partai Golkar, kami menawarkan solusi. Dua-duanya menjadi peserta dan hak suaranya satu. Kalau tidak menerima keptusan itu, kami putuskan tidak dua-duanya menjadi peserta," kata Nurdin seraya mengetuk palu tanda persetujuan.
Namun, bukannya keributan usai, justru muncul keributan baru. Secara tiba-tiba anggota Kosgoro di bawah pimpinan Aziz, adu mulut dengan salah seorang peserta Munaslub lain. Hal itu membuat situasi di dalam ruang sidang menjadi kacau.
Aksi saling dorong pun tak bisa terelakkan. Beberapa peserta Munaslub sempat berupaya untuk menenangkan dengan bernyanyi Mars Golkar, namun upaya itu sia-sia.
Akhirnya, Nurdin meminta kepada pihak kemananan yang mayoritas merupakan anggota Angkatan Muda Partai Golkar, untuk mengamankan pihak yang bersitegang.
"Tolong pihak keamanan itu diamankan," kata Nurdin.
Singkat cerita, mereka yang ribut akhirnya dibawa keluar. Nurdin pun mengingatkan agar seluruh peserta dapat menjaga ketertiban dan sikap masing-masing. (bbs, dtc, kom, ral, sis)