JAKARTA (riaumandiri.co)-Isu tentang adanya uang tebusan di balik pembebasan empat Warga Negara Indonesia yang sempat disandera kelompok bersenjata Abu Sayyaf di Filipina, hingga kini terus mengemuka.
Setelah bantahan datang dari pihak pemerintah, kali ini bantahan serupa juga dilontarkan PT Global Trans Energy Internasional, selaku perusahaan operator Kapal TB Henry, yang menjadi korban pembajakan kelompok bersenjata tersebut.
Sementara itu, keempat WNI yang telah dibebaskan dari
kelompok Abu Sayyaf tersebut, telah mendarat dengan selamat di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Jumat (13/5) kemarin. Mereka adalah Ariyanto Misnan, Lorens Marinus Petrus Rumawi, Dede Irfan Hilmi dan Samsyir.
Sama halnya dengan pihak perusahaan, mereka juga membantah adanya uang tebusan dalam pembebasan tersebut.
Seperti dirilis sebelumnya, perihal adanya uang tebusan untuk pembebasan keempat WNI itu diberitakan media Filipina, Inquirer, Kamis (11/5). Media itu menyebutkan, keempat sandera dibawa di depan pintu gerbang rumah Gubernur Sulu, Abdusukur Tan II.
Kepala kepolisian Jolo Town, Junpikar Sittin mengkonfirmasi pembebasan tersebut. Setelah dilepaskan, para korban langsung dibawa menuju rumah sakit Teodulfo Bautista Station Hospital di Barangay Bus-Bus, yang masih merupakan wilayah Jolo untuk dilakukan pemeriksaan kesehatan.
Sittin mengungkapkan, Kepala Bidang Politik dari kelompok gerilyawan Moro National Liberation Front (MNLF), Samsula Adju, ikut berperan dalam negosiasi pembebasan sandera. Dia menambahkan, pembebasan itu melibatkan pembayaran sebesar 50 juta Peso.
Menurut perwakilan pihak perusahaan, Riswandi, perusahaan sama sekali tidak ada memberikan uang tebusan untuk membebaskan keempat ABK Kapal Tugbot Henry tersebut. Namun untuk pemberiaan kompensasi bagi mereka, ia menjamin pihak perusahaan telah menyediakan.
"Tebusan tidak ada. Sementara untuk kompensasi bagi mereka jelas ada tapi saya tidak tahu berapa, ada bagian sendiri," ujarnya.
Riswandi memastikan perusahaan akan tetap memberikan hak bagi keempat ABK. Ini sesuai dengan instruksi Menlu Retno Marsudi.
Hal senada juga dilontarkan Chief Officer kapal tugboat) Henry, Lorens Marinus Petrus Rumawi. Ia mengatakan, proses pembebasan dirinya bersama tiga rekannya sangat sulit.
Lorens berterima kasih kepada personel TNI dalam proses penyelamatan sandera.
"Untuk proses pembebasannya sangat susah, sangat sulit. Kita punya TNI yang begitu gigih berani, mereka bisa menembus membantu untuk bisa membebaskan kita tanpa ada tebusan," ujarnya.
Saat disandera, dirinya dan 3 orang WNI lainnya M Ariyanto Misnan, Dede Irfan Hilmi dan Syamsir mengaku stres. Para penyandera kerap mengintimidasi tawanannya.
Sedangkan korban sandera lainnya, Syamsir, mengaku diikat di pohon selama penyanderaan. Perlakuan yang sama juga dialami tiga rekannya. Kondisi itu berlangsung selama 25 hari mereka disandera.9
"Kami dibawa ke suatu tempat, di sana kami diikat pakai tali di satu pohon. Diikat berempat mengelilingi pohon. Jadi selama (disandera) kami tidak dipisah," terangnya.
Pertama kali disandera, mata Syamsir dan 3 WNI lainnya yakni Mochamad Ariytanto Misnan, Loren Marinus Petrus Rumawi, dan Dede Irfam Hilmi ditutup kain. Penyanderaan dilakukan kelompok Abu Sayyaf tanpa memilih target.
"Saat itu mereka mengacak siapa saja, jadi tidak pilih orang, siapa saja di bawa sama mereka," kata Syamsir.
Selama 25 hari disandera, keempatnya dibawa berpindah-pindah tempat. Syamsir mengaku tak tahu rupa satu tempat dengan tempat lainnya karena mata mereka ditutupi.
"Selama 25 hari itu kami dibawa pindah-pindah karang, pindah tempat. Baru dilepaskan saat waktu kita mau makan, salat dan buang air," tambahnya.
Sedangkan sandera lainnya, Dede Irfan Hilmi, tak pernah menyangka jadi sandera kelompok Abu Sayyaf. Saat kapal mereka 'dicegat' pada 15 April 2016 lalu, ia sempat para perompak itu adalah polisi Malaysia. Selain bersenjata lengkap, kelompok Abu Sayyaf juga menggunakan penutup muka.
"Pertama pas tanggal 15 April tepatnya sekitar jam tujuh petang habis Magrib. Setelah itu ada perahu kecil, perahu boat merapat ke kapal kami. Saya kira itu awalnya patroli Malaysia, soalnya warna boatnya itu loreng-loreng dan seragamnya juga loreng lengkap dengan senjata," tuturnya.
Selama ditahan, Dede mengaku makanan yang disediakan untuk mereka hanya seadanya.
"Pas kita disandera itu kita ditaruh di hutan di gunung, di gunung kita enggak ketemu warga sana. Kita cuma ketemu hutan, pohon-pohon. Masalah makan kita makan seadanya, kita kan tawanan bukan tamu jadi seadanya aja. Enggak mungkin kita dijamu baik-baik sama mereka. Ya nasi seadanya, seadanya mereka lah pokoknya," kata Dede.
Setiap harinya, kata Dede, para sandera diawasi oleh sekitar 20 orang dari kelompok Abu Sayyaf. Mereka juga kerap diperlihatkan video pemenggalan yang membuat Dede sedikit trauma hingga kini.
"Pengawasan setiap mereka setiap hari rolling, sekitar 20 orang. Satu orang (dijaga) 20 orang. Kalau misalkan rakyat Indonesia enggak memperjuangkan kalian, kalian akan begini (sambil menunjukkan video). Jadi setiap hari mereka nunjukkin video kami takut. Bukan takut ditembak, tapi takut dipotong lehernya kaya orang-orang di video itu," cerita Dede. (bbs, dtc, kom, sis)