Tulisan ini berangkat dari diskusi yang menarik antara opini saudara Holy Adib dan saudara Riduan Situmorang di Harian Haluan.
Diskusi tersebut terkait tatabahasa, khususnya kaidah peluluhan konsonan K, P, S, dan T Riduan Situmorang pada opininya di Haluan (23/4), menanggapi tulisan Holy Adib sebelumnya yang bertajuk “Mengupas Tuntas Hukum Peluluhan Konsonan (Haluan, 14/4), khususnya tentang kata “pemprosesan”.
Menurut Holy Adib, huruf “p” pada kata proses itu tidak luluh kalau bertemu awalan -pe sehingga tetap menjadi “pemprosesan”. Sementara menurut Riduan, yang benar itu adalah “pemrosesan”, karena huruf “p” itu luluh. Masing-masing pihak memiliki dasar argumennya.
Singkat ceritanya seperti itu. Perihal tatabahasa bukanlah keahlian saya karena hal itu berbicara disiplin ilmu. Namun, sebagai salah seorang rakyat Indonesia, saya tetap berusaha memakai bahasa Indonesia dengan baik dan benar karena bahasa Indonesia adalah perekat keberagaman bahasa di negeri ini, sehingga tidak heran kalau bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan.
Begitu pentingnya bahasa Indonesia, UUD 1945 pun turut serta menjaminnya dengan memasukkannya pada pasal 36 yang berbunyi, “bahasa negara adalah bahasa Indonesia”.
Perihal bahasa Indonesia juga terakomodir dalam sistem pendidikan nasional. Dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 33 (1), dikatakan bahwabahasa Indonesia sebagai bahasa negara menjadi bahasa pengantar dalam pendidikan nasional.
Sehingga, pada dasarnya tidak ada alasan bagi rakyat Indenesia untuk enggan mempelajari atau apatis terhadap tatabahasa maupun kajian-kajian yang berhubungan dengan bahasa Indonesia.
Tulisan saya kali ini bukan bermaksud hendak masuk kedalam ranah diskusi tersebut. Saya hanya mengamati dan mengikuti sembari mencari bahan yang terkait.
Sekali lagi, perihal tata bahasa bukanlah keahlian saya. Kecintaan saya kepada bahasa Indonesia yang membuat saya terpanggil untuk menulis perihal persoalan ini.
Turun Gunung
Akhir-akhir ini, begitu jarang saya temui tulisan atau pembahasan mengenai tatabahasa di media massa, seperti yang dilakukan oleh Holy Adib dan Riduan Situmorang. Pemberitaan mengenai perkembangan dan kajian tatabahasa sedikit banyaknya tertutupi berita–berita lain, seperti politik dan hukum.
Padahal, keilmuan-keilmuan tersebut sebagian besar menggunakan bahasa Indonesia sehingga porsi mengenai pembahasan tatabahasa Indonesia saya pikir perlu ditambah. Pakar-pakar linguistik perlu turun gunung.
Kurang massifnya tulisan dan pembahasan mengenai tatabahasa, membuat banyak penggunaan bahasa yang keliru. Secara sederhana, saya sepakat bahwa bahasa itu untuk mempermudah komunikasi sehingga jika komunikan mengerti apa yang disampaikan oleh komunikator, artinya bahasa yang digunakan sampai. Berbeda halnya jika kita bicara tatabahasa.
Ada aturan-aturan yang harus ditaati, misalnya kaidah peluluhan konsonan tadi sehingga bahasa menjadi tidak sesederhana seperti yang saya katakan tadi. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan para ahli linguistik untuk turun gunung guna berbagi wawasan dan diskusi bersama masyarakat, mahasiswa maupun akademisi untuk meluruskan maupun berbagitentang aturan tatabahasa.
Saya yakin begitu banyak pakar atau ahli linguistik di negeri ini yang peduli, serta tergerak hatinya untuk meluruskan persoalan tatabahasa Indonesia ini karena kini bahasa Indonesia yang baik dan benar mulai jarang digunakan seiring dengan maraknya bahasa-bahasa “remaja gaul”.
Bahasa-bahasa yang diciptakan kaum remaja gaul tersebut lebih massif penggunaannya di ruang publik. Dengan doktrin “gaul”nya, bahasa tersebut cepat tersebar karena yang tidak berbicara demikian dibilang kuno.
Namun, pada dasarnya bahasa Indonesia tentu tidak akan berubah karena bahasa yang diciptakan kaum remaja gaul tersebut karena bahasa Indonesia sudah bersifat baku.
Hanya saja, perlahan orang mulai jarang menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sehingga perkembangan bahasa Indonesia beserta penggunaannya tidak terkendali sebab pembahasan mengenai aturannya jarang ditemui.
Terlebih lagi KBBI belum begitu mampu mengakomodir aturan-aturan tatabahasa (perlu dicatat aturan tatabahasa, bukan pengartian kata) secara menyeluruh sehingga saya pikir perlu diperbarui sedemikian rupa agar selaras dengan perkembangan bahasa. Selain itu, juga banyak kosakata bahasa kita yang diadopsi dari bahasa asing.
Sejarah ejaan bahasa Indonesia begitu panjang. Dari Ejaan Van Ophuysen hingga kini Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Kata-kata seperti “oe” pada Soekarno, “tj” pada kata Tjipta dan “dj” pada Djakarta, masih sering kita jumpai pada naskah-naskah lama.
Artinya, tatabahasa itu akan menjadi manuskrip-manuskrip penting bangsa ini, sehingga aturan tatabahasa itu perlu dilakukan, atau bahkan dibukukan dan menjadi panduan dalam setiap pembelajaran di sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi di Indonesia.
Dalam hal berbahasa Indonesia, saya pikir tidak cukup hanya membahasnya dalam ranah fungsi bahasa sebagai sarana untuk mempermudah komunikasi dan alat pemersatu bangsa.
Untuk melestarikannya, kita perlu mempelajari aturan tata bahasa karena, baik pribadi maupun lingkungan, begitu minim pembahasan tatabahasa yang saya temui.
Bahasa hanya menjadi alat komunikasi, jarang sekali dijadikan bahan kajian sehingga ketika komunikan sudah paham apa yang kita sampaikan, habis cerita. Sekali lagi, pakar-pakar linguistik dibutuhkan dalam menengahkan persoalan tatabahasa ini.
***
Anggota UKM Pengenalan Hukum dan Politik Universitas Andalas