jakarta (HR)-Penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota secara serentak pada 2015, yang diusulkan pemerintah, dinilai tidak realistis. Alasannya, KPU dan Badan Pengawas Pemilu lebih memilih pilkada dilaksanakan tahun depan. Jika tetap dipaksakan dikhawatirkan terjadi masalah.
Wakil Ketua Komisi II DPR Lukman Edy di Jakarta, Kamis (5/2), mengatakan, terlalu terburu-buru jika pilkada serentak digelar 2015. "Kami sudah mendengarkan presentasi KPU dan Bawaslu. Mereka siap melaksanakan pilkada di 205 daerah pada akhir 2015. Tetapi, akan lebih siap lagi jika pilkada digelar 2016," katanya.
Komisi II menginginkan penyelenggara pilkada lebih siap menggelar pilkada. Sebab, kesiapan tersebut terkait dengan kualitas pilkada. "Semakin siap penyelenggara, diyakini akan semakin baik kualitas pilkada," ucap Lukman.
Jika pilkada serentak tetap 2015, besar kemungkinan pilkada tahap kedua digelar pada 2018, seperti diatur Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Pilkada serentak nasional digelar 2020.
Komisi II sudah melakukan simulasi. Jika pilkada serentak sesuai dengan UU Pilkada, yakni pada 2015, 2018, dan 2020, akan banyak daerah dipimpin penjabat kepala daerah. Bahkan, selain masa tugas penjabat kepala daerah bisa lebih dari dua tahun, ratusan kepala daerah juga akan terpotong masa jabatannya. "Oleh karena itu, Komisi II sepakat pilkada serentak dimulai 2016," kata Lukman.
Komisioner KPU, Hadar N Gumay, yang ditemui seusai diskusi mengatakan, permintaan pemerintah agar pilkada serentak digelar September 2015 tidak memungkinkan.
"Tahapan pilkada itu harus sesuai dengan UU yang akan berubah. Setelah revisi UU selesai, kita baru konsultasi ke DPR dan pemerintah. Apakah ketika revisi UU selesai mereka bersedia kalau kita mulai pilkada?" tanya Hadar menyinggung prosesnya yang tak memungkinkan.(kcm/dar)