Pasca pesta demokrasi dan dilantiknya pemimpin terpilih, banyak rakyat yang kecewa.
Sebab, bongkahan-bongkahan harapan yang dijanjikan pemimpin pilihan hati tidak terbukti, malah mengingkari setiap janji yang diucapkan dalam kampanye. Alhasil, pemimpin dicap tidak amanah dan berpihak kepada rakyat.
Benarkah cap kesalahan itu mutlak ada pada pemimpin?, atau jangan-jangan kita (baca: rakyat) yang salah dan tak bijak dalam memilih pemimpin?.
Selama ini, rakyat selalu menyalahkan pemimpin yang terpilih, dan jarang melakukan introspeksi diri. Padahal, kalau ditelusuri lebih jauh, rakyat punya peran signifikan terhadap lahirnya pemimpin yang buruk.
Ibarat, menunjuk dengan jari telunjuk, empat jari mengarah diri sendiri. Artinya, kesalahan seharusnya lebih banyak kepada yang memilih, bukan kepada yang dipilih.
Potret kesalahan itu berawal dari standar rakyat dalam memilih. Banyak rakyat yang memilih tidak berdasarkan rekam jejak (track record), kapasitas, kapabilitas dan perilaku pemimpin dalam kesehariannya.
Semua kriteria pemimpin yang baik, terhalang oleh uang. Bahkan uang telah mengalir deras sejak awal pemimpin itu mengikrarkan diri untuk menjadi calon pemimpin.
Sebut saja, untuk mengenalkan dirinya ke publik, belum lagi untuk mendapatkan sampan politik.
Selanjutnya biaya untuk menyeberangkan sampan agar sampai ke pulau impian. Semuanya itu memerlukan uang yang tidak sedikit.
Uang menjadi benda keramat yang mampu menghipnotis publik. Rakyat diumpan dengan janji-janji bak mutumanikam sembari menebar uang dalam beragam bentuk.
Mulai dari sembako, bantuan rumah ibadah, memperbaiki jalan, hingga dalam wujud aslinya yakni lembaran rupiah. Ungkapan” kinilah saatnya kita merasakan uang pemimpin” menjadi petaka sendiri bagi rakyat.
Hamparan harapan yang membentang terlilit oleh kain panjang hutang budi yang telah ditanam rakyat. Akibatnya, pemimpin terpilih dengan mudah melanggar janjinya.
Sejatinya rakyat haruslah mengfungsikan segala penglihatannya dalam memilih pemimpin. Membuka jendela mata dan hatinya agar terlihat dengan jelas mana pemimpin emas dan mana yang loyang.
Jangan pernah apatis terhadap politik, apalagi menganggap keputusan memilih tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan.
Ungkapan, “ siapa yang terpilih, kita juga tidak ada untungnya” adalah umpan jebakan bagi rakyat.
Rakyatlah yang akan menikmati kebijakan pemimpin yang dipilihnya. Mengutip perkataan penyair Jerman Bertolt Brecht, “ Buta yang terburuk adalah buta politik, dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik.
Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik”.
Kini sudah saatnya rakyat mengevaluasi keputusannya dalam memilih pemimpin. Jangan sampai apa yng terjadi dengan Bupati Ogan Ilir Sumatera Selatan Ahmad Wazir Nofiadi, yang belum genap sebulan memimpin, terulang kembali dalam sejarah pemimpin di negeri ini.
Demikian juga dengan kasus-kasus seirama yang menimpa pemimpin-pemimpin lain. Seharusnya rakyat harus cermat dan menggunakan hati nurani agar pemimpin terpilih benar-benar layak disebut pemimpin.
Rakyat terlalu mudah terpengaruh oleh laku pencitraan dan money politics. Akibatnya, pemimpin banyak yang hebat hanya di baliho dan santun, jujur, religius, dekat dengan rakyat ketika dalam kampanye saja.
Selebihnya ketika terpilih, semuanya berubah dan kembali kepada wujud semula. Hilang sudah pemimpin yang santun, jujur serta religius, yang ada hanyalah pemimpin yang penuh ambisi untuk dihormati dan menggunakan segala kuasa untuk kepentingan diri dan kelompoknya.
Makanya tidak heran, banyak pemimpin yang korupsi dan akhirnya menginap di jeruji besi.
Kendatipun demikian, masih banyak pemimpin dan calon pemimpin yang baik, bersih dan punya integritas tinggi dalam membangun negeri.
Hanya saja tidak terekspos dan tidak punya modal untuk menduduki kursi kekuasaan. Sebab, untuk mencalonkan diri saja menjadi pemimpin, sudah menghabiskan biaya politik yang tidak sedikit.
Sebagai ilustrasi Mantan Mendagri era SBY Gamawan Fauzi pernah mengungkapkan, bahwa untuk menjadi kepala daerah menghabiskan dana milyaran rupiah.
Padahal gaji kepala daerah tidak sebanding dengan bujet yang dikeluarkan untuk bisa terpilih.
Demokrasi Simbolik Fakta ini, seharusnya kian menyadarkan bangsa, bahwa demokrasi kita sudah kehilangan esensi diri.
Kita terjebak dalam lakon demokrasi simbolik bukan pada substantif. Suara dan pilihan rakyat hanya diukur sebatas rakyat hanya diukur sebatas memilih saja, bukan pada bagaimana proses memilih pemimpin yang baik dan benar.
Sebab, pilihan-pilihan hati nurani telah terkontaminasi oleh prilaku rakyat sendiri yang memilih hanya berdasarkan citra positif pemimpin, money politic dan apatisme politik.
Rakyat harus berani keluar dari metode lama dalam memilih pemimpin. Jangan lagi menjual murah suara-suara mereka.Pemimpin yang bijak hanya akan lahir dari rakyat yang bijak. Apa yang dilakukan pemimpin kita pada hari ini, jangan-jangan cerminan keseharian tingkah laku kita sendiri.
Seperti perkataanIbnu Qayyim Al Jauziyah, “Sesungguhnya di antara hikmah Allah dalam keputusan-Nya memilih para raja, pemimpin dan pelindung umat manusia adalah sama dengan amalan rakyatnya, bahkan perbuatan rakyat seakan-akan adalah cerminan dari pemimpin dan penguasa mereka.
Jika rakyat lurus, maka akan lurus juga penguasa mereka. Jika rakyat adil, maka akan adil pula penguasa mereka. Namun, jika rakyat berbuat zholim, maka penguasa mereka akan ikut berbuat zholim,”. Wallahu’alam. ***