PEKANBARU (riaumandiri.co)-Anggota Badan Anggaran DPRD Riau, Ilyas HU, menilai, masuknya anggaran pembayaran utang eskalasi Pemprov Riau sebesar Rp220 miliar dalam APBD Perubahan Tahun 2015, menyalahi prosedur. Pasalnya, anggaran tersebut sudah ditolak Dewan saat pembahasan.
Sementara itu, terkait adanya kebijakan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) yang memperbolehkan pembayaran utang eskalasi tersebut, tidak pernah disampaikan kepada Badan Anggaran (Banggar) DPRD Riau. Baik oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TPAD) Pemprov Riau maupun pimpinan Dewan.
Ilyas menjelaskan, sesuai ketentuan berlaku yakni Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005, dijelaskan bahwa pembahasan APBD dilakukan oleh eksekutif dan legislatif.
Jadi, kata Ilyas, dalam tingkat pembahasan bersama Banggar, anggaran eskalasi itu memang ditolak. Pasalnya, Banggar meminta hukum original atau fotokopi yang dilegalisir sebagai dasar hukum pembayaran utang tersebut. Ketika itu, Pemprov
Ilyas Riau tak bisa memperlihatkan apa yang diminta Banggar.
"Sekarang, utang eskalasi itu sudah dianggarkan dan dibayarkan. Ini jelas menyalahi prosedur hukum pengesahannya, karena itu harusnya disampaikan dan dibahas Banggar dan TAPD. Namun itu tidak pernah disampaikan pimpinan Dewan dan TAPD secara spesifik. Sementara sejak awal pembahasan KUA-PPAS, anggaran itu sudah kita tolak," sebutnya, Kamis (24/3) di Gedung DPRD Riau.
Ditambahkan Ketua Fraksi Hanura Nasdem DPRD Riau ini, pada 7 Agustus 2015 lalu, diketahui ada sisa lebih penggunaan anggaran (Silpa) sebesar Rp3,9 triliun.
Terkait hal itu, Plt Gubri kemudian menyurati Kemendagri terkait kelebihan Silpa untuk membayar utang eskalasi. Surat itu kemudian dijawab Kemendagri bahwa Silpa dapat digunakan untuk membayar utang dan kelebihan wajib bayar utang, serta untuk menambah penyertaan modal kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Selanjutnya, Kemendagri memanggil TAPD dan anggota Dewan untuk verifikasi. Namun Ilyas mengaku tidak tahu, siapa anggota Dewan yang ikut hadir dalam verifikasi itu, apakah pimpinan Dewan atau dari unsur Banggar.
Setelah kembali dari Jakarta, pimpinan Dewan dan TAPD tidak pernah membawa Banggar untuk menggelar rapat dan memberitahu adanya keputusan dari kemendagri untuk memerintahkan pembayaran utang eskalasi.
"Intinya, substansinya itu tidak pernah disampaikan kepada Banggar, yang disampaikan verifikasi umum tidak menyinggung subtansi eskalasi yang ditolak tersebut. Padahal, eskalasi itu sudah terang-terangan kita tolak dalam pembahasan KUA-PPAS," tegas Ilyas.
Menurutnya, hasil verifikasi RAPBD P Riau tahun 2015 tersebut tidak pernah menyampaikan substansi sebenarnya tentang eskalasi. "Jadi menurut saya, tim TAPD dan pimpinan Dewan yang salah, karena tidak menyampaikan isinya. Karena, kita tahunya anggaran eskalasi itu sudah ditolak," ulangnya.
Menurut jebolan doktor Hukum Tata Negara ini, bila dirunut sesuai ketentuan, seharusnya apa yang diverifikasi di Kemendagri tersebut dibahas kembali dalam rapat bersama Banggar.
"Jangankan dana sebesar itu (Rp220 miliar, red), ada pembangunan jalan RT saja itu harus disampaikan kepada Banggar," tamdasnya.
Selain itu, penolakan terhadap pembayaran utang eskalasi tersebut, tidak hanya terjadi saat KUA-PPAS. Bahkan saat penyampaian pandangan fraksi, usulan itu juga ditolak. "Fraksi Nasdem Hanura dalam pandangan umum sudah menolak," tegasnya.
Sementara itu, salah seorang penggagas hak angket Dewan terkait polemik itu, Muhammad Adil, mengatakan, sejauh ini proses pengajuan hak angket terus berlanjut. "Hak angket tetap lanjut, kalau berhenti itu yang dipertanyakan karena ini kan jelas kita tidak pernah menyetujuinya," ujar anggota Komisi E DPRD Riau ini. (rud)