JAKARTA (riaumandiri.co)- Anggota Komisi IX DPR RI FPPP Muhammad Iqbal meminta pemerintah menunda memberlakukan Perpres No. 10 tahun 2016 tentang kenaikan iyuran BPJS Kesehatan.
Selain memberatkan peserta BPJS, khususnya kelas III, juga pelayanan kesehatan rumah sakit (RS) peserta BPJS masih banyak yang mengecewakan.
“Jangan hanya karena menyatakan devisit Rp 5,8 triliun, lalu presiden mengeluarkan Perpres BPJS Kesehatan.
Mestinya yang dinaikkan itu hanya kelas I, bukan kelas III,” kata Iqbal dalam dialektika demokrasi bertema Kenaikan Iuran BPJS, di Gedung DPR RI, Kamis (24/3). Pembicara lainnya dalam diskusi itu Direktur Hukum dan Humas BPJS Bayu Wahyudi dan Koordinator BPJS Watch Indra Munazwar.
“Perpres BPJS tersebut juga harus disesuaikan dengan kemampuan masyarakat. Belum lagi masalah pelayanan khususnya di daerah, yang masih mengecewakan masyarakat, maka iuran itu pasti semakin memberatkan,” ujarnya.
Kunci sukses tidaknya pelayanan kesehatan melalui BPJS tersebut kata Iqbal, ada di pemerintah. “Bagaimana politik kesehatan pemerintah? Kalau mau serius, maka pelayanan BPJS kesehatan itu pasti akan beres,” pungkasnya.
Indra Munazwar dengan tegas meminta Perpres No.10 tahun 2016 tersebut dibatalkan, karena terdapat ketidakadilan pada masyarakat yang tidak mampu. Apalagi sampai saat ini dari 130 BUMN tidak satu pun yang menjadi anggota BPJS Kesehatan. Padahal, kalau itu dilaksanakan, maka tak akan ada devisit anggaran BPJS.
“Data penerima bantuan iuran (PBI) saja tidak akurat, karena tidak melibatkan pemerintah daerah, termasuk lurah setempat. Seharusnya agar jumlah rakyat miskin itu benar, akurat, melibatkan Pemda termasuk lurah.
Data rakyat miskin itu memang bagi pemerintah politis, karena makin besar jumlah rakyat yang miskin, maka pemerintah telah gagal,” jelas Indra.
Sementara itu Bayu, menjelaskan, keluarnya Perpres tersebut justru untuk penyesuaian tarif guna kesinambungan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), yang pelaksananaan pengelolaannya oleh BPJS.
“Dinamika perkembangan anggaran BPJS yang memprihatinkan. Jika tidak dinaikkan maka BPJS bisa bangkrut, kolaps, sehingga tidak bisa melayani masyarakat secara maksimal,” ungkap Bayu.
Menurut Bayu, perusahaan atau corporate sosial responsibility (CSR) tahun 2011 dan 2012 ikut membayar juga sebagai dana untuk membantu peserta BPJS yang tidak mampu.
Sementara Pemda hanya mengcover Rp 5 juta. Karena itu, kalau dalam 2 tahun ini masih ada kekurangan di sana-sini, masih wajar.
“Perpres itu untuk penyesuaian tarif setelah melakukan kajian akademik bersama JKSN, Menkeu dan Menkes. Setelah menghitung bantuan pemerintah Rp 19.225,- ternyata mengalami devisit anggaran,” jelas Bayu.
Apalagi dari tahun ke tahun jumlah peserta BPJS terus meningkat. Dari, sebelumnya 94 juta orang, kini sudah lebih dari 100 juta orang, sehingga pemerintah mengalami devisit Rp 9,9 triliun.
“Kalau devisit ini terus terjadi dan tidak ada uangnya, maka BPJS akan bangkrut. Karena itu naik menjadi Rp 36 ribu.
Jadi, memang harus ada perubahan dan perbaikan secara drastis khususnya pelayanan pasien. Pemerintah dan BPJS sendiri tak ada niat untuk menyulitkan pelayanan masyarakat, sehingga semua harus diperbaiki dan ditingkatkan,” ujarnya.(sam)