JAKARTA (riaumandiri.co)- Pengamat ekonomi INDEF Enny Sri Hartati mempertanyakan urgensi RUU RUU tentang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) karena bisa menimbulkan ketidakadilan bagi mereka wajib pajak yang selama ini taat membayar pajak.
“Kalau RUU itu sebagai langkah rekonsiliasi, apa selama ini yang akan dan telah dilakukan oleh Dirjen pajak? Apakah data base-nya sudah terintegrasi dengan data kependudukan? Ternyata kan masih bermasalah,” kata Enny dalam dialektika demokrasi bertema ‘Tax Amensty’, di Gedung DPR, Kamis (3/3).
Karena itu ia mengingatkan pemerintah dan DPR berhati-hati merumuskan RUU tentang Pengampunan Pajak tersebut dan jangan RUU itu hanya sekadar untuk tambahan penerimaan Negara di sector pajak sebesar Rp 60 triliun.
“Apalagi dana yang parkir di luar negeri itu kini sudah masuk ke Indonesia dalam bentuk property, kelapa sawit, tanah dan dalam bentuk investasi lainnya,” kata Enny.
Menurut Enny, dengan pengampunan pajak itu pasti ada ketidakadilan dengan mereka yang selama ini taat pajak. Karena itu ia menyarankan RUU itu benar-benar harus dibahas dan seberapa besar manfaatnya dalam jangka panjang ke depan terhadap peningkatan wajib pajak.
“Karena itu tindak pidana pajak itu harus ada klasifikasinya.
Kalau tidak maka RUU itu akan menjadi modus baru jika aturannya tidak jelas. Sesungguhnya yang terpenting adalah penegakan hukum (law enforcemant). Memang kalau disahkan pada Juni 2016 nanti dana pajak akan bertambah, tapi di tahun 2017 belum ada jaminan,” katanya.
Menurut Enny, yang diperlukan untuk meningkatkan pajak tersebut antara lain perluasan wajib pajak yang terintegrasi dengan data kependudukan; menarik dana dari luar negeri itu tidak yakin kalau iklim usaha tidak aman dan tidak nyaman bagi investor; law emforcemant harus ditegakkan.
“Ketiga langkah itu yang harus dilakukan oleh pemerintah,” pungkasnya.
Sementara itu Ketua Komisi XI DPR RI Achmadi Noor Supit menjelaskan, RUU ini baru masuk Baleg DPR dan belum diputuskan oleh Bamus DPR untuk dilanjutkan atau tidak.
“Tapi, DPR akan mendukung agar ke depan langkah pemutihan ini bisa memiliki data base dan potensi pembayar pajak yang lebih baik,” kata Noor Supit.
Dia menyebutkan, wak tu pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang memotong APBN hanya Rp 27 triliun dan hal itu dampaknya luar biasa.
Maka dengan tax amnesty ini pemerintah menargetkan dalam 6 bulan akan memperoleh sekitar Rp 60 triliun.
“Terlepas dari pro dan kontra harus ada solusi untuk memenuhi APBN,” tegas Achmadi Noor Supit.
Politisi Golkar itu yakin dengan tax amnesty ini potensi pembayar pajak akan lebih baik ke depan.
Sehingga dana di luar negeri yang mencapai Rp 4000 – Rp 6000 triliun itu bisa masuk ke Indonesia, meski yang ada di dalam negeri justru lebih besar dari itu.
“Saya melihatnya dari kepentingan negara di tengah pendapatan dari pajak (tex rasio) nya terus menurun. Sehingga kita harus menjaga posisi Indonesia agar tidak bangkrut,” ujarnya.
DPR tak mempersoalkan motivasi politik pemerintah tentang siapa yang yang akan memanfaatkan tax amensty tersebut.
Sebab sekarang ini yang seharusnya orang atau perusahaan tertentu wajib membayar pajak Rp 4 triliun, namun dengan urus-mengurus akhirnya cukup bayar Rp 400 miliar.
“Itulah yang harus dibereskan, mengingat dana dari pajak itu mencapai lebih dari 83 % APBN. Dan, itu berbeda dengan ‘sunset polecy’,” ungkapnya.
Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi Gerindra Aryo Jojohadikusmo mendukung langkah-langkah pemerintah untuk meningkatkan pajak tersebut.
Hanya saja persoalan bagaimana dengan mereka yang selama ini sudah taat membayar pajak, tapi tetap diinvestigasi dengan RUU tax amensty tersebut.
”Potensi pajak di dalam negeri sangat besar, hanya tak bisa ditarik akibat berbagai faktor pidana dan sebagainya. Karena itu harus fair, adil, setara untuk semua pembayar pajak. Jangan sampai RUU tax amnesty ini justru menguntungkan pengempalng pajak,” katanya. (sam)