Jelang Musyawarah Nasional untuk memilih Golkar 1, suasana politik dalam partai Beringin itu kian “panas” saja. Dapat dimaklumi betapa srategisnya posisi ketum umum “diperebutkan”dalam perpolitikan di tanah air.
Mengingat besarnya partai, dapat menguasai power pada gilirannya menguasai sumber daya finansial serta politik.
Munas yang diagendakan April 2016 telah diiringi dengan isu siapa calon ketua umum yang kuat. Di pasar bursa calon, ada beberapa nama yang digadang-gadang untuk memimpin partai yan beken sejak Orba itu.
Entah kandidatnya figur lama yang terlibat konflik belakangan, entah tokoh usia muda, entah tokoh yang dekat dengan pemerintah yang berkuasa sekarang. Sekurangnya ada 4 nama, yaitu Hijrianto A Thohary(50,) Idrus Marham(53), Ade Komaruddin (54), Indra Bambang Utoyo (33). Hanya memang masalah figur mendatang secara pasti tentu tidak mudah siapa orangnya.
Tapi sekadar kajian politik nama yang muncul diarena Munas itu nanti, akan ditentukan faktor berikut. Pertama, faktor consipiracy politik, artinya kesepakatan dan kebersamaan dalam mengahadapi lawan mencapai maksud atau tujuan tertentu.
(Jessy Worker 2013) Dalam bukunya,"The USof Pranoa A Conspiracy Theory," menyatakan ada 3 bidang penerapan teori konspirasi, yakni, Conspiracy above, bersifat keatas, kekuasaan pemerintahan. Conspiracy below, mengahadapi kekuatan pesaing dari bawah sosial atau kekuatan penentangan publik.
Conspiracy within, yakni pesaing yang ada di intern organisasi. Singkatnya adakah lawan yang bersepakat menentang. Entah dari kekuasaan, atau dari publik atau dari internal organisasi.
Konspirasi adalah kekuatan menghadapi pesaing, yang menghambat. Jika kita deretkan tiga nama di atas, kekuatan enemy atau musuh yang mengalangi calon tidak seberapa. Hijrianto A. Thohary mantan wakil Ketua MPR RI. Figur politisi muda brilian, dekat dengan JK.
Ade Komaruddin posisi Ketua DPR membuat dia dekat dengan pihak atas. Idrus Marham mantan Sekjen dekat dengan Menkopolkam, Indra Bambag Utoyo dekat dengan Menhankam dan Megawati. Terhadap pesaing intern, Hijrianto A Thohary, dan Ade Komaruddin dalam posisi aman.
Hanya Idrus Marham yang ada konflik ringan, sedangkan Indra Bambang Utoyo tidak ada penantang. Adapun dari tantangan sosial dan publik, nampaknya empat figur tersebut diterima dengan baik, lantaran kematangan, usia dam finansial cukup. Kedua, kepantasan dalam kriteria Golkar sendiri. Syarat ini tentu prinsip dalam Golkar.
Pada pokoknya merupakan personafikasi dari beberapa hal berikut, figur yang dikenal, dedikasi, loyalis dan record perilaku tidak tercela. Sesuai dengan kebesaran Partai Golkar yang “telah malang melintang” dengan pengalaman pasang naik dan pasang surut politik bangsa. Kepantasan ini amat menentukan, karena selama ini tidak mungkin seorang yang tidak lolos kepantasan dapat menjadi pimpinan inti Golkar.
Ini kriteria melekat yang dibangun ketat dalam organisasi partai sebagai warisan sejak masa Orba. Tentu ini merupakan kekuatan Partai Golkar yang dapat diandalkan, meskipun ada konflik kepentingan dan isu perpecahan. Meskipun terjadi juga, seperti hengkangya kader Golkar ke partai lain, namun tidak membuat Golkar berantakan. Malahan dapat memetik hikmahnya, karena kader membangun partai baru, akhirnya memunculkan sinergi strategis bentuk baru.
Adanya Munas Golkar yang akan datang, agaknya pimpinannya berada pada bayang bayang berikut. Pertama, konspirasi politik, kandidat yang sukses kandidat yang mampu melakukan konspirasi politik. Kedua, adanya kriteria kepantasan. Pimpinan yang sukses bila memenuhi kepantasan prinsip partai, yaitu personifikasi, berdedikasi, loyalis dan beraklak perilaku tidak tercela.
Inilah kemudian yang bisa dapatkan mencermati pelaksanaan Munas Partai Golkar. Oleh karena Munas hanya memiliki agenda tunggal menentukan pimpinan, maka wajar masa dua bulan ini kan menjadi hari yang "panas". Artinya kandidat ketua umum harus memastikan waktu yang tersisa guna memuluskan agenda buat memimpin partai berlambang pohon beringin ini.
Tak dapat dibantah, belakangan ada suara keinginan pihak Istana, karena Presiden Jokowi tak rela jika nanti Golkar tak sejalan dengan kebijakan Istana. Sejatinya, Presiden hendak menciptakan pemimpin Golkar bukan saja kuat, tapi pimpinan yang tidak “merecokinya.”
Sinyal ini tentu terbaca dengan jelas oleh elit partai Golkar, karena itu, Golkar tidak serta merta menerapkan sikap “damai” mengikuti pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi. Boleh tidak “merecoki” Istana, tapi dapat konsesi apa buat membangun kepentingan partai ke depan.
Sebagai catatan penutup, Partai Golkar pasca konflik kini memperoleh momentum. Munas merupakan jalan yang benar untuk membangun keutuhan Golkar. Jika sukses, membuktikan Golkar canggih dalam menata strategi organisasi partai. ***