Pada tataran ideal, sebenarnya, pemekaran wilayah dipandang sebagai sebuah terobosan untuk mempercepat pembangunan melalui peningkatan kualitas dan kemudahan memperoleh pelayanan bagi masyarakat.
Pemekaran wilayah juga merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam memperpendek rentang kendali pemerintah sehingga meningkatkan efektifitas penyelenggaraan pemerintah dan pengelolaan pembangunan.
Walaupun UU No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah memang masih membuka ruang untuk dilangsungkannya proyek pemekaran daerah, menyikapi usulan pemekaran daerah dengan fungsi desentralisasi-otonomi daerah sendiri, diperlukan kearifan dari para pengambil kebijakan untuk secara hati-hati dalam meresponsnya.
Karena untuk melakukan sebuah pemekaran tentunya diperlukan pengkajian ulang terhadap semua daerah yang sudah dimekarkan. Dengan pengkajian ulang, setidaknya bisa diperoleh potret obyektif terhadap kondisi dan dampak daerah-daerah yang sudah dimekarkan itu.
Kemudian, diperlukan payung hukum yang lebih objektif –rasional yang bisa dijadikan dasar untuk memproses, menyetujui atau menolak usul pemekaran, termasuk di dalamnya upaya penggabungan daerah. Serta Diperlukan suatu bentuk inovasi pengelolaan pemerintahan lokal dimana tanpa pemekaran tujuan desentralisasi–otonomi daerah bisa dicapai.
Namun, seringkali dalam hal pemekaran dan perluasan wilayah dilakukan dengan berbagai rekayasa dan memaksakannya, padahal mestinya pemekaran dan perluasan wilayah adalah sesuatu yang alami.
Mudah-mudahan itu tidak terjadi pada lima Daerah Otonomi Baru (DOB) yang sudah disepakati Komisi II dengan Kemendagri, yakni Kabupaten Indragiri Selatan (Insel), Indragiri Utara pemekaran dari Indragiri Hilir, Kabupaten Gunung Sahilan Darussalam dari Kampar, Kota Duri dari Bengkalis dan Kabupaten Rokan Darussalam yang mekar dari Rokan Hulu.
Sehingga mestinya prosesnya juga haruslah alami, jikapun seandainya ada rekayasa untuk mempersiapkannya, rekayasanya juga harus berjalan alami, agar jangan terjadi daerah yang setelah pemekaran malah menjadi tidak berkembang.
Untuk itu, pemerintah baik provinsi maupun kabupaten/kota harus berperan aktif mempersiapkan pemekaran, sehingga objektif dan rasional, sehingga pemekaran bisa menjadi momentum bagi provinsi untuk menata ulang perwilayahannya serta perluasan dan pemekaran wilayah benar-benar atas pertimbangan yang matang.
Hal ini perlu dicermati agar semangat perluasan dan pemekaran wilayah tidak hanya sekedar kepentingan "sesaat" atau keinginan kelompok ataupun kepentingan politik, termasuk hanya sekedar bagi-bagi kekuasaan sebagaimana yang beredar luas di tengah masyarakat.
Dengan demikian pemekaran wilayah akan memberi manfaat bagi masyarakat umum asal dilakukan sesuai prosedur dan kebutuhan serta pemekaran dilakukan untuk meningkatkan efektivitas pemerintahan serta meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan umum, maka pembentukan daerah baru itu memang tepat dan menjadi solusi.
Akan tetapi jika pemekaran daerah otonomi baru itu tidak berangkat dari tujuan yang benar serta tidak dikelola dengan baik serta melencengnya praktik pemekaran dari tujuan utamanya, pada akhirnya pemekaran tersebut hanya akan membebani anggaran negara dan justru mempertebal jarak masyarakat dari kesejahteraan.
Selain itu, pemekaran wilayah tanpa didasari analisis manfaat yang komprehensif dan akurat yang mencakup ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan, niscaya dapat menimbulkan masalah besar di kemudian hari. Sehingga akhirnya sebagian daerah baru layu justru setelah dimekarkan.***
Pada tataran ideal, sebenarnya, pemekaran wilayah dipandang sebagai sebuah terobosan untuk mempercepat pembangunan melalui peningkatan kualitas dan kemudahan memperoleh pelayanan bagi masyarakat.
Pemekaran wilayah juga merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam memperpendek rentang kendali pemerintah sehingga meningkatkan efektifitas penyelenggaraan pemerintah dan pengelolaan pembangunan.
Walaupun UU No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah memang masih membuka ruang untuk dilangsungkannya proyek pemekaran daerah, menyikapi usulan pemekaran daerah dengan fungsi desentralisasi-otonomi daerah sendiri, diperlukan kearifan dari para pengambil kebijakan untuk secara hati-hati dalam meresponsnya.
Karena untuk melakukan sebuah pemekaran tentunya diperlukan pengkajian ulang terhadap semua daerah yang sudah dimekarkan. Dengan pengkajian ulang, setidaknya bisa diperoleh potret obyektif terhadap kondisi dan dampak daerah-daerah yang sudah dimekarkan itu.
Kemudian, diperlukan payung hukum yang lebih objektif –rasional yang bisa dijadikan dasar untuk memproses, menyetujui atau menolak usul pemekaran, termasuk di dalamnya upaya penggabungan daerah. Serta Diperlukan suatu bentuk inovasi pengelolaan pemerintahan lokal dimana tanpa pemekaran tujuan desentralisasi–otonomi daerah bisa dicapai.
Namun, seringkali dalam hal pemekaran dan perluasan wilayah dilakukan dengan berbagai rekayasa dan memaksakannya, padahal mestinya pemekaran dan perluasan wilayah adalah sesuatu yang alami.
Mudah-mudahan itu tidak terjadi pada lima Daerah Otonomi Baru (DOB) yang sudah disepakati Komisi II dengan Kemendagri, yakni Kabupaten Indragiri Selatan (Insel), Indragiri Utara pemekaran dari Indragiri Hilir, Kabupaten Gunung Sahilan Darussalam dari Kampar, Kota Duri dari Bengkalis dan Kabupaten Rokan Darussalam yang mekar dari Rokan Hulu.
Sehingga mestinya prosesnya juga haruslah alami, jikapun seandainya ada rekayasa untuk mempersiapkannya, rekayasanya juga harus berjalan alami, agar jangan terjadi daerah yang setelah pemekaran malah menjadi tidak berkembang.
Untuk itu, pemerintah baik provinsi maupun kabupaten/kota harus berperan aktif mempersiapkan pemekaran, sehingga objektif dan rasional, sehingga pemekaran bisa menjadi momentum bagi provinsi untuk menata ulang perwilayahannya serta perluasan dan pemekaran wilayah benar-benar atas pertimbangan yang matang.
Hal ini perlu dicermati agar semangat perluasan dan pemekaran wilayah tidak hanya sekedar kepentingan "sesaat" atau keinginan kelompok ataupun kepentingan politik, termasuk hanya sekedar bagi-bagi kekuasaan sebagaimana yang beredar luas di tengah masyarakat.
Dengan demikian pemekaran wilayah akan memberi manfaat bagi masyarakat umum asal dilakukan sesuai prosedur dan kebutuhan serta pemekaran dilakukan untuk meningkatkan efektivitas pemerintahan serta meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan umum, maka pembentukan daerah baru itu memang tepat dan menjadi solusi.
Akan tetapi jika pemekaran daerah otonomi baru itu tidak berangkat dari tujuan yang benar serta tidak dikelola dengan baik serta melencengnya praktik pemekaran dari tujuan utamanya, pada akhirnya pemekaran tersebut hanya akan membebani anggaran negara dan justru mempertebal jarak masyarakat dari kesejahteraan.
Selain itu, pemekaran wilayah tanpa didasari analisis manfaat yang komprehensif dan akurat yang mencakup ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan, niscaya dapat menimbulkan masalah besar di kemudian hari. Sehingga akhirnya sebagian daerah baru layu justru setelah dimekarkan.***
Pada tataran ideal, sebenarnya, pemekaran wilayah dipandang sebagai sebuah terobosan untuk mempercepat pembangunan melalui peningkatan kualitas dan kemudahan memperoleh pelayanan bagi masyarakat.
Pemekaran wilayah juga merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam memperpendek rentang kendali pemerintah sehingga meningkatkan efektifitas penyelenggaraan pemerintah dan pengelolaan pembangunan.
Walaupun UU No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah memang masih membuka ruang untuk dilangsungkannya proyek pemekaran daerah, menyikapi usulan pemekaran daerah dengan fungsi desentralisasi-otonomi daerah sendiri, diperlukan kearifan dari para pengambil kebijakan untuk secara hati-hati dalam meresponsnya.
Karena untuk melakukan sebuah pemekaran tentunya diperlukan pengkajian ulang terhadap semua daerah yang sudah dimekarkan. Dengan pengkajian ulang, setidaknya bisa diperoleh potret obyektif terhadap kondisi dan dampak daerah-daerah yang sudah dimekarkan itu.
Kemudian, diperlukan payung hukum yang lebih objektif –rasional yang bisa dijadikan dasar untuk memproses, menyetujui atau menolak usul pemekaran, termasuk di dalamnya upaya penggabungan daerah. Serta Diperlukan suatu bentuk inovasi pengelolaan pemerintahan lokal dimana tanpa pemekaran tujuan desentralisasi–otonomi daerah bisa dicapai.
Namun, seringkali dalam hal pemekaran dan perluasan wilayah dilakukan dengan berbagai rekayasa dan memaksakannya, padahal mestinya pemekaran dan perluasan wilayah adalah sesuatu yang alami.
Mudah-mudahan itu tidak terjadi pada lima Daerah Otonomi Baru (DOB) yang sudah disepakati Komisi II dengan Kemendagri, yakni Kabupaten Indragiri Selatan (Insel), Indragiri Utara pemekaran dari Indragiri Hilir, Kabupaten Gunung Sahilan Darussalam dari Kampar, Kota Duri dari Bengkalis dan Kabupaten Rokan Darussalam yang mekar dari Rokan Hulu.
Sehingga mestinya prosesnya juga haruslah alami, jikapun seandainya ada rekayasa untuk mempersiapkannya, rekayasanya juga harus berjalan alami, agar jangan terjadi daerah yang setelah pemekaran malah menjadi tidak berkembang.
Untuk itu, pemerintah baik provinsi maupun kabupaten/kota harus berperan aktif mempersiapkan pemekaran, sehingga objektif dan rasional, sehingga pemekaran bisa menjadi momentum bagi provinsi untuk menata ulang perwilayahannya serta perluasan dan pemekaran wilayah benar-benar atas pertimbangan yang matang.
Hal ini perlu dicermati agar semangat perluasan dan pemekaran wilayah tidak hanya sekedar kepentingan "sesaat" atau keinginan kelompok ataupun kepentingan politik, termasuk hanya sekedar bagi-bagi kekuasaan sebagaimana yang beredar luas di tengah masyarakat.
Dengan demikian pemekaran wilayah akan memberi manfaat bagi masyarakat umum asal dilakukan sesuai prosedur dan kebutuhan serta pemekaran dilakukan untuk meningkatkan efektivitas pemerintahan serta meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan umum, maka pembentukan daerah baru itu memang tepat dan menjadi solusi.
Akan tetapi jika pemekaran daerah otonomi baru itu tidak berangkat dari tujuan yang benar serta tidak dikelola dengan baik serta melencengnya praktik pemekaran dari tujuan utamanya, pada akhirnya pemekaran tersebut hanya akan membebani anggaran negara dan justru mempertebal jarak masyarakat dari kesejahteraan.
Selain itu, pemekaran wilayah tanpa didasari analisis manfaat yang komprehensif dan akurat yang mencakup ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan, niscaya dapat menimbulkan masalah besar di kemudian hari. Sehingga akhirnya sebagian daerah baru layu justru setelah dimekarkan.***