Arena politik telah menjadi jalan perubahan yang semakin ribut, lantaran menjadi pelaku politik seakan mempunyai nilai lebih dalam strata masyarakat Indonesia saat ini. Di samping itu, politikus mempunyai wewenang dalam memainkan peran utama di panggung politik.
Jika politikus telah menduduki parlemen sebagai istitusi politik misalnya, ia memiliki kekuasaan membuat undang-undang dan dapat berperan sebagai aktor sekaligus sutradara yang mengatur, mengendalikan, dan mengawasi proses pengelolaan administrasi negara dalam pemerintahan negara.
Namun, potret kepemimpinan elite politik semakin ke sini boleh dikata semakin memprihatinkan. Sistem perpolitikan kita telah berhasil melahirkan banyak politikus, tetapi dari kebanyakan politikus hanya sedikit yang layak disemat sebagai negarawan. Karena Setiap waktu, kita mendengar ada saja politikus berulah, mulai dari pelanggaran etik, pelanggaran terhadap nilai moral dan tatanan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, dengan heran kita pun bertanya, kenapa hal ini bisa terjadi, dan terkadang tidak percaya, karena sebagian mereka adalah kaum intelektual, dan terkadang juga hidup dalam lingkaran keluarga yang baik dan terlihat agamis.
Politikus yang berulah tidak hanya terdapat di institusi politik Pusat, tapi juga terdapat di setiap institusi politik tingkat daerah, dan banyak kita temukan maju kembali dalam sebagai calon dalam pemilu, baik itu pilkada serentak yang baru saja bergulir atau pada pemilu legislatif.
Salah satunya yang masih hangat beritanya adalah Ivan Haz atau yang bernama asli Fanny Safriansyah jadi sorotan publik akhir-akhir ini. Sorotan datang bukan lantaran prestasinya sebagai anggota DPR RI fraksi PPP, melainkan dari perilaku yang membuat putra wakil Presiden RI ke-9, Hamzah Haz itu, harus berurusan dengan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), bahkan kepolisian Ivan diduga kuat terlibat perkara dugaan penganiayaan pembantu rumah tangganya berinisial T (20). T melaporkan perkara itu ke Polda Metro Jaya awal Oktober 2015 yang lalu.
Belum memenuhi panggilan soal perkara penganiayaan, nama Ivan kembali dikaitkan dengan kasus lainnya. Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti menyebut, Ivan diduga kuat mengonsumsi narkoba. Politikus lain yang kembali berulah adalah Setya Novanto, yang diduga titip absen serta empat kepala daerah yang berstatus tersangka dilantik dalam peilkada serentak 2015 lalu.
Keempat kepala daerah itu adalah Walikota terpilih Gunung Sitoli, Sumatera Utara, Lakhomizaro Zebua, yang menjadi tersangka kasus korupsi pengadaan RSUD Nias Selatan tahun 2013 senilai Rp5,12 miliar. Bupati terpilih Sabu Raijua NTT Marthen Dira Tome, tersangka KPK dalam kasus korupsi di Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Provinsi NTT tahun 2007 sebesar Rp77 miliar. Ada pula Bupati terpilih Ngada, NTT Marianus Sae, yang menjadi tersangka kasus penutupan Bandara Turerelo Soa. Terakhir, Bupati terpilih Maros, Sulawesi Selatan, Hatta Rahman berstatus tersangka kasus korupsi pada 2011.
Sah-sah saja memang, karena Sesuai UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, pasangan calon peraih suara terbanyak yang disahkan melalui surat keputusan KPU berhak menduduki jabatan sebagai kepala daerah, tidak terkecuali bagi yang sedang tersandung kasus hukum, dan aelama belum ditetapkan sebagai terpidana, masih bisa dilantik.
Daniel Katz membagi politikus dalam dua kategori, politikus ideologi (negarawan) dan politikus partisipan. Politikus ideolog atau negarawan merupakan orang-orang yang dalam proses politik lebih memperjuangkan kepentingan bersama.
Mereka tidak begitu terpusat untuk mendesakkan tuntutan pribadi atau kelompoknya. Mereka justru lebih menyibukkan diri untuk menetapkan kebijakan yang lebih luas, mengusahakan reformasi, bahkan mendukung perubahan revolusioner jika hal tersebut mendatangkan maslahat bagi bangsa dan negara. Sementara politikus partisipan adalah orang-orang yang dalam proses politik lebih memperjuangkan kepentingan diri sendiri atau kelompoknya.
Hal yang kira-kira senada dituturkan oleh Guru Bangsa ini Syafii Maarif. Beliau menyatakan, jika seorang politikus kebanyakan tuna visi dan cenderung pragmatis. Hanya mementingkan urusan jangka pendek diri sendiri.
Sedangkan politikus yang berwatak negarawan merupakan sosok yang mendudukkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi. Menjadi politikus yang ideal memang bukan sekadar adanya niat dan kemauan, namun membutuhkan komitmen yang tegas dan kapasitas yang mumpuni.
Menjadi politikus dengan kualitas negarawan tidak hanya sekadar piawai mengelola kekuasaan, tetapi harus menegaskan dan membuktikan apa yang hendak diperbuat dengan visi yang benar, mendalam, dan konsisten. Jika meminjam konsep kenegarawanan di atas, kemudian menengok realitas perpolitikan kita, rasanya sulit menemukan pemimpin bertipe negarawan pada masa sekarang.
Fenomena politik dinasti, konflik dualisme partai, perpecahan atas nama koalisi di parlemen, tradisi pecah kongsi para elite pemerintahan dan praktik korupsi yang terus menggelinding bak bola salju merupakan indikasi yang jelas untuk mempertegas jika bangsa ini tengah mengalami krisis negarawan.
Sosok teladan yang sederhana, berwawasan luas, berintegritas dan memiliki jiwa pengabdian terhadap bangsa semisal Bung Hatta sudah sangat langka kita jumpai.
Panggung politik telah menjadi “ring tinju” para elite untuk merengkuh kursi kekuasaan. Dalam kontestasi politik terkadang bukan lagi pertarungan antara kelompok benar melawan kelompok salah, yang tulus melawan yang culas, atau yang protagonis melawan yang antagonis.
Tetapi rimba politik adalah pertarungan kelompok kepentingan satu melawan kelompok kepentingan yang lain.
Pilkada dan ikhtiar mencari pemimpin
Beberapa bulan ke depan kita pun dihadapkan pilkada serentak 2017 dan secara khusus Kota Pekanbaru. Kita pun mendengar nama dan bakal kandidat yang telah muncul ke permukaan dan secara terang menderang menyatakan siap berkompetisi. Proses politik yang dimainkan oleh para aktor politik relatif berbeda-beda satu sama lain.
Namun, strategi pemenangan dan pendekatan yang dimainkan akan menjadi cerminan bagaimana karakter dan tabiat politik para bakal kandidat. Politikus yang pragmatis dan kerdil cara berpikirnya adalah mereka yang menggunakan strategi “bola-bola pendek”, menyikut sana menyikut sini dan cenderung bertumpu pada kekuatan finansial untuk membeli suara pemilihnya.
Semoga dalam pilkada serentak untuk Pekanbaru dan Indonesia secara umum melahirkan figur negarawan yang berdedikasi dan berjiwa pengabdi. Persoalan pembangunan dan kesejahteraan hanya dapat terwujud jika pemerintahan dikelola oleh pemimpin berkarakter negarawan.
Olehnya, jangan mudah terbuai oleh iming-imingan dan muslihat retorika politik. Memeriksa rekam jejak bakal kandidat dan menegakkan akal sehat setinggi-tingginya dalam menentukan pilihan politik merupakan sebaik-baiknya ikhtiar sebagai warga negara.***
Dosen Fakultas Hukum UR