JAKARTA (riaumandiri.co)-Harga minyak melonjak lebih dari 5 persen di Asia pada perdagangan, Jumat (12/2), sehari setelah jatuh ke posisi terendah sejak 13 tahun terakhir.
Dan menyusul laporan yang menyatakan OPEC terbuka untuk bekerja sama menuju pengurangan produksi guna menstabilkan pasar minyak mentah.
Harga untuk kedua kontrak utama merosot, Kamis (11/2) sejalan dengan aksi jual di pasar seluruh dunia, karena para pedagang semakin khawatir tentang keadaan ekonomi global, dan kemungkinan kembali ke resesi.
Namun para pedagang diberi secercah harapan dengan laporan di Wall Street Jurnal mengutip Menteri Energi Uni Emirat Arab Suhail Al Mazrouei yang mengatakan OPEC bersedia bekerja sama dengan produsen lain untuk memangkas produksi.
Tetapi, para analis mengatakan tindakan nyata diperlukan sebelum spekulasi tersebut menjadi pendorong harga handal dan karena bertahannya kelebihan pasokan global menekan komoditas, setiap reli harga tidak mungkin bertahan.
Harga minyak melonjak lebih dari lima persen sebelum berkurang sedikit pada Jumat sore. Pada sekitar pukul 06.40 GMT, patokan AS, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Maret naik 1,22 dolar AS atau 4,65 persen menjadi 27,43 dolar AS per barela, dan minyak mentah Brent untuk April naik 1,34 dolar AS atau 4,46 persen menjadi 31,40 dolar AS per barel.
WTI menetap di 26,21 dolar AS per barel pada Kamis (11/2), penutupan terendah sejak Mei 2003, dan menembus posisi terbawah yang ditetapkan pada Januari. Kontrak ini turun sekitar 11 persen untuk seminggu.
"Setelah WTI mencapai terendah baru dalam 12-tahun pada Kamis, ini memicu beberapa perburuan harga murah karena tidak ada berita nyata mendorong kemerosotan kecuali masalah kelebihan pasokan," kata Bernard Aw, analis pasar di IG Markets Singapura.
Dia menambahkan, komentar menteri UEA akan memiliki dampak kecil pada harga untuk jangka panjang, kecuali pemain besar di Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) seperti Arab Saudi dan Irak membuat komitmen kuat tentang pemangkasan produksi.
"Tanpa Arab Saudi dan Irak, tidak ada banyak pemain lain bisa melakukannya," kata dia.(rep/mel)