Pendidikan agama suatu pendidikan yang melatih perasaan siswa dengan cara begitu rupa, sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan, dan pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan, mereka dipengaruhi sekali nilai spiritual dan sangat sadar akan nilai etis Islam.
Pendidikan merupakan sistem meningkatkan kualitas hidup manusia dalam segala aspek kehidupan. Pendidikan merupakan sarana terbaik menciptakan suatu generasi baru pemuda pemudi yang tak akan kehilangan ikatan dengan tradisi mereka sendiri, tetapi sekaligus tidak menjadi bodoh secara intelektual atau terbelakang dalam pendidikan mereka atau tidak menyadari adanya perkembangan setiap cabang pengetahuan.
Pendidikan merupakan proses budaya meningkatkan harkat dan martabat manusia yang berlangsung sepanjang hayat. Ada beberapa persoalan mendasar yang perlu dipertimbangkan tatkala mengagendakan rencana pengembangan pendidikan agama. Pertama, stigma keterpurukan bangsa, yang berakibat kurangnya rasa percaya diri.
Kedua, eskalasi konflik, yang disatu sisi merupakan unsur dinamika sosial, tetapi di sisi lain mengancam keharmonisan bahkan integrasi sosial baik lokal, nasional, regional maupun internasional.
Ketiga, krisis moral dan etika, yang melanda kehidupan bangsa kita dalam berbagai tataran administratif pemerintahan Pusat atau daerah dan dalam berbagai sektor negara maupun swasta. Keempat, pudarnya identitas bangsa, terutama berhadapan dengan hegemoni kekuatan dunia yang unggul baik dari aspek politik, sosial maupun kultural.
Meskipun sebenarnya dalam tata hubungan global diperlukan prinsip interdependensi di antara negara dan bangsa dunia, tetapi komitmen politik bebas aktif mulai canggung, kesatuan dan persatuan bangsa (budaya dan sosial) mengalami keretakan.
Dari persoalan mendasar tersebut di atas, pendidikan agama di sekolah ataupun di masyarakat perlu diorientasikan pada, satu, pengembangan SDM karena keterpurukan bangsa bisa diobati dan disembuhkan dengan tersedianya SDM yang tangguh, cerdas secara intelektual, sosial, dan spiritual, memiliki dedikasi dan disiplin, jujur, tekun, ulet, dan inovatif. Dua, kearah pendidikan agama Islam multikulturalis, yakni pendidikan agama Islam perlu dikemas dalam watak multikultural, ramah menyapa perbedaan budaya, sosial dan agama. Tiga, mempertegas misi “untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak” sebagai misi utama Rasulullah SAW.
Empat, melakukan spiritualiasi watak kebangsaan, termasuk spiritualisasi berbagai aturan hidup untuk membangun bangsa yang beradap (Fadjar, 2003). Pada yang terakhir ini sekaligus mengandung makna perlunya pengembangan pendidikan agama sebagai budaya sekolah.
Pengembangan pendidikan agama sebagai budaya sekolah, tidak bisa dilepaskan dari peran para penggerak kehidupan keagamaan di sekolah tersebut, yang berusaha melakukan aksi pembudayaan agama.
Meminjam teori Philip Kotler (1978), terdapat lima unsur dalam melakukan gerakan perubahan di masyarakat, termasuk masyarakat sekolah, yang di singkat 5C, yaitu: Pertama, Causes, sebab-sebab yang bisa menimbulkan perubahan, yang antara lain berupa ide (gagasan atau cita-cita) atau pandangan dunia dan atau nilai-nilai, yang biasanya dirumuskan dalam visi, misi, motif atau tujuan yang dipandang mampu memberikan jawaban terhadap problem yang dihadapi. Kedua, Change agency, pelaku perubahan atau tokoh-tokoh yang berada di balik aksi perubahan dan pengembangan.
Ketiga, Change target (sasaran perubahan), seperti individu, kelompok atau lembaga yang ditunjuk sebagai sasaran upaya pengembangan dan perubahan. Keempat, Channel (saluran), yakni media guna menyampaikan pengaruh dan respon dari setiap pelaku pengembangan ke sasaran pengembangan dan perubahan.
Kelima, Change strategy, teknik utama memengaruhi yang diterapkan oleh pelaku pengembangan dan perubahan untuk menimbulkan dampak pada sasaran dituju. Strategi pengembangan budaya agama dalam komunitas sekolah, menurut Koentjaraningrat (1974), tentang wujud kebudayaan meniscayakan adanya upaya pengembangan dalam tiga tataran, yaitu tataran nilai yang dianut, tataran praktik keseharian, dan tataran simbol budaya.
Pada tataran nilai yang dianut, perlu dirumuskan secara bersama nilai-nilai agama yang disepakati dan perlu dikembangkan di sekolah, untuk selanjutnya dibangun komitmen dan loyalitas bersama di antara semua warga sekolah terhadap nilai-nilai yang disepakati. Nilai-nilai tersebut ada yang bersifat vertikal dan horizontal.
Yang vertikal berwujud hubungan manusia atau warga sekolah dengan Allah (hablum minallah), dan yang horizontal berwujud hubungan manusia atau warga sekolah dengan sesamanya (hablum minannas), dan hubungan mereka dengan lingkungan alam sekitar. Dalam tataran praktik keseharian, nilai keagamaan yang telah disepakati tersebut diwujudkan dalam bentuk sikap dan perilaku keseharian oleh semua warga sekolah.
Proses pengembangan tersebut dapat dilakukan melalui tiga tahap, yaitu, pertama, sosialisasi nilai-nilai agama yang disepakati sebagai sikap dan perilaku ideal yang ingin dicapai pada masa mendatang di sekolah. Kedua, penetapan action plan mingguan atau bulanan sebagai tahapan dan langkah sistematis yang akan dilakukan oleh semua pihak di sekolah dalam mewujudkan nilai-nilai agama yang telah disepakati tersebut.
Ketiga, pemberian penghargaan terhadap prestasi warga sekolah, seperti guru, tenaga kependidikan, dan peserta didik sebagai usaha pembiasaan (habit formation) yang menjunjung sikap dan perilaku yang komitmen dan loyal terhadap ajaran dan nilai agama yang disepakati. Penghargaan tidak selalu berarti materi, melainkan juga dalam arti sosial, kultural, psikologis, ataupun lainnya.
Dalam tataran simbol budaya, pengembangan yang perlu dilakukan adalah mengganti simbol budaya yang kurang sejalan dengan ajaran dan nilai agama dengan simbol budaya yang agamis. Perubahan simbol dapat dilakukan dengan mengubah model berpakaian dengan prinsip menutup aurat, pemasangan hasil karya peserta didik, foto dan motto yang mengandung pesan, nilai agama, dan lain-lain.
Di dalam ajaran agama terdapat nilai-nilai yang bersifat vertikal dan horizontal.
Guru SMAN 1 Tebing Tinggi, Meranti