Banyak orang yang menghabiskan waktunya untuk berburu harta kekayaan, kemudian mengalami kegersangan jiwa nan kering kerontang. Kondisi tersebut menyiratkan prilaku sebagian anak manusia dalam menjalani kehidupan.
Berburu dengan waktu, syahdan tak kenal batas waktu untuk mengumpulkan harta. Dalam benaknya hanya ada satu, yakni, bagaimana mendapatkan harta sebanyak-banyaknya. Persoalan legalitas halal atau haram tidak ada lagi dalam narasi kehidupannya. Apatah lagi di tengah dominasi teriakan kontemporer saat ini, “yang haram saja susah, apalagi yang halal”.
Bagi pemburu kehidupan, harta adalah mutumanikam yang berharga. Dengan harta mereka bisa membeli segalanya. Baginya, harta telah menjadi “keyword” untuk memasuki pintu kebahagiaan hidup. Ranah apapun dijadikan ladang perburuan harta. Tak ayal tahta dijadikan tameng untuk menunaikan amanah, tapi sejatinya, mesin pengumpul harta.
Bahkan wanita pun sanggup menggadaikan mahkota terindahnya, hanya untuk harta. Alhasil, harta telah berevolusi menjadi garansi pasti untuk meraih kebahagiaan hidup. Padahal hidup tidak selalu bicara kebahagiaan lahiriah, yang pemenuhannya bisa digapai dengan harta. Hidup adalah integrasi batiniah dan lahiriah. Kebahagiaan lahiriah sangat ditentukan oleh batiniah, sebab bahagia hakikatnya adalah rasa, dan rasa itu hidup dalam alam batiniah.
Mengutip pendapat Al Ghazali, “tempat bahagia itu adalah hati”. Arvan P dalam bukunya, "Seven Laws of Happiness" bahkan menempatkan kebahagiaan berseberang arah dengan kesuksesan.
Dimana kesuksesan selalu menempatkan harta dan kedigdayaan dunia sebagai barometernya. Selama ini dunia dan segala propagandanya telah menghipnotis anak manusia untuk memeluknya dengan erat. Faktanya, tumpahan kapitalisme, materialisme dan hedonisme telah berjaya meninabobokan manusia dalam kubangan maksiat.
Alhasil, mata kita tidak lagi terbelalak melihat penguasa terjebak kasus korupsi, prostitusi yang kian telanjang, atau setumpuk perbuatan demoralisasi. Bagi kita sudah lumrah dan menganggapnya sebagai konsekuensi logis kemajuan zaman. Kita berlomba menghiasi lahiriah dengan segala ornamen keduniawiannya. Sementara ladang batin dibiarkan tak terawat dan ditumbuhi ilalang panjang nafsu syahwat.
Manusia menyangka keindahan lahiriah yang diukirnya akan membuat tenggorokan kehidupannya puas, ternyata dahaga kehidupan tidak kian sirna. Persis seperti ungkapan orang bijak, ”limpahan air samudera tidak akan sanggup menghilangkan dahagamu akan dunia”. Nabi menggambarkan dalam sabdanya, “Seandainya manusia diberi lembah penuh dengan emas, maka ia masih menginginkan lembah yang kedua semisal itu.
Jika diberi lembah kedua, ia pun masih menginginkan lembah ketiga". Demikianlah gambaran manusia yang terjebak gemerlap kehidupan dunia. Ironisnya, kesadaran itu muncul ketika hidup tertimpa musibah.
Rupanya harta yang disangka akan menuai bahagia, tak bisa membeli bahagia. Diri sudah terkurung dalam bilik penjara, tahta tak lagi dalam kuasa, anak tersangkut narkoba, isteri nan cantik yang selalu dimanja pergi entah kemana. Disitulah badan baru merasa, bahwa hidup bukan lahiriah saja.
Ada batin yang kita telantarkan, tak pernah diurus dan diberikan makan dengan asupan Illahiah. Akhirnya penyesalan datang meradang, menjalar ke sekujur badan. Benarlah kata Allah, ”Bermegah-megahan dengan harta telah mencelakakan kalian.” (QS At Takatsur: 1). Tapi masih beruntung, bahwa maut belum datang menjemput.
Ada peluang untuk melepaskan diri dari jebakan kehidupan duniawi. Menata diri serta menyinari nurani yang selama ini kelam dan tak bercahaya dengan pelita Illahi. Hanya itulah satu-satu sinar yang bisa menyelamatkan kita terjebak dalam lorong-lorong sempit kehidupan. Tak ada cahaya besar dunia yang bisa menerobos masuk kedalam jantung sanubari manusia selain cahaya Allah.
Hanya Allah yang mampu membuat batiniah menjadi tenang dan bahagia.
Untuk itu, mengingatnya dan menjalani kehidupan selaras dengan perintahnya adalah cara ampuh untuk menggapai kebahagiaan dan ketenangan hidup. Menebas semua ilalang panjang nafsu syahwat yang bersarang dalam batiniah dan menaburinya dengan taburan Illahiah. Sebagaimana ungkapan santun Tuhan dalam Alquran surah ar Ra’du: 28, “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” Mengingat Allah bukan hanya dalam lafal zikir, tapi dalam setiap gerak dan pikir. Mencari harta dunia bukanlah laku sesat dan salah, malah Allah menganjurkannya sebagaimana firmannya dalam surah Al Qashsash ayat 77, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi.“
Sesungguhnya yang tidak betul itu adalah memburu harta dari segala penjuru arah, tapi Allah tak ikut serta. Artinya, tak mengenal mana yang hak dan mana yang batil, tak mengenal jeda untuk sejenak bermunajah kepada-Nya.
Dalam Bidal Melayu dikatakan, tak ada kata terlambat untuk bertaubat. Senyampang nadi masih berdenyut, selagi suara bisa bersahut, datangi dan panggillah Allah kembali dalam kehidupan kita. Allah tak pernah menutup pintu rahmat kepada umatnya.
Bahkan, dalam hadis qudsi digambarkan bagaimana sayangnya Allah kepada manusia. Ketika kita mendekat sejengkal, Allah mendekat sehasta, ketika kita mendekat sehasta, Allah mendekat sedepa, ketika kita berjalan, Allah berlari menghampiri kita. Demikianlah gambaran, bagaimana Allah menyambut suka cita makhluknya yang kembali ke jalan benar setelah tersesat dan terperangkap dalam jebakan kehidupan dunia. ***
Mahasiswa Program Doktor, Universitas Islam Sultan Syarif Kasim (Suska) Riau.