Tahun lalu di salah satu ruang pertemuan di Jakarta, ada pertemuan beberapa Rektor universitas dalam organisasi Muhammadiyah dengan Tan Sri Rais Yatim, Rektor Universitas Antar Bangsa Kuala Lumpur, Malaysia.
Adapula pengurus Yayasan Indonesia Malaysia yang bergerak dalam bidang kebudayaan. Muncul masalah bagaimana menjadikan bahasa Melayu menjadi bahasa ilmu.
Pada kesempatan itu, Rais Yatim menyambut positif. Berjanji akan mencari langkah lanjut. Terutama dalam kaitan jurnal ilmiah untuk kandidat guru besar yang hanya mengharuskan bahasa Inggris. Artinya mungkinkah bahasa Melayu menjadi bahasa ilmu yang dianggap setara dengan bahasa Inggris. Sementara kalangan ilmuwan kawasan Melayu ada yang kurang menguasai bahasa Inggris sebagai bahasa ilmu. Akibatnya promosi guru besar, dengan syarat tulisan ilmiah di Jurnal Bahasa Inggris, menjadi hambatan. Hal itu menjadi persoalan yang belum terjawab.
Pemikir asal Malaysia Hasan Ahmad (2002), berpendapat tidak ada halangan apapaun suatu bahasa untuk dijadikan bahasa ilmu, jika itu lahir dari pemikiran yang bernas. Maksudnya bahasa itu sebagai bahasa utamanya. Bagi Hasan Ahmad, hal itu tidak masalah. Karena bahasa adalah sebagai penjana (media) tamadun. Steven Pinter (1994), seorang ahli bahasa asal Belanda menyampaikan pendapat senada, karena bahasa diciptakan oleh minda, alam pikiran manusia. Setiap kali manusia berpikir dia mencipta makna dan makna ini boleh disampaikan melalui perbendaharaan makna bahasa utamanya.
Berdasar dari dua paparan di atas, bahasa Melayu dapat menjadi bahasa ilmu seperti adanya bahasa Inggris. Hanya saja terletak ada tidaknya perkembangan ilmu dikawasan ini. Artinya adakah wujud penemuan, hasil riset dan kajian teori baru yang berbobot.
Permasalahannya kemudian, bagaimana program untuk melahirkan jurnal ilmiah yang setara internasioanl keriteria, juga mengembangkan penelitian andalan sebagai bentuk pengembangan ilmu dan sains dimaksud. Persoalan di atas tak mudah dijawab, mengingat hal itu sebagai tugas peradaban besar dan perlu ada kesungguhan banyak pihak. Kita akan mencoba memberi jawab sebagai berikut, pertama, tentang pembentukan jurnal. Agaknya ini dapat dilakuan dengan kerja sama antar universitas kawasan ASEAN misalnya Indonesia, Malaysia, Brunei dan Thailand. Jurnal dimaksud dengan diregister oleh universitas resentatif dari negara yang bersangkutan.
Kedua, untuk kontens seperti yang diharapkan dari jurnal dapat dilakukan studi penelitian andalan yang diprogram secara sinergik. Tujuannya agar isi jurnal memuat kajian modern. Memenuhi asas standar secara keilmuan. Ketiga, kontens jurnal dapat pula digali dari kahasanah Melayu masa lalu. Seperti kesusteraan, filsafat dan tasawuf. Apa maksud kandungannya, kajiannya bukan hanya kajian masa kini, melainkan dapat digali dari butiran kandungan pemikiran lama, namun kualitas yang tak lapuk oleh lintasan masa. Itu juga bagian dari butir hikmah atau warisan kearifan lokal.
Jadi. kontesn publikasi keilmuan baru dan klasik dirangkum dalam kepaduan sistemik. Ikhtisar yang saya angkat pada uraian di awal, membawa kita pada kesadaran demi memajukan tamadun. Idealisme tersebut haruslah diwujudkan bahasa bagi keilmuan. Artinya karya keilmuan yang wujud sebagai hasil intelektual dikomukasikan lewat bahasa Melayu.
Saya sependapat dengan Dato Hasan Ahmad yang berkata, bahasa Melayu dapat menjadi bahasa ilmu, karena fungsi bahasa adalah penjana ilmu. Tetapi saya ingin menambahkan, itu terwujud jika ada karya dalam arti temuan dari intelektual rantau ini yang menonjol. Kebalikannya, Bahasa Melayu tidak akan berwujud sebagai bahasa sains, bahasa bidang ilmu kemanusiaan jika tidak ada karya hasil pemikiran dan studi dari anak rantau ini secara terus menerus. Soalan rantau bertamadun dan perkasa, diakui bukan masaalah yang simpel. Terkait dengan bagimana rantau yang beragama, rantau yang berbudaya, rantau dengan sumber daya insani yang berkualitas serta ekonomi yang berkemajuan.
Tetapi, yang tidak boleh dilupakan, yakni menjadikan bahasa Melayu menjadi bahasa ilmu. Karena itu, gagasan Tan Sri Rais Yatim mencanangkan rantau ASEAN yang bertamadun identik juga memajukan bahasa Melayu menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi. Kita harus mendukung gagasan dimaksud. Kita memimpikan temuan, penelitian, keilmuan diwujudkan dalam bahasa Melayu. Sehingga dunia melirik kepada rantau Melayu lantaran kontribusinya dalam karya kelimuan yang mendunia. ***
Dosen Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA), Jakarta.