BAGANSIAPIAPI(riaumandiri.co)-Kebun Plasma PT Jatim Jaya Perkasa Kecamatan Kubu dan Kubu Babussalam, Kabupaten Rokan Hilir, diperjualbelikan, sehingga membuat Pemerintah Daerah geram, bahkan jual beli ini sudah berlangsung sejak tahun 2013 lalu.
"Kita sudah lapor kepada Bupati dan beliau benar-benar marah, bahkan ia meminta adanya solusi terkait persoalan ini," kata Tokoh Masyarakat Kubu, Zulpakar Djuned, Senin (1/2) di Bagansiapiapi.
Selaku masyarakat Kubu, ia mengaku miris dan terpanggil untuk membuka persoalan ini ke publik, sehingga tidak ada lagi masyarakat yang dibodoh-bodohi oleh oknum. "Kebun Plasma ini untuk masyarakat, jangan pula diperjualbelikan. Kita juga sudah menemui para penjual dan mengaku terpaksa," katanya.
Padahal, lanjut Zulpakar, berdasarkan Keputusan Bupati Rokan Hilir Nomor 35 Tahun 2011 yang saat itu adalah Bupati H Annas Maamun, menegaskan, dalam beberapa poin menekankan dalam poin ke-6 tidak boleh memperjualbelikan Kebun Plasma kepada siapapun juga.
Bahkan ia juga telah menanyakan langsung kepada masyarakat yang terpaksa menjual kebunnya karena hak yang diterima setiap panen Tandan Buah Segar (TBS) sangat jauh dari harapan.
Bukan hanya itu, kebun yang dikelola oleh Koperasi Seribu Kubah ini dinilai tidak transparan.
Kondisi inilah yang membuat masyarakat mau tidak mau harus menjualnya kepada pihak luar dengan harga berkisar antara Rp10-15 juta.
Sementara total lahan Kebun Plasma di dua kecamatan tersebut seluas 2.150 hektare dan setiap Kepala Keluarga diberikan 2 hektare. "Yang lebih membuat kita miris, masyarakat yang menjual lahan itu harus melalui pihak koperasi dan dikenakan potongan Rp2-3 juta," jelasnya.
Ia juga menjelaskan berbagai persoalan yang dihadapi selama ini, sehingga masyarakat menjual lahannya kepada orang lain. "Masyarakat mengaku tidak mendapatkan kejelasan tentang kepemilikan lahan, hutang petani dan produksi hasil kebun, baik dari pihak PT Jatim maupun koperasi. Padahal, dari hasil produksi itu juga termasuk cicilan dan bunga yang harus dibayarkan untuk hak kepemilikan lahan," terang dia.
Ia juga menilai bahwa pihak seperti desa dan instansi terkait seharusnya melarang hal ini terjadi. "Kalau nama dialihkan tentu saja ini melanggar keputusan yang telah dibuat oleh Bupati tahun 2011 silam," katanya.
Karena itu, ia meminta adanya solusi agar lahan ini bisa dikembalikan kepada masyarakat. "Kita kasihan dengan masyarakat lahan mereka terjual karena pengelola tidak transparan dan kini dikuasai oleh orang luar," tuturnya.
Saat ini ia berupaya mengumpulkan surat pernyataan jual beli dan telah terkumpul sebanyak 86 transaksi. "Masih banyak lagi yang belum dikumpulkan, namun setelah ada wacana pengembalian lahan ini banyak masyarakat yang sadar dan ingin memperjuangkan kembali," sebut dia.
Sementara itu masyarakat yang sudah terlanjur menjual, Sahar (46), mengaku tidak ada pilihan sama sekali dan ia terpaksa menjual karena setiap bulan dari hasil ini hanya menerima Rp175 ribu, tentu saja dengan lahan seluas 2 hektare tidak sesuai. "Memang kita ada potongan membayar lahan secara angsuran, tapi tak jelas berapa yang sudah kita bayarkan dan berapa sisanya," kata Sahar menceritakan.
Alasan lainnya masyarakat terpaksa menjual adanya isu bahwa meskipun nantinya lunas, maka tidak akan keluar sertifikat tanah 2 hektare itu. "Katanya tak akan keluar sertifikat. Jadi apa lagi yang kami tunggu, mending dijual saja," sebut Sahar.
Diakuinya, lahan yang dijual kepada pihak kedua dengan perantara koperasi dan adanya potongan dari harga jual tersebut. "Kalau harga Rp15 juta kita dipotong 2 juta biaya administrasi, karena yang berhubungan pihak koperasi kepada pembeli dan bukan kita," terangnya.
Sampai saat ini lahan yang sudah dijual diperkirakan sekitar 85 persen dan masih berlangsung.
Dalam surat penyerahan jual beli diketahui oleh penjual, pembeli dan pihak koperasi yang ditandatangani oleh Ketua Koperasi Seribu Kubah Kamalul dan anggotanya lengkap dengan materai.***