Oleh: Arlen Ara Guci
Di bawah langit Kota Bertuah yang tengah merekah, dosen sekaligus penulis buku populer Yanuardi Syukur, sumringah pepat di dinding Perpustakaan Soeman HS. Usai menempelkan badan di dinding putih berukir langgam Gurindam Dua Belas, lelaki kelahiran Maninjau itu tak hendak beranjak usai difoto ulang. Ia terpukau nian. Jarak menyentak dari Halmahera di mana ia mengabdi belasan tahun, luruh membubung ke angkasa. “Pekanbaru tak seperti yang bermain di benak saya,” bisiknya.
Pekanbaru dan Ali Haji
Takjub rekan tadi bukannya tanpa alasan. Barangkali Pekanbaru jarang tampil di kancah nasional, maka tak banyak referensi ia dapatkan. Setidaknya gedung gudang bacaan tadi telah memungkasi kepalanya. Di tengah laju pembangunan Pekanbaru , nuansa Melayu dalam beragam bentuk tetap disuguhkan. Salah satu yang menjadi icon Pekanbaru dalam kemelayuannya, gedung Bandar Serai atau Bandar Seni Raja Ali Haji yang berlokasi di jantung kota, bibir Jalan Jenderal Sudirman. Areal seluas lebih kurang 3,5 hektare ini memiliki sejarah sebagai lokasi iven bergengsi MTQ Nasional XVI tahun 1994 silam.
Kini, Raja Ali Haji dan Pulau Penyengat mencuat hebat dalam Prakovensi Bahasa dalam rangka Hari Pers Nasional (HPN) 2015 yang digelar Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 12-13 Desember lalu di Batam, Kepri. Prakovensi ini bertema 'Bahasa Melayu untuk Indonesia yang Bahari dan Baharu'. Acara ini menyoroti perkembangan bahasa Melayu Riau yang merupakan leluhur bahasa Indonesia dengan menghadirkan pembicara dari Forum Bahasa Media Massa (FBMM), budayawan Riau, dan penulis, serta ahli bahasa.
Ali Haji dan Pulau Penyengat
Raja Ali Haji bin Raja Haji Ahmad (1808-1873) atau lebih dikenal sebagai Raja Ali Haji, ialah ulama, ahli sejarah, serta pujangga Melayu-Bugis. Ia dikenal pencatat pertama dasar-dasar tatabahasa bahasa Melayu melalui Pedoman Bahasa, buku yang telah menjadi piawai bahasa Melayu. Bahasa Melayu baku inilah yang ditetapkan sebagai bahasa Indonesia, bahasa resmi negara Indonesia, dalam Kongres Pemuda Indonesia pada 28 Oktober 1928. Dilahirkan di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau, Raja Ali Haji keturunan kedua Raja Haji Fisabilillah, Yang Dipertuan IV dari Kesultanan Lingga, Riau. Mahakaryanya, Gurindam Dua Belas diterbitkan tahun 1847 menjadi pembaharu arah aliran kesusastraan pada zamannya. Raja Ali Haji yang berpendidikan Arab masih mengekalkan bahasa Melayu Klasik yang banyak mempengaruhi perkataan dan struktur Arab. Raja Ali Haji meninggal dunia di Riau pada sekitar tahun 1873. Beliau ditetapkan pemerintah Republik Indonesia sebagai pahlawan negara pada tahun 2006.
Bukunya berjudul Kitab Pengetahuan Bahasa merupakan kamus logat Melayu Johor-Pahang-Riau-Lingga penggalan pertama serta kamus ekabahasa yang pertama di nusantara. Sosok Raja Ali Haji dengan khazanah Melayu, terutama bahasa Melayu tak bisa dipisahkan. Hal ini juga tak bisa dilepaskan dari tempat dimana ia tumbuh dan kembang hingga akhir hayat, Pulau Penyengat.
Penyengat dan Gulungan Sejarah
Pulau Penyengat merupakan pulau kecil berjarak kurang lebih dua kilometer dari Kota Tanjungpinang, pusat pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau. berukuran panjang 2.000 meter dan lebar 850 meter, berjarak lebih kurang 35 kilometer dari Pulau Batam. Pulau ini dapat ditempuh dari Tanjungpinang menggunakan perahu bermotor atau pompong memerlukan waktu tempuh kurang lebih 15 menit. Pulau Penyengat merupakan salah satu obyek wisata di Kepulauan Riau. Di pulau ini terdapat berbagai peninggalan bersejarah, diantaranya Masjid Raya Sultan Riau yang terbuat dari putih telur, makam para raja, makam Raja Ali Haji, kompleks Istana Kantor dan benteng pertahanan di Bukit Kursi. Sejak tanggal 19 Oktober 1995, Pulau penyengat dan kompleks istana dicalonkan ke UNESCO dijadikan salah satu Situs Warisan Dunia.
Berderet bukti sejarah berbicara di Pulau Penyengat, seperti Masjid Raya Sultan Riau yang dibangun Sultan Mahmud pada tahun 1803. Kemudian pada masa pemerintahan Yang Dipertuan Muda VII Raja Abdurrahman, tahun 1832 masjid ini direnovasi dalam bentuk yang terlihat saat ini. Bangunan utama berukuran 18 x 20 meter ditopang 4 buah tiang beton. Selain itu, terdapat 13 kubah berbentuk seperti bawang. Jumlah keseluruhan menara dan kubahnya 17 buah yang melambangkan jumlah rakaat shalat wajib lima waktu. Di kiri dan kanan bagian depan Rumah Sotoh (tempat pertemuan). Di dalam masjid ini juga dua musyaf Alquran tulisan tangan tersimpan.
Medio 19 Agustus 2013, diletakkan batu pertama pembangunan Monumen Bahasa Melayu di area dalam bekas Benteng Kursi, Pulau Penyengat oleh Gubernur Kepulauan Riau HM Sani. Sayangnya, gempuran era informasi dan teknologi (IT) seakan tak mampu memberi jawaban sepadan atas kejayaan Melayu di atas. Menempatkan bahasa Indonesia (bahasa Melayu) sebagai pengantar utama dalam keseharian kadang seperti si buta diberi suluh. Hal ini bisa dicermati dari bagaimana pola komunikasi anak mudanya.
Suatu pagi di Januari yang basah, Azlinawati merupakan salah seorang mahasiswi semester tujuh di salah perguruan tinggi swasta ternama di Kota Pekanbaru. Gadis melayu itu mengaku berasal dari Kota Tanjung Pinang. Setengah berlari, ia pun memekik memanggil kawannya. “Hei, tunggu dong! Enak aja elo ninggalin gue. Gue bête banget, proposal penelitian gue masih ditolak sama dosen, capey dech…” sungutnya. Gadis berkerudung itu biasa menggunakan bahasa ala sinetron begitu di lingkungan kampusnya. Meski di rumah, ia mengaku bahasa yang disenandungkan kedua orangtua bahasa Melayu, ia tak kisah. Menurutnya, bahasa Melayu oke juga, cuma tak seru ia terapkan saat berkomunikasi dengan kawannya. “Norak aja kale. Hari gini gitu loch,” ucapnya berderai, sembari memungkasi, “nggak usah lebay ach.” Azlinawati tak sendiri, tak hendak berakrab ria dengan bahasa ibu. Apakah dampak teknologi seperti media sosial, tontonan layar kaca atau apa?
Barangkali apa yang dikatakan Sosiolog Andree MA menarik disimak. Dekan Fisipol Universitas Abdurrab itu menegaskan, dunia kini serasa dilipat, dimana akulturasi budaya bergulir lebih cepat dari urat nadi. “Ada buku sebuah menulis tentang dunia ini yang seakan dilipat. Dilipat oleh ruang, dilipat waktu. Orang bisa melihat langsung suatu kejadian di tempat berbeda. Hal ini membuat akulturasi budaya terjadi dengan cepat. Kemudian, ada pola imitasi, orang daerah memandang Pusat itu lebih maju. Kondisi ini membuat terjadinya sentrifugal budaya. Dampaknya seakan tak punya budaya sendiri, orang lebih cenderung meniru budaya yang trend, seperti budaya K-Pop atau budaya Korea. Selanjutnya, kita lemah memperkokoh budaya sendiri, termasuk bahasa melayu. Ini bisa kita lihat dari minimnya pusat kajian bahasa dan sastra Melayu. Kalau kita bandingkan seperti negara tetangga Malaysia, kajian Melayunya cukup marak,” ungkapnya.
Pendidikan Kemelayuan
Lebih jauh, ia memaparkan, perihal Melayu kadang justru ditangkap hebat orang luar. Andree menyebut, bagaimana penelitian prihal Morfologi Arab Melayu yang penulisnya dari Negeri Ginseng. “Perhatian kita simbolik, seperti pada berpakaian model melayu. Padahal ibu bukan substansi, kenapa tidak pada bahasa, bukankah bahasa menunjukkan bangsa?” paparnya, sembari mengimbau, dunia pendidikan memegang peranan penting dalam menggalakkan budaya Melayu, salah satunya bahasa Melayu sejak dini.
Apa yang diungkapkan Andree senada dengan Novikusmalinda, pengajar bahasa Indonesia SMP Negeri 6 Pekanbaru. “Budaya Melayu ada dalam muatan lokal pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2006. Sejak Kurikulum 2013, berganti jadi prakarya. Siswa kelas delapan sudah diberikan materi ini seperti membuat masakan melayu, kelas tujuh membuat berbagai kerajian khas melayu dari daur ulang. Kalau penggunaan bahasa, di sekolah kita siswa diberi buku saku, kalau ada siswa yang menggunakan bahasa yang tak dimengerti, seperti bahasa slang, bahasa gaul, bahasa daerah yang tak dimengerti, mereka dikenai poin, jika sampai pada jumlah tertentu, kedua orangtuanya akan dipanggil,” ujarnya. Novi tak menampik peran IT turut menyumbang perilaku siswa berinteraksi dengan istilah yang membuat dahi berlipat.
Kepala Dinas Pendidikan Riau Dwi Agus Sumarno, dalam acara silaturahmi beberapa waktu lalu menegaskan, bagaimana upaya Dinas Pendidikan Provinsi Riau jauh hari menyiapkan instrumen dalam upaya menyuguhkan anak didik pada sesuatu yang berbau Melayu. “Guna menserasikan budaya Melayu yang ada di 12 kabupaten/kota, Dinas Pendidikan Riau akan menyatukan mata pelajaran muatan lokal dalam satu buku di 12 kabupaten/kota. Bahan kurikulum akan dikumpulkan dan dirampungkan bersama sesepuh Pendidikan Riau. Sehingga istilah yang dimuat dalam buku sesuai dengan istilah serta kata bahasa Melayu,” pungkas Dwi.
Budaya Melayu, utamanya bahasa Melayu dalam konteks kekinian akan digerus jaman, kalau tak sigap memahat dalam setiap sendi kehidupan. Apatah Visi Riau 2020 yang bakal menjadikan Riau pusat kebudayaan Melayu di Asia Tenggara.
Apa yang ditulis sang Budayawan kawakan melayu Tenas Effendy, dalam Tunjuk Ajar Melayu layak direnung ulang, “…Yang kusut diselesaikan, yang keruh dijernihkan, yang berbongkah ditarah, yang kasat diampelas, yang bengkok diluruskan, yang menyalah dibetulkan, yang tertidur dijagakan, yang terlupa diingatkan, yang hilang disawang, yang sesat diunut, yang karang diselami...” ***