Di dalam kancah perpolitikan, baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah, masih ada praktik yang kurang bermoral. Di tengah-tengah kehidupan kita terjadi pertarungan kepentingan antar pribadi dan kelompok yang sangat kuat, sehingga tidak lagi mengindahkan siapa kawan siapa lawan, termasuk saudaranya sendiri. Keadaan ini diperparah oleh kasus-kasus yang belakangan membawa para politikus elite, seperti Menteri, Gubernur, Bupati dan Walikota ke jeruji-jeruji penjara satu persatu.
Itu semua menandakan kebejatan dan kehinaan moral suatu bangsa. Tidak ada lagi kesadaran untuk membentuk peradaban secara sehat dan berwibawa. Immanuel Kant, seorang filosof Jerman pernah menggambarkan sifat orang-orang yang terjun dalam dunia politik dengan dua watak binatang, yaitu merpati dan ular. Merpati digunakan sebagai gambaran politisi yang memiliki watak dan sikap yang lembut serta penuh kemuliaan dalam memperjuangkan idealisme. Sedangkan ular merupakan gambaran bagi politisi yang licik dan jahat, serta selalu berupaya untuk memangsa merpati. Dan kadang dua watak ini berada dalam satu ruang watak satu orang politisi. Dalam kondisi seperti ini, yang sering menonjol adalah watak ular.
Gambaran filosof yang normatif dan simbolik itu sudah menjadi pengetahuan umum ketika berbicara soal etika watak politisi pun diasosiasikan dengan “watak binatang”. Banyak fenomena yang menunjukkan kemerosotan moral dan etika elite politik bangsa kita, mulai dari hal-hal yang kecil sampai ke hal-hal yang besar. Di tangan sebagian elite politik, jabatan yang mereka emban menjelma sebagai sarana untuk berlomba-lomba pada jalan kejelekan (fastabiqul sayyiah), dan bukannya untuk berlomba-lomba pada suatu jalan kebaikan (fastabiqul khairat) dan bahkan ada yang bersifat arogan. Sebenarnya tidaklah pantas sebagai elite politik bersifat demikian, kenyataan seperti ini, mungkin ada benarnya sebuah adigium yang berbunyi, “Ethics has no place in politics”. Tak ada ruang bagi etika dalam kehidupan politik, realitas politik elit kita kelihatannya sedikit menggambarkan kebenaran adigium tersebut.
Padahal etika sangat diperlukan dalam aktivitas politik dalam bingkai demokrasi, kebebasan mengemukakan pendapat dalam Negara yang menganut sistem demokrasi tidak bisa dijadikan alasan untuk meninggalkan etika dalam berpolitik. Paul Ricoeur mengatakan, etika politik tidak hanya menyangkut perilaku individual, tetapi terkait dengan tindakan kolektif dalam arti etika sosial. Dalam etika individual kalau orang mempunyai pandangan tertentu bisa langsung diwujudkan dalam tindakan. Sedangkan dalam etika politik, yang merupakan etika sosial, untuk dapat mewujudkan pandangannya dibutuhkan persetujuan dari sebanyak mungkin warga Negara karena menyangkut tindakan kolektif. Harus kita akui, dalam politik seolah-olah yang ada hanya pertempuran kekuatan dan kepentingan, para elit politik punya kecenderungan melakukan tabrakan kepentingan saling menggunakan berbagai cara dalam memperjuangkan kepentingan mereka.
Dalam memperjuangkan eksistensi dan kepentingannya tidak jarang seorang politisi kehilangan kontrol (lost control) dalam bertutur kata. Kita sepakat yang namanya etika perlu diterapkan dalam kehidupan berpolitik dan ini menjadi sebuah keharusan dan menjadi dasar dalam berpolitik. Penulis kira penerapan etika moral dalam politik merupakan sebuah pilihan, moral lebih merupakan etika politik dibandingkan suatu keharusan dalam penerapannya (mandatory). Etika politik bersifat konvensi yang berupa aturan moral yang tidak mempunyai kekuatan yang mengikat, sedangkan etika mempunyai cakupan yang luas dan bersifat elastis. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragam budaya dan adatnya serta logat dan bahasanya, batasan etis dan tidak etis dalam bertingkah laku dan bertutur kata sangat kabur, sehingga sering dalam berpolitik mudah terabaikan tanpa rasa malu dan bersalah.
Lalu bagaimana prinsip etika ini akan berjalan efektif pada kehidupan politik yang demokrasi di negara kita ini? Yang tidak mengandung sanksi yang jelas, dan apakah penerapan etika dalam berpolitik tidak bertentangan dengan kebebasan berekspresi, berpendapat, dan bersuara dalam iklim demokrasi kita? Sistem demokrasi yang menjamin kebebasan perpendapat tidak bisa dijadikan alasan untuk meninggalkan etika dalam politik. Dalam berpolitik, etika dan moral kelihatannya sudah tidak menjadi pertimbangan. Padahal kebebasan yang dijamin oleh demokrasi bukanlah kebebasan yang mengabaikan etika dan moral, tetapi bermaksud kebebasan yang bertanggung jawab dan menghargai harkat dan martabat pihak lain.
Badan kehormatan DPR adalah salah satu bandan yang berupaya untuk memagari para politisi, agar dalam berpolitik tetap berada dalam bingkai etika serta mempertimbangkan moral. Badan kehormatan ini bertujuan menjaga kehormatan DPR, baik secara kelembagaan maupun anggota-anggota yang ada didalamnya. Dengan adanya badan ini, apabila ada anggota DPR yang melanggar aturan, norma atau bertingkah laku yang didak layak, maka dia akan diproses dan diberi sanksi.
Menerapkan disiplin moral agar para politisi tetap berperilaku etis dalam aktivitas politiknya perlu dilakukan. Bergaul dan menyampaikan pendapatnya juga harus beretika. Hal ini jelas sangat didambakan oleh masyarakat. Rakyat kita merindukan politisi yang bermoral tinggi, jujur, sopan dan lembut dalam bertingkah laku, sehingga dapat dipanuti, diikuti, diteladani, serta dihormati dan mampu menjalankan perintah Ilahi. ***