Fenomena lesbian, gay, biseksual, dan transgender kembali menjadi perbincangan hangat di Indonesia. Setelah sempat gempar dengan beredarnya foto pernikahan sejenis yang disinyalir terjadi di Ubud Bali akhir tahun lalu.
Kini, publik dihebohkan kembali dengan aktivitas sekelompok mahasiswa dan alumni UI yang menamakan diri Support Group and Resource Center On Sexuality Studies, Universitas Indonesia.
Hal ini menggambarkan bahwa komunitas LGBT semakin menancapkan jangkarnya di Indonesia. keberadaaanya tidak lagi menyusuri sudut-sudut sempit tanah ini, tapi sudah sudah merengsek jauh, menapaki semua lini kehidupan termasuk dunia pendidikan. Peristiwa ini tidak mengalir sendiri, dia mengalir menelusuri petak-petak strategis yang disusun rapi, seperti jalur regulasi dan publikasi.
Tuaian utamanya adalah keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat pada tahun 2015 lalu yang melegalkan perkawinan sejenis, serta sambutan haru biru di media sosial dengan tagar# Love Wins dan gambar pelanginya yang sempat nangkring di posisi teratas trending topic.
Munculnya “pelangi sungsang” di langit Indonesia, bukanlah hal yang tiba-tiba. Pada tahun akhir 1982 kelompok hak asasi gay didirikan di Indonesia. Kemudian bermunculan assosiasi LGBT seperti “Gaya Nusantara”, Arus Pelangi”, dan lain-lain. Bahkan Erick Laurent (2001) dalam “Sexuality and Human Rights” menempatkan pergerakan gay dan lesbian di Indonesia sebagai salah satu yang tertua dan terbesar di Asia Tenggara. Keberadaan kelompok ini terus bergeliat, berkembang dan berselindung di balik jubah besar Hak Asasi Manusia (HAM). Dan semakin bersuara lantang ketika negara-negara Barat sudah mulai melegalkan kehadiran mereka.
Bagi Indonesia, semakin banyaknya “pelangi-pelangi” ini, bukan semakin memperindah langit Indonesia, tapi semakin mengotorinya serta berpotensi merusak tatanan kehidupan yang telah tersusun apik dengan nilai-nilai spiritual dan kultural. Membiarkannya menghiasi langit Indonesia, hanyalah akan mengundang bala bencana dan runtuhnya institusi yang bernama keluarga.
Hal ini disebabkan beberapa hal. Pertama, melanggar aturan agama.Tak satu pun agama yang membenarkan prilaku menyimpang ini. Dalam Islam dijelaskan bahwa menyalurkan hasrat seks pada kaum sejenis adalah perbuatan dosa besar. Ini terlihat dari firman Allah surat Al-A’raf, 80-81, “Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya.
Mengapa kalian mengerjakan perbuatan fahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelum kalian? Sesungguhnya kalian mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsu kalian (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kalian ini adalah kaum yang melampui batas”.
Kedua, bertentangan dengan jiwa Pancasila. Indonesia adalah negara berketuhanan dan menjunjung tinggi nilai dan norma ketimuran. Menikah sejenis merupakan laku yang tidak selaras dengan Pancasila. Dalam UU No 1 Tahun 1974 dengan jelas dan lugas menyatakan, bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara laki-laki dan wanita sebagai suami istri untuk membentuk keluarga bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ketiga, menyalahi kodrat manusia. Sebagai makhluk Tuhan, fitrahnya menyukai lawan jenis bukan sesama jenis. LGBT dan perkawinan sejenis adalahpenyakit moral yang sedang menjangkiti masyarakat yang berselindung dibalik kebebasan dan HAM.
Penyakit yang dicari pembenarannya menggunakan logika liberalisme. Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah. menyebutnya dari sisi psikologi, homoseksual menyalahi fitrah kemanusiaan dan tidak mampu menghasilkan generasi penerus.
Mujib mengibaratkan, hanya arus listrik positif dan negatiflah yang mampu menghasilkan komposisi cahaya pada bola lampu.
Persoalan LGBT, sesungguhnya harus menjadi kerisauan publik dan bangsa. Sebab, kehadirannya menjadi embrio lahirnya berbagai masalah bangsa terutama penyakit moralitas. Apalagi komunitas ini saban waktu semakin meneguhkan eksistensinya. Menurut laporan Kementerian Kesehatan yang dikutip dari Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, mengungkap jumlah Lelaki berhubungan Seks dengan Lelaki (LSL) alias gay sudah mencapai angka jutaan.
Bahkan berdasarkan estimasi Kemenkes pada 2012 saja, terdapat 1.095.970 LSL baik yang tampak maupun tidak dan lebih dari lima persennya (66.180) mengidap HIV. Padahal, pada 2009 populasi gay hanya sekitar 800 ribu jiwa.
Mencermati kondisi ini, pemerintah sudah harus mengeluarkan pressure agar komunitas ini tidak semakin berkembang. Seperti melahirkan regulasi yang melarang pernikahan sejenis, dan juga tidak membenarkan lakon-lakon yang membuat komunitas LGBT semakin mendapat tempat di hati masyarakat, dan menganggapnya sebagai sebuah hal yang lazim dan lumrah.
Seperti lakon banci atau gay di televisi dan film Indonesia. Bila ini dibiarkan, kita hanya akan menunggu waktu saja, bahwa LGBT dan perkawinan sejenis akan menjadi bagian dari pilihan hidup seseorang. Dan atas nama HAM atau alasan yang dicari-cari, kita khawatir dan takut kalau negara perlahan atau pasti, rela atau tidak, akan memberikan lampu hijau terhadap komunitas LGBT dan perkawinan sejenis.
Sebelum terlambat, mari menyelamatkan generasi dan bangsa ini. Memberikan penyadaran kepada LGBT dengan bijaksana.Mereka itu tersesat dalam lamunan cinta yang terlarang, bukanf itrah Tuhan sebagaimana yang mereka gaungkan.
Sebagai bangsa yang memiliki kultur dan nilai-nilai ketimuran, Indonesia tentu tidak ingin perilaku ini menjalar dan menjangkiti generasi muda bangsa. Untuk itu, mari bersama-sama menolak kehadiran “pelangi sungsang” di langit Indonesia. Dan mengajak serta membantu komunitas LGBT agar kembali. ***
Alumnus Pascasarjana Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM)