Aqriqni mimma allama ka Allah.
Mengukuhkan anjuran untuk belajar memang sebuah kepantasan. Sebab pengetahuan diperoleh dengan cara belajar. Tidak pantas kiranya bila kita tidak tahu. Tidak paham, lalu dihadapi dengan sikap diam saja. Tidak mau belajar.
Hal itu dapat diibaratkan tidak mengetahui itu adalah identik berada seperti dalam kegelapan. Kita harus cari jalan lepas dari kegelapan. Cara keluar dari kegelapan dengan belajar, bertanya kepada para ahli.
Inilah amsal yang kita kutip di atas, sebuah ucapan dari seorang tua renta yang buta bernama Abdullah Ibnu Maktum.
Ia ditakdirkan buta sejak dilahirkan, tapi dia rajin belajar dan haus kepada kebenaran. Ia mengatakan ucapan awal kepada Rasulullah Aqrikni mimma allama kallah (ajarkanlah apa yang diajarkan Allah kepadamu).
Alkisah, sang orang tua ini hendak belajar, ingin bertanya, kepada Rasulullah rela menunggu lama. Abdullah Ibnu Maktum datang dari jauh sabar, menunggu giliran dapat menemui Muhammad Rasulullah .
Dia ingin bertanya tentang ajaran kebenaran. Saat itu nabi, waktu yang sama, sedang sibuk menerima tamu kelompok Yahudi. Nabi mencoba mendakwaahi kaum Yahudi itu agar dia menerima kebenaran ajaran Islam. Tapi tidak mau. Mereka kaum Yahudi itu tetap kafir.
Padahal, nabi telah menghabiskan banyak waktu untuk Yahudi, terlalu mengabaikan orang buta (Ibnu Maktum) tamu yang datang jauh di luar Kota Mekkah. Terkesan mengutamkan menyampaikan ajaran kebenaran pada orang kafir ketimbang orang muslim sendiri.
Dalam kisah itu ditambahkan Nabi ditegur oleh Allah dengan turun ayat. Menjelaskan agar tidak terlalu cenderung dakwah kepada kelompok kaum kafir. Karena mereka itu hatinya engkar dan tertutup. Abasa watwalla..... juz 30 ayat 16.
Dari konteks belajar kebenaran (allama kallah) kebenaran yang diajarkan oleh Tuhan, tampaknya penting lantaran berfungsi penolong. Yaitu, kbenaran itu menjadi penyelamat, pelindung manusia dari kesesatan. Dengan kata lain kebenaran adalah penyelamatan, sementara kesesatan merupakan kegelapan dan kesengsaraan.
Pada episode di atas, dengan pelaku Abdullah Ibnu Maktum, sebenarnya terdapat teks kebenaran dan bagaimana mempelajari kebenaran itulah kepantasan bagi kita semua. Tujuannya agar semua jelas, terang, dan tidak tersesat dan ditimpa kesengsaraan.
Terhadap konteks ini kebenaran sejati kita dapat mengutip ajaran Socrates (500 thn SM) yang menyimpulkan kebenaran itu adalah, baik, benar dan bernilai. Hal itu dapat diperjelas sebagai berikut.
Pertama, kebenaran itu adalah sejati ultimate dari natural. Yang bersifat metaphysic spiritual. Kebenaran demikian, memiliki dimensi gaib, mystic, yang mengandung kepastian (regulator).
Ketiga, kebenaran berdimensi manusia, nilai moral. dan alam. Dimensi ini jelas, merupakan excecutor semesta.
Kebenaran yang dinyatakan Socrates adalah alam pikiran pada masa 30 abad lalu yang memberi terang pada abad peradaban manusia. Yang pada prinsip dasar kebenaran itu merupakan cakupan spiritual, universal dan moral.
Pandangan Islam yang bermula abad keenam, lebih menegaskan kebenaran dengan kepastian yaitu kebenaran sejati berasal dari Tuhan. Tidak ada yang lain. Ayat tentang kebenaran adalah al haqq mirabbik. Yang lengkap dengan fungsi sunnatullah hukum dan teori alam, yang disebut ayat qauniah, serta jihad atau dialektika manusia dengan perubahan.
Jika demikian, bagaimana kita menangkap kebenaran setelah berlangsung proses merumuskan kebenaran itu 30 abad lamanya. Ada perubahan mendasar telah terjadi pada umat manusia kini. Muncul konsep kebenaran yang menyengsarakan bahkan menyesatkan. Meminjam istilah Salman Rhusdi awal delapan puluhan, muncul ayat ayat syaitan. Tetapi istilah ini dihadapkan khusus sebagai perlawanan terhadap Ayatullah Khomaini pengagas Revolusi Iran.
Dalam pandangan saya, kebenaran nilai moral (jihad) dalam ajaran Islam sudah membawa pencerahan dan penyelamatan pada umat manusia masa awal dan beberapa abad kemudian. Tetapi belakangan, Islam tidak berdaya, letih dengan pergulatan peradaban sebelumnya. Islam berada di persimpangan jalan. Karena itu, kebenaran yang harus diajukan sekarang, kebenaran sejarah. Sejarah yang dapat menjadi solusi.
Alasannya sejarahlah yang mengandung kebenaran berkelanjutan (sunatullah) dan sejarah dengan nilai moral jihad dimaksud. Yaitu Perbaikan dari kontinuitas, dalam rangka memastikan kebenaran memang berlansung menurut semestinya. Kenyataan yang universal yang hakiki harus pula diiringi dengan semangat kebenaran atau jihad.
Akhirnya dalam persfektif atau sudut pandang inilah aqrikni mimma alamkallah dari Abdullah Ibnu Maktum menjadi berguna. Ajarkanlah apa yang diajarkan Allah. Konsep kebenaran berpikir.
Jauh dari kesesatan, jauh dari kerusakan, jauh dari syaitanic argument. Menghindar kesombongan dan keserakahan. Nauzubillahi minzalik.***
Penulis adalah dosen Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta.