Motto kota Madani yang akhir-akhir ini didengungkan oleh Walikota Pekanbaru, yang semula Kota Pekanbaru Bertuah, sekarang Bertuah berubah menjadi Madani.
Dengan motto tersebut mengundang reaksi antara pro dan kotra dari berbagai elemen masyarakat. Hal ini wajar dan sah-sah saja ada yang suka, dan ada yang harus dipikir-pikir dulu motto tersebut dikarenakan barangkali sangat berat dilaksanakan. Tetapi apa salahnya untuk dicoba dan dilaksanakan dengan baik.
Masyarakat madani, yang biasanya diidentikkan dengan masyarakat sipil (civil Society), adalah tatanan sosial yang didasarkan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antar hak dan kewajiban individu dengan hak dan kewajiban sosial. Pelaksanaannya antara lain dengan terbentuknya pemerintahan yang tunduk kepada aturan dan undang-undang dengan sistem yang transparan. Masyarakat madani yang merupakan terjemahan dari kosa kata bahasa Arab mujtama’ madani, secara etimologis mempunyai dua arti.
Pertama, masyarakat kota, karena kata madani berasal dari kata madinah yang berarti kota, yang menunjukkan banyaknya aktivitas, dinamis, dan penuh dengan kreativitas. Kedua, masyarakat peradaban, karena kata madina juga merupakan turunan dari kata tamaddun yang berarti peradaban. Masyarakat madani adalah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban.
Salah satu contoh masyarakat madani sebagaimana dikemukakan oleh Robert N. Bellah dalam bukunya Beyond Belief : 1976, adalah masyarakat Madinah yang dipimpin oleh Rasulullah SAW. Sebuah masyarakat yang sarat dengan nilai dan moral, maju, beradab, serta sangat menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Hubungan sosial antar komponen masyarakat Madinah telah diatur secara formal, sebagaimana tergambar dalam Perjanjian Madinah, sebuah piagam yang menurut Hamidullah dalam Didin Hafidhuddin: 2003, adalah konstitusi tertulis pertama dalam sejarah peradaban manusia (the ferst written constitution in the world).
Pertama, bahwa sesama muslim adalah satu umat, walau mereka berbeda suku. Kedua, hubungan antara komunitas muslim dengan non muslim didasarkan pada prinsip bertetangga baik, saling membantu di dalam menghadapi musuh bersama, membela mereka yang teraniaya, serta saling mencintai dan menghormati kebebasan beragama.
Konstitusi tersebut telah mengatur tentang hak-hak sipil (civil right) atau lebih dikenal dengan hak asasi manusia (HAM), jauh sebelum Deklarasi Kemerdekaan Amerika (American Declaration of Independence) 1776, Revolusi Perancis 1789, dan Deklarai Universal PBB tentang HAM 1948.
Ada dua nilai dasar yang tertuang dalam Piagam Madinah yang menjadi dasar bagi pendirian sebuah negara Madinah pada waktu itu. Pertama, prinsip kesederajatan dan keadilan (almusaawah wa al- ‘adalah). Kedua, inklusivisme atau keterbukaan. Kedua prinsip ini dijabarkan dalam beberapa bentuk nilai yang universal seperti konsistensi (i’tidal), keseimbangan (tawazun), moderat (tawassut)), dan toleran (tasamuh).
Oleh sebab itu, walau penduduk dalam Madinah saat itu heterogen baik dalam hal agama, ras, suku, maupun golongan, tetapi kedudukannya sama. Masing-masing memiliki kebebasan untuk memeluk agama dan melakukan aktivitas dalam bidang sosial. Semua pihak mempunyai kebebasan yang sama untuk membela Madinah, tempat tinggal mereka. Menurut para ahli, masyarakat Madinah yang berperadaban itu dapat dibangun hanya setelah Rasulullah SAW, melakukan reformasi dan transformasi ke dalam (inner reformation and transformation) pada individu yang berdimensi akidah, ibadah, dan akhlak.
Karena itu iman dan moralitas menjadi landasan pokok Piagam Madinah, sekaligus landasan pokok masyarakat madani. Di samping itu, masyarakat madani memiliki tugas mendorong pengabdian kepada Allah, menyejahterakan kehidupan, dan memberikan rasa aman (baca QS. Quraisy: 3-4). Dalam mewujudkan masayarakat madani yang sejahtera berarti membicarakan konsep aktualisasi keimanan dalam masyarakat majemuk dan kepedulian sosial dalam masyarakat majemuk.
Oleh karena itu, perlu dikemukakan tiga permasalahan pokok dan setiap permasalah dapat melahirkan sejumlah permasalahn. Permasalahan dimaksud adalah, pertama, bagaimana aktualisasi iman dalam kepedulian sosial di dalam masyarakat majemuk. Kedua, bagaimana kenyataan aktualisasi keimanan dalam kehidupan sosial masyarakat majemuk. Ketiga bagaimana peran iman dalam bentuk kepedulian sosial dalam masyarakat majemuk.
Masyarakat yang mendiami wilayah Negara Republik Indonesia termasuk Provinsi Riau terdiri atas berbagai etnis, agama, budaya dan kehidupan sosial, serta latar belakang pendidikan yang berbeda-beda. Di satu pihak potensi sumber daya manusia yang demikian mempunyai potensi untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan dalam membangun masyarakat dan pihak lainnya mempunyai potensi untuk berbenturan (konflik) antara satu etnis dengan etnis lainnya di wilayah ini. Ada beberapa dasar hukum yang bisa dijadikan acuan untuk mewujudkan masyarakat yang damai dalam kemajemukan, yakni, Pertama, QS. Al-Hujuraat : 13, yang artinya: Hai manusia sesungguhnya kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang-orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang-orang yang paling bertakwa di antara kamu.
Dari firman tersebut diperoleh informasi bahwa, umat manusia berasal dari rumpun yang satu, yaitu Adam. Adam dijadikan Allah dari tanah. Dengan demikian, kejadian manusia mempunyai unsur yang serupa dan sama. Dalam perkembangan umat manusia selanjutnya, manusia terjadi dari zat yang sama, yaitu dari setetes nutfah (sperma) laki-laki dan sel telur (ovum) dari perempuan (ibu dan bapak). Berdasarkan prinsip tersebut, sewajarnya dan layak ada persamaan baik dalam hak dan kewajiban maupun dalam penilaian dan pelayanan. Namun, perbedaan yang disebabkan oleh kehidupan sosial ekonomi, sifat yang timbul sebagai akibat mutasi dan faktor lingkungan tidak dapat mempengaruhi prinsip, apalagi mengubah prinsip kesamaan.
Kedua, Hadis Rasulullah, yang artinya, "Manusia yang paling baik adalah manusia yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain. Tidak sempurna iman seseorang sebelum ia mencintai saudaranya sama dengan cintanya terhadap diri sendiri.” Berdasarkan dalil hukum di atas, implementasi dari nilai-nilai keimanan dalam kehidupan sosial masyarakat yang majemuk, baik kemajemukan karena etnis, pemeluk agama yang berlainan, budaya yang berbeda maupun sebagai akibat latar belakang pendidikan yang bervariasi, dan sebagainya akan dapat dijadikan potensi mewujudkan kebersamaan menanggulangi kekerasan sosial dalam masyarakat yang majemuk yang mendiami wilayah ini.
Sebab, mereka mempunyai cita-cita dan tujuan yang sama, yaitu mewujudkan kesejahteraan yang adil dan adil dalam kesejahteraan menuju kesempurnaan hubungan manusia dengan sesamanya sebagai bagian dari hubungan manuisa dengan Tuhannya (Zainuddin: 2006). Terlepas dari motto madani di Kota Pekanbaru, barangkali tulisan ini bisa untuk membuka cakrawala kita bersama tentang madani, memang ada benarnya apa yang dikatakan oleh tokoh masyarakat Riau Tengku Lukman Jaafar, ia mengakui niat menjadikan Pekanbaru sebagai Kota Madani sangat baik.
Hanya saja akan sangat berat beban yang disandang kota ini nantinya. ***
Guru SMAN 1 Tebing Tinggi, Kepulauan Meranti