MEMPURA (HR)-Upaya pemecahan masalah sengketa lahan antara PT Mekarya Eka Guna dengan masyarakat Desa Koto Ringin tampaknya kandas.
Pihak PT MEG enggan menandatangani kesepakatan yang diketik, Senin (26/1) kemarin dengan dalih tidak sesuai dengan kesepakatan yang tercetus saat peninjauan di lokasi eks penumbangan.
Sesuai jadwal, Kamis (29/1) masyarakat, pemerintah dan PT MEG turun melakukan pengukuran lahan, tim turun ke lokasi eks penambangan. Pengukuran gagal dilakukan karena masyarakat tidak mau kalau lahan yang diukur hanya bagian yang ditanami batang karet saja. Mereka mendesak agar semua lahan PT MEG yang masuk ke wilayah Desa Koto Ringin diukur, dan juga lahan masyarakat yang masuk areal HGU PT MEG.
"Sesuai kesepakatan yang kita tandatangani, semua lahan HGU PT MEG diukur. Kita ingin tahu berapa luas wilayah kita yang masuk ke HGU dan HGU Inti PT MEG. Setelah itu baru lahan yang sudah dikuasai masyarakat diukur. Namun pihak PT MEG tidak mau terbuka. Bisa jadi lahan yang mereka garap meluas," ujar Ketua BPD Koto Ringin Darwin.
Humas PT MEG Jeje W membenarkan tidak mau menandatangani kesepakatan yang sudah ditandatangani Dinas Kehutanan, BPN, Bagian Pentanahan Setda Kabupaten Siak, Camat, pihak kepolisian, TNI, anggota DPRD Siak, kades Koto Ringin dan tokoh masyarakat Koto Ringin usai peninjauan lokasi, Senin (26/1) lalu. Jeje mengaku tidak terlibat langsung dalam perumusan kesepakatan.
"Saya tidak ada waktu perumusan kesepakatan ini, dan bunyi kesepakatan itu berbeda dengan hasil pembicaraan saat di lokasi eks Penumbangan, jadi saya tidak mau tandatangan," kata Jeje W.
"Saya curiga ada misi lain dari permintaan pengukuran seluruh HGU Inti kami. Kalau hanya untuk mengetahui luas areal ini kami di Koto Ringin, di Peta BPN ada. Kami juga tidak tahu tapal batas desa, jadi kami tidak berani mengatakan luas HGU kami di Koto Ringin," kata Jeje W.
Camat Mempura saat dimintai keterangan mengaku setuju dengan kesepakatan pengukuran pada HGU PT MEG. Sehingga nantinya diketahui luas lahan yang sebenarnya, baik yang telah digarap PT MEG dan luas sebenarnya HGU PT MEG yang ada di Koto Ringin. Dengan ini, benang merah untuk menyelesaikan konflik PT MEG dengan masyarakat mudah untuk ditarik.
Baik masyarakat dan PT MEG berharap, anggota DPRD Siak bisa melakukan mediasi lagi, menghadirkan seluruh instansi terkait. Sehingga ditemukan kesepakatan bersama dalam penyelesaian konflik ini.
"Kita kembalikan ke dewan, harapannya lahan yang dikelola masyarakat di X penambangan segera kita ukur, hasilnya bisa kita diskusikan lagi di Dewan," pinta Jeje W.
Senada disampaikan oleh Dawin, namun, jika upaya pendekatan dan rembuk ini tidak membuahkan hasil, masyarakat akan meneruskan ke jalur hukum. "Saya hanya meneruskan lidah masyarakat, masyarakat ada bukti, kalau tidak ada kepastian, kami maju ke jalur hukum," kata Darwin.
Ketua Komisi II DPRD Siak, Syamsurizal mengatakan, pihaknya akan berupaya melakukan mediasi untuk menemukan kata sepakat diperlukan kebijaksanaan dari kedua belah pihak.
Masyarakat dilindungi hukum, selain UU 39 tentang perkebunan, Permentan 98 tahun 2013, Tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan juga lebih berpihak kepada masyarakat.
Melalui dasar hukum atu, Anggota DPRD Siak, M Ariadi Tarigan mengaku siap membantu masyarakat menuntut hak perkebunan yang telah dikelola. "Kalau memang perusahaan yang salah, kita digarda terdepan," kata Ariadi Tarigan.
"Sebaliknya, jika ada lahan baru yang dibuka masyarakat secara kelompok, dan HGU perusahaan itu sebelumnya tidur atau tidak dikelola, kini dipermasalahkan, Permentan mengakomodir masyarakat," tegas Ariadi Tarigan. (lam)