PEKANBARU (HR)-Lama tak terdengar kabar terkait proses penyidikan kasus dugaan korupsi kredit fiktif di Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Sarimadu tahun 2009 hingga 2012. Ternyata, HM Hafaz yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini tengah mengajukan upaya hukum praperadilan ke Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru.
Upaya praperadilan diajukan terkait penetapan tersangka yang disandang mantan Direktur PD BPR Sarimadu tetsebut.
Persidangan praperadilan yang dipimpin Hakim Tunggal Elfian, sudah berjalan beberapa hari. Sementara, untuk persidangan Senin (18/1) sore digelar dengan agenda pengajuan kesimpulan dari masing-masing pihak, baik Pemohon dalam hal ini HM Hafaz, maupun Termohon yakni Kejaksaan Tinggi Riau.
Proses persidangan kali ini tergolong cepat. Pasalnya, para pihak mengajukan kesimpulan secara tertulis kepada Hakim. Usai menerima kesimpulan, Hakim Elfian kemudian menutup persidangan.
Usai persidangan, Cut Wardah dari Kejati Riau memilih enggan memberikan keterangan terkait isi kesimpulan yang mereka sampaikan. Cut Wardah beralasan dirinya tidak berwenang untuk berbicara ke media.
Bahkan dia mengarahkan ke Jaksa Sunanto atau Sumriadi, yang notabene tidak tampak di persidangan tersebut.
Tidak puas, Haluan Riau mencoba menekankan kepada Cut Wardah, terkait proses penetapan tersangka HM Hafaz sudah sesuai prosedur dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
"Intinya, ya seperti itulah," jawabnya singkat sambil berlalu.
Sementara itu, HM Hafaz saat dikonfirmasi melalui Tim Kuasa H
Hukumnya, menerangkan bahwa ada prosedur yang dilanggar Penyidik Kejati Riau dalam menetapkan HM Hafaz sebagai tersangka.
"Dalam proses lidik (penyelidikan,red), seseorang diperiksa. Sebelumnya dipanggil. Itu sesuai Pasal 112 KUHAP. Dia diperiksa sebagai apa. Selanjutnya dituangkan dalam BAP (Berita Acara Pemeriksaan, red)," ungkap Emil Salim.
Namun dalam kasus ini, sebut Emil yang saat itu didampingi Oki Faurianza, Wawan Kurniawan, Yudha Cakrabuana, mengatakan kalau kliennya ditersangkakan dulu, baru dilakukan pemanggilan selaku tersangka.
Selain itu, lanjutnya, sampai hari ini untuk dugaan kerugian negara dalam kasus ini juga belum dapat dibuktikan. "Sebenarnya, dalam prosesnya tersebut sudah ada kerugian negara, baru bisa ditetapkan sebagai tersangka," lanjut Emil Salim.
Kepadanya ditanyakan, penetapan tersangka terhadap HM Hafaz sudah dilakukan pada 2014 lalu, dan mengapa baru mengajukan upaya praperadilan, Emil menyebut kalau pihaknya sudah memberikan klarifikasi hukum selama ini. "Namun ternyata, tidak ada kesamaan pandangan. Maka status tersangka terus berlanjut," tukasnya.
Untuk itu, pihaknya berharap agar Hakim bisa mendudukan hukum itu kembali. Mereka berkeyakinan kalau kasus ini bukanlah tindak pidana korupsi, melainkan murni masalah perdata antara BPR Sarimadu dengan HM Hafaz.
"Yang kita kritisi itu adalah prosedur penyidikannya, yang kita nilai cacat hukum. Semua produk dari proses yang cacat hukum, harus dibatalkan," tegas Emil Salim.
Untuk diketahui, HM Hafaz ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor Print-05/N.4/Fd.1/05/2014, tanggal 19 Mei 2014. HM Hafaz, mantan Direktur PD BPR Sarimadu, sebagai tersangka atas kasus dugaan korupsi kredit fiktif di BPR Sarimadu, Kabupaten Kampar tahun 2009 hingga 2012.
Perbuatan tersangka yang merupakan Direktur PD BPR Sarimadu itu, terjadi pada bulan September 2009 hingga 2010. Dimana tersangka mengajukan kredit fiktif sebesar Rp1.870.000.000, dengan mengatasnamakan 17 orang tanpa dilakukan analisis.
Untuk menghindari kredit macet, pada tahun 2011, tersangka melakukan restrukturisasi kembali dengan meningkatkan jumlah plafon pinjaman mengatasnamakan 14 belas debitur sebesar Rp2.500.000.000.
Sehingga, atas perbuatan tersangka itu, Pemerintah Daerah dalam hal ini PD Sarimadu Kabupaten Kampar diduga mengalami kerugian sebesar Rp3.901.407.491.52.
Perbuatan tersangka diatur dan diancam pidana sesuai dengan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Un-dang (UU) RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001, tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.(dod)