Manusia akan selalu lupa dengan bahaya, akan tetapi bahaya selalu mengintai manusia. Barangkali kalimat ini yang tepat untuk selalu mengingatkan kepada kita agar selalu waspada dan hati-hati dengan ancaman yang ada di sekitar kita. Sebagaimana yang kita alami, Kamis sekitar pukul 10.50 WIB, kita dihebohkan bom yang diledakkan oleh terorisme di kafe starbuck dan pos polisi di kawasan Sarinah jalan Tham rin Jakarta.
Ini bebar-benar mengagetkan kita semua, yang telah menewaskan tujuh orang. Hal ini telah dikecam semua orang, termasuk Presiden RI JokoWidodo, dengan mengatakan mengutuk atas perbuatan tersebut. Bagi masyarakat dunia, peristiwa terorisme memunculkan sebuah potret baru tentang kekerasan global yang mengancam semua orang di semua tempat. Dalam sejarah, pernah tercatat beberapa momen yang menyebabkan terjadinya krisis berskala global.
Misalnya, terbunuhnya Archduke Ferdinand dari Austria dan istrinya pada tahun 1914 yang menyebabkan pecahnya PD I, dan berakhirnya era pemerintahan monarkhi di Eropa. Operasi Barbarosa dan Pearl Harbour, dimana Jerman menyerang Rusia dan Jepang menyerang Amerika tahun 1941, yang menyebabkan terjadinya PD II yang diakhiri dengan meletusnya senjata nuklir pertama kali.
Mengapa terorisme itu bermunculan? Ini butuh analisa yang mendalam untuk menjawab pertanyaan tersebut. Menurut Martin E. Marty dan R Scott Appleby dalam Fundamentalisms Observed (London: 1991),
otoritarianisme dalam agama merupakan mekanisme pertahanan yang muncul sebagai reaksi atas krisis yang mengancam, seperti persoalan krisis ekonomi dan politik. Kondisi semacam itu akan melahirkan gerakan ekstrem seperti terorisme. Karen Armstrong (2000), juga mengatakan bahwa otoritarianisme agama seperti terorisme yang berkembang pada masa kini mempunya hubungan erat dengan modernitas. Artinya, kelalaian pemerintah dalam mengatasi problem kemiskinan, pendidikan, pengangguran, bahkan maraknya korupsi akan menjadi celah munculnya terorisme (Jawa Pos 2010, Rudi Syahbuddin).
Hal ini tentunya perlu pencegahan. Pencegahan terorisme diarahkan demi melindungi masyarakat secara luas. Perlindungan masyarakat dari gangguan terorisme dapat diwujudkan dengan upaya non penal, atau dalam istilah pemerintah deradikalisme terorisme. Adapun tujuan dari pencegahan kejahatan demikian diorientasikan pada dua hal yang mencakup, eliminasi faktor-faktor pemicu terorisme, menggerakkan potensi masyarakat dalam mencegah dan mengurangi kejahatan.
Pencegahan kejahatan terbagi menjadi tiga bagian, yakni primer, sekunder, tersier. Pencegahan primer meliputi perbaikan bidang sosial, ekonomi, pendidikan, yang mampu mengurangi situasi kriminogenik dan sebab dasar terorisme, menciptakan kondisi yang memberikan harapan keberhasilan masyarakat, intervensi sebelum aksi teror terjadi. Sedangkan upaya penal merupakan upaya sekunder, penitensier upaya tersier.
Pencegahan kejahatan dapat dilakukan melalui metode pendekatan sosial, situasional, kemasyarakatan.
Pendekatan sosial diarahkan pada populasi yang memiliki kecenderungan dan potensi terlibat dalam aksi teror. Pendekatan sosial ini ditujukan menumpas semua akar penyebab kejahatan dan kesempatan individu untuk melakukan kejahatan. Pendekatan kemasyarakatan dengan cara memperbaiki kapasitas masyarakat mengurangi kejahatan dengan meningkatkan kontrol sosio informal. Pendekatan situasional dengan jalan meredusir kesempatan melakukan tindak kejahatan. Secara aplikatif, beberapa upaya pendekatan ini dapat dilakukan melalui pengawasan. Sel-sel organisasi kemasyarakatan dapat diberdayakan dalam rangka pengawasan terhadap kelompok yang berpotensi melakukan teror. RT RW bisa menjadi bagian dari sistem informasi kepada aparat penegak hukum sehingga kejahatan bisa dicegah dengan baik.
Pendidikan non formal seperti pendidikan pengajian, dapat memperbaiki pandangan masyarakat terhadap ajaran agama secara tepat. Pendidikan formal dan informasi bisa memperbaiki rasa nasionalisme dalam diri masyarakat. Untuk mematahkan rantai terorisme, dimulai dari anak, penanaman yang tepat mengenai teror sebagai kejahatan yang tidak manusiawi, memacu mereka agar imun terhadap ajaran-ajaran sesat. Sedikit berbau metafisika, tetapi merupakan faktor penting bagi kejiwaan manusia, yaitu cinta kasih.
Penanaman rasa cinta yang kuat dalam diri individu dapat menghindarkan seseorang dari perbuatan biadab terhadap sesama manusia. tidak dapat dipungkiri tindakan bom bunuh diri itu timbul dari rasa patriotisme dan kecintaan yang kuat terhadap suatu ideologi, hanya saja masalah arah yang ditanamkan. Jika ditanamkan sesuatu yang manusiawi, para teroris itu bisa berubah menjadi pahlawan kemanusiaan.
Pembalikan perspektif sangat penting bagi orang-orang yang rawan terlibat terorisme. Adanya unifikasi atau penyatuan nilai sangat penting, terkait tentang perspektif terhadap nilai. Masyarakat harus punya kesatuan pemahaman, bahwa terorisme adalah penyakit sosial yang harus segera ditanggulangi. Hal yang demikian memacu warga masyarakat untuk mengontrol keadaan kehidupan sekitar mereka.
Kegiatan doktrinasi terorisme kadangkala dilakukan di rumah-rumah tertutup dan dalam komunitas terbatas. Sangat penting memperketat batasan tinggi pagar dan tembok bangunan, sehingga tetangga dapat mengawasi kumpulan massal yang terjadi di lingkungan mereka. Kemudian pembatasan tinggi pagar dan tembok ini berguna untuk pencegahan pabrik bom peledak di kawasan perumahan. Kecelakaan mungkin saja terjadi dan membahayakan masyarakat sekitar. Pengawasan terhadap bengkel logam juga perlu diperketat, terlepas dari pejabat setempat yang suka suap. Hal-hal yang demikian memperlemah peluang mengembangkan kekuatan bagi terorisme itu sendiri.
Dalam masa pemerintahan Orde Baru, masyarakat pernah dilibatkan dalam peranan intelijen. Akan tetapi pada waktu itu disalahgunakan sebagai mekanisme penguatan kekuasaan status quo. Hal yang demikian jika dilaksanakan secara bertanggungjawab dapat dipakai sebagai sarana counter terorism. Masyarakat diajarkan bagaimana menggali informasi, pembangunan sistem informasi hingga ke akar rumput. Bahkan pada waktu itu tidak jarang pemuka agama yang mengajarkan kesesatan dalam pengajarannya bisa langsung cepat diketahui, diletakkan dalam pengawasan dan dicokok bila mulai radikal dalam mengajar atau bertindak.
Dengan demikian ajaran sesat tersebut tidak sempat menyebar luas. Hal ini juga bisa berlaku terhadap gerakan separatis, dari tahapan doktrinasi bisa langsung dipatahkan. Negara-negara Eropa yang demokratis masih ada yang menggunakan mekanisme semacam ini, tetapi bukan untuk menguatkan status quo, diarahkan pada sistem pembangunan masyarakat. Tidak selamanya intelijen itu buruk, bisa saja sistem informasi intelijen dikerahkan menyelidiki kecurangan dalam segala hal. Hal yang paling penting penetapan batasan-batasan tegas lewat aturan dan supervisi agar tidak menyimpang. Demikian, semoga ancaman bom di negeri kita ini lekas lenyap dan kita menemukan ketenteraman dan keamanan. ***
Guru SMAN 1 Tebing Tinggi, Meranti