Koruptor telah menjadi biang huru hara baik sosial, budaya, ekonomi, politik, hukum, kesehatan, pendidikan maupun bidang lainnya. Koruptor telah bertindak amoral dan menjadi manusia yang ‘setengah beragama’, percaya kepada Tuhan Yang Maha Agung, tapi seperti tidak percaya. Ketika akan melakukan korupsi, koruptor lupa bahwa ternyata mereka mempunyai agama, dan akan dihisab semua perbuatannya di hari akhir.
Andai saja mereka ingat bahwa mereka beragama tentu mempunyai naluri takut dosa dan urung melakukan korupsi, karena jika melakukan korupsi berarti telah mengkhianati dan menyalahi sumpah jabatan yang mereka ucapkan ketika ditempatkan di posisi tertentu untuk mengelola negara. Memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya sulit untuk dilakukan, karena makin kencang diberantas makin banyak lagi lahir ‘bibit-bibit’ koruptor baru. Walaupun penjara mengancam, tapi tidak menyurutkan ‘nafsu serakah’ mereka.
Penerapan prinsip transparansi di semua bidang akan menjadi efektif dalam upaya melawan dan mencegahnya.
Transparansi dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai perihal ‘tembus cahaya, nyata, jelas’. Jika pengertian tersebut dikaitkan dengan aktivitas pengelola pemerintahan dan negara, maka makna tersebut bisa diperluas sebagai suatu tindakan dari semua pengelola pemerintahan dan negara baik presiden, menteri, kepala daerah, walikota, pejabat publik, pegawai negeri, pimpinan perusahaan negara, penegak hukum, anggota dewan dan lainnya, untuk melakukan segala aktivitasnya dengan nyata, jelas dan tanpa ada yang disembunyikan.
Semua informasi yang terkait dengan pengelolaan negara dan pemerintahan harus berani dipublikasi secara transparan, kecuali ada rahasia negara yang memang tidak boleh diketahui oleh masyarakat, karena dapat menyebabkan kelemahan atau akan mengancam negara.
Prinsip transparansi sangat ditakuti para koruptor, karena jika benar-benar diimplementasikan, maka bagaimana mereka akan melakukan korupsi, jika harus mempublikasikan dengan transparan gaji mereka. Jika harus ada detail penawaran dan realisasi proyek yang harus dipublikasikan. Jika pendirian suatu bangunan diawasi dengan transparan. Jika masyarakat mengetahui jumlah besaran pajak yang dibayarkan ke negara dan penggunaannya dipublikasikan dengan transparan, pelayanan yang sudah berstandar dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, informasi besaran pendapatan negara atau daerah dipublikasikan secara transparan dan lain sebagainya.
Namun, banyak tantangan yang dihadapi siapa pun dalam memberantas korupsi, karena terkadang ada lembaga yang seolah-olah ‘memelihara’ tindakan korupsi. Contoh kecil, ketika layanan diberikan adanya pemungutan uang yang semestinya tidak perlu dilakukan oknum petugas, dan ketika pengembalian uang sisa yang sering dibulatkan ke atas oleh oknum petugas, hal ini digolongkan sebagai korupsi kecil, namun bisa menjadi budaya dan sulit dihilangkan. Menurut Dieter Zinnbauer(2012), setidaknya ada tiga penyebab tantangan tersebut terjadi. Pertama, tindakan kolektif, sebagai contoh terkadang terjadi aksi suap atau sogok kepada pimpinan dalam hal penempatan atau promosi dalam jabatan tertentu, sehingga mengabaikan aturan dan nilai profesionalisme.
tau, saat pengesahan APBD ada upaya dari kepala daerah untuk menyuap DPRD agar mengesahkannya. Hal ini dilakukan tentunya atas dasar tahu sama tahu dan dilakukan secara kolektif, saling sembunyi ‘tangan dan suara’ yang akhirnya menjadi masalah besar. Ini semua terjadi karena tidak adanya transparansi. Kedua, integritas yang berkelanjutan tidak hanya dengan imbalan dan hukuman, namun lebih dari itu, adanya perubahan nilai-nilai dan norma justru tidak terjadi. Cukup sulit mengubah orang-orang kembali ke nilai-nilai kejujuran. Ini membutuhkan waktu yang cukup panjang dan melelahkan dengan hasil belum bisa dipastikan.
Ketiga, sistem korup sering dibangun atas kesamaan kepentingan dan mempunyai jaringan perlindungan yang kuat baik dalam kroni administrasi maupun hirarki politik. Keadaan ini membuat reformasi bagi anti korupsi di berbagai bidang terhambat, karena para reformis dikepung pihak-pihak yang mempunyai kepentingan bersama dan bersama-sama mereka akan berusaha mencari celah mencekal, mengintervensi, menjegal dan lain sebagainya agar kepentingan mereka tetap tidak terusik. Kondisi ini memberi keuntungan dan rasa nyaman bagi koruptor di ranah masing-masing dan mereka akan berusaha mencari cara dan celah agar tetap pada kondisi nyaman.
Transparansi menjadi kunci utama dalam menekan laju korupsi. Transparansi di dunia internasional telah dianggap sebagai suatu yang penting dan sangat esensial untuk diterapkan, terutama terkait transparansi dan hak akses publik terhadap informasi milik pemerintah. Hal ini dilakukan sebagai upaya penting dalam partisipasi demokrasi, kepercayaan terhadap pemerintah, pencegahan korupsi, menginformasikan pengambilan keputusan, akurasi informasi pemerintah dan penyediaan informasi yang lengkap kepada publik, perusahaan dan wartawan. (John C. Bertot, dkk: 2010).
Pertanyaannya, bagaimana pemerintah dapat melakukan transparansi kepada publik terkait dengan semua informasi yang harus diketahui publik? Piotrowski (2007) menegaskan, bahwa tranparansi pemerintah umumnya bisa terjadi melalui, sosialisasi proaktif dari pemerintah, merilis bahan-bahan atau substansi material yang dibutuhkan pemerintah, agar masyarakat mengetahui bahwa apa yang harus mereka bantu untuk pemerintah, melakukan pertemuan dengan publik dan membidik kebocoran melalui whist leblowers. Dengan transparansi korupsi akan dapat dicegah atau diminimalkan. ***
Pengamat sosial dan politik