Era awal abad ke 21 ini ditandai konflik bersenjata. Lihatlah Kawasan Timur Tengah. Mulai Lybia,Nigeria, Syria, Yaman. Begitu juga kawasan Asia Barat Iraq. Di Asia Selatan Afghanistan, tidak ketinggalan Eropa Timur, Ukraina.
Dalam kiraan rasional konflik tersebut di atas belum akan selesai. Kini kawasan Laut Cina Selatan mulai ada peningkatan ketegangan. Karena Cina mengklaim wilayah kawasan sebagai teritorialnya. Sementara Jepang, Filipina,Vietnam termasuk Amerika menolak klaim tersebut. Akankah laut Cina Selatan menjadi ajang konflik?
Pertanyaan ini cukup berdasar. Bahkan sudah menjadi isu penting kawasan Asia Timur dan Asean. Terutama karena responsif Cina di kawasan ini. Di satu pihak mengatakan sebagai pertahanan bela diri karena khawatir terhadap peran militer Amerika, di sisi lain mengatakan bahwa Laut Cina Selatan merupakan milik Cina sejak zaman dahulu.
Dengan begitu, kawasan laut Cina Selatan menjadi ajang konflik. Para pengamat militer memang cenderung menilai bahwa ambigu style militer Cina dimaksud berbahaya. Karena memancing kekuatan lain untuk bersikap yang sama. Misalnya Amerika, Jepang dan Vietmam serta Filipina. Tiga negara terakhir ini memang sudah terlibat dalam pertikaian masalah wilayah.
Dalam kaitan ini menarik untuk membaca artikel Liselotte Odgaard yang mengatakan, gelagat Cina itu berbahaya. Dalam artikelnya dalam New York Times 10 Desember 2015, berjudul, Cina Dangerous Ambigue In The South Cina Sea (Sikap Cina yang tersamar berbahaya di wilayah Laut Selatan Cina). Liselotte bertolak dari ucapan pemegang strategi keamanan Cina, yaitu May. Jen Yao Yunzhu dari Academic Miltary Science Beijing. Disampaikan dalam Xiangshan Forum Dialog Military rutin bulan Oktober lalu,
Mayor Jenderal Yao mempertanyakan mengapa kekuatan militer Amerika terus beroperasi di kawasan Cina Selatan.Tanpa ada yang mempersoalkannya, kecuali hanya negara Cina secara sendirian. "Kami ingin menunjukkan kemampuan mengamankan wilayah ini." Militer Amerika, kata Jenderal Yao, dengan kapal perang menjelajahi sejak Lautan Pasifik. Bahkan dengan tanpa peduli terhadap keberatan negara kawasan. Demikian tulis Liselotte Odgaard, mengutip kata petinggi militer Cina tersebut.
Liselotte Odgaard adalah pengamat masalah militer Royal Danish University Kopenhagen, Denmark. Ia juga penulis buku ”Cina Cooisistency Beijing’s National Security Strategy 21st Century”.
Ia menyatakan bahwa, ungkapan Jenderal Yao bukan satu satunya penjelasan penggambaran sikap militer Cina tentang kawasan Laut Cina Selatan. Ada pejabat paling tinggi Cina, yaitu Presiden Cina Xi Jianping, yang menyatakan hal yang berkenaan strategi pertahanan dan keamanan negerinya Presiden Xi Jianping menegaskan, pada 27 Oktober 2015 kapal induk Uss Lassen mencoba mendekat ke Subi Reef kawasan 12 mil dari pantai Laut Cina Selatan.
Kata Presiden Xi, kawasan kepulauan di Laut Cina Selatan adalah merupakan milik dari zaman dahulu kala. Ini merupakan batas wilayah dipegang teguh pemerintah sekarang. Wilayah Cina yang berdaulat legal yang harus dijaga seacra sah.
Ucapan itu disampaikan Presiden Xi Jianping dalam pidatonya di National University Singapura, November 2015. Ini menjelaskan ada dua poin unsur strategi keamanan Cina. Pertama, mencoba melakukan upaya sebagai imbangan kekuatan super power lain yang ada di kawasan Laut Cina Selatan.
Artinya sebagai respon atau reaksi karena faktor luar. Pendapat ini adalah datang dari ucapan May Jen Jao Yunzhen. Bagi dia, sikap Cina dalam rangka mempertahankan diri. Bukan dalam rangka opensif, atau provokasi kekuatan terhadap pihak lain. Poin kedua, apa yang disampaikan Presiden Xi Jianping, yaitu wilayah Laut Cina Selatan adalah wilayah yang sudah menjadi milik Cina. Sebagai wilayah yang sah harus dipertahankan dan dijaga. Butir ini merupakan jawaban yang menentang. Bahwa tidak betul ada wilayah pertikaian di Laut Cina Selatan. Karena sah adalah milik Cina.
Jadi kegiatan militer dalam rangka menjaga kedaulatan milik sah tersebut.
Jadi antara respon berjaga-jaga atau untuk bela diri, dan klaim menjaga Laut Cina Selatan sebagai milik Cina, jelas ada double pernyataan yang tidak sama dan tersamar, bahkan berlawanan. Bagi Indonesia, persoalan Laut Cina Selatan dapat dikatakan sebagai wilayah yang tidak bersentuhan lansung dengan Indonesia. Karena jarak letak kawasan ditempati negara lain seperti Vietnam Korea, Filipina dan Malaysia. Namun demikian bila kawasan Cina Selatan terganggu, tetap membawa dampak kepada Indonesia.
Karena kawasan itu merupakan kawasan lalu lintas ekonomi perdagangan yang penting. Penulis berpendapat, wilayah itu seharusnya dijaga netralitasnya sebagai kawasan damai. Semua pihak haruslah mendahulukan kemauan damai dan menjauhkan sikap permusuhan.
Ini merupakan kesepakatan pendapat dari negara Asean dalam KTT akhir November lalu. Bila ada sengketa, coba didahulukan perundingan dan menjauhkan penggunaan cara militer. Artinya ada kesan kuat kawasan Laut Cina Selatan bisa saja jadi ajang konflik.
Namun kita tidak ingin konflik dialami oleh negara sekarang di Timur Tengah dan lainnya itu terjadi di kawasan Laut Cina Selatan.K ita ingin kawasan ini tanpa konflik, agar negara bangsa wilyah ini dapat mencapai kemakmuran dan kesejahteraan. ***
Penulis Dosen Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta