PEKANBARU (HR)-Memiliki banyak perusahaan perkebunan dan kehutanan yang beroperasi di Riau, bukan jaminan akan membawa kesejahteraan bagi negara dan masyarakat di Bumi Lancang Kuning. Bahkan sebaliknya, diduga negara malah dirugikan. Setidaknya, itulah gambaran yang dipaparkan Panitia Khusus Monitoring Lahan DPRD Riau, dalam rapat paripurna yang digelar Senin (21/12).
Apa yang menjadi temuan Pansus tersebut, memang mengejutkan. Karena diduga banyak perusahaan perkebunan dan pengelolaan lahan di Riau, yang diduga melanggar aturan. Mulai dari dugaan tidak membayar pajak, hingga pelanggaran aturan lain. Tak tanggung-tanggung, kerugian negara bahkan diprediksi mencapai Rp104 triliun lebih.
Sayangnya, meski sudah menggambarkan dampak negatif tersebut, Pansus tidak bersedia menyebutkan nama-nama perusahaan yang diduga melakukan pelanggaran tersebut.
Pansus Meski demikian, Pansus memberikan 15 rekomendasi yang ditujukan kepada instansi terkait untuk segera ditindaklanjuti.
Ada sejumlah hal yang disorot Pansus Monitong Lahan DPRD Riau, yang telah bekerja sejak Maret lalu. Mulai monitoring kondisi terkini, evaluasi perizinan HGU, IU Perkebunan, HTI, HPHTI, HPH, izin usaha pertambangan, izin lingkungan dan lain lingkungan (Amdal, UPL,UKL).
"Yang pasti data ini (perusahaan tak berizin dan diduga melanggar aturan, red), belum bisa kami berikan. Yang jelas rekomendasi itu sudah ada dan mudah-mudahan itu yang kita laksanakan," ungkap Wakil Ketua DPRD Riau, Sunaryo, ketika dikonfirmasi usai usai paripurna.
Hal senada juga disampaikan Ketua Pansus, Suhardiman Amby. Meski mengakui banyak perusahaan di Riau yang diduga melanggar aturan, namun ia tidak bersedia menyebutkannya. "Untuk lebih jelasnya, silakan minta ke pimpinanlah. Karena, hasilnya sudah disampaikan," ujarnya.
15 Rekom Sementara itu, juru bicara Pansus Monitoring Lahan DPRD Riau, Nasril, saat membacakan hasil pantauan Pansus, mengungkapkan banyak perusahaan yang diduga melanggar aturan. Mulai dari menunggak pajak, hingga menguasai lahan yang melebihi izin dari yang diberikan pemerintah. Kondisi ini sudah berlangsung sejak empat tahun terakhir. Buntutnya, negara dirugikan hingga Rp104,396 triliun.
Terkait hal itu, Pansus menyampaikan 15 rekomendasi kepada instansi terkait, baik di pusat mau pun di daerah, untuk segera ditindaklanjuti.
Pertama, meminta kepada Presiden RI untuk memerintahkan kementerian terkait mengusut tuntas seluruh temuan Pansus serta menjatuhkan sanksi jika terbukti bersalah. Termasuk sanksi pencabutan izin serta penyitaan aset oleh negara.
Kedua, meminta DPR RI mengamandeman Undang-undang Agraria Pasal 34 ayat 1, karena setiap orang yang berkepentingan berhak mengetahui data fisik dan data yuridis yang tersimpan di dalam peta pendaftaran, daftar tanah, surat ukur dan buku tanah. Selanjutnya untuk Ayat 2 tentang data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam dafar nama hanya terbuka bagi instansi pemerintah tertentu untuk keperluan pelaksanaan tugasnya. Begitup ula Ayat 3 tentang persyaratan dan tata cara untuk memperoleh keterangan mengenai data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan Menteri.
Hal ini bertujuan agar izin yang diberikan pemerintah kepada perusahaan dapat dipublikasikan. Sehingga masyarakat dan media masa dapat mengawasi perizinan dan operasional perusahaan secara besama serta melindungi hak masyarakat tempatan dan masyarakat adat.
Selanjutnya, Pansus meminta DPR RI dan Kementerian Keuangan RI melali Dirjen Pajak mengameandeman UU Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan terutama Pasal 34 yang berkaitan dengan pemberitaan data wajib pajak kepada pihak lain.
Sebab, aturan itu membuat arus informasi jadi terhalang. Bahkan Pansus dan pihak terkait lainya tidak bisa mendapatkan data dan informasi yang jauh dari Kanwil Dirjen Pajak Riau dan Kepulauan Riau, dengan dalih data yang dibutuhkan rahasia dan harus dilindungi undang-undang.
Pansus juga meminta DPR RI dan Kementerian Kehutanan mengamandemen PP Nomor 68 Tahun 2014 tentang Standar Patokan Harga Bahan Baku Industri Khusus Hutan Tanaman per-tonnya, agar disesuaikan dengan harga sebenarnya. Karena akibat peraturan tersebut, Riau dirugikan hingga ratusan miliar setiap tahun dari sektor PSDH hutan tanaman.
Selanjutnya Pansus meminta DPR RI bersama Kementerian Keuangan, Kehutanan dan Agraria & Tata Ruang, mengamandeman Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Dalam hal ini, dilakukan perubahan dengan menetapkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dengan berdasarkan produktivitas lahan. Bukan menyamakan antara lahan yang produktif dengan lahan yang tidak produktif.
Kemudian, Pansus meminta Menteri Pertanian dan jajaran di bawahnya mengawasi dengan ketat pelaksanaan Permentan Nomor 98 Tahun 20l3, yaitu mengenai aturan yang mengharuskan perusahaan perkebunan mengusahakan 20 persen KKPA dari kebun di luar izinnya.
Sedangkan untuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pansus meminta lembaga antirasuah ini menyelidiki kerugian negara terhadap pendapatan negara pada Pajak PPN, PPH, PBB, Biaya Keluar (Pajak Ekspor) dan PSDH-DR.
"Pansus meminta kepada DPRD Riau untuk membentuk tim Pengawas untuk mengawasi jalannya pemeriksaan oleh pihak terkait terhadap perusahaan pengemplang pajak, perambah kawasan hutan, perusahaan ilegal dan perusahaan melakukan penanaman melebihi izin yang diberikan ,termasuk perusahaan yang melanggar izin lingkungan," tegas Nasril.
Sedangkan untuk instansi di daerah, Pansus meminta pihak terkait seperti Dinas Kehutanan, Dinas Perkebunan, Dirjen Pajak, Badan Pertanahan Nasional dan Badan Lingkungan Hidup bersama Kejaksaan Tinggi dan Polda riau, menyelidiki dan mengusut serta menindak perusahaan-perusahaan yang masuk dalam pengawasan Pansus. Sanksi yang dijatuhkan bisa berupa pidana, administrasi, denda, pembekuan serta penutupan dan pencabutan izin perusahaan sesuai dengan Ketentuan yang berlaku.
"Kemudian, Pansus meminta kepada pihak berwenang untuk melakukan eksekusi terhadap perusahaan mengelola lahan di luar perizinan yang diberikan. Lahan-lahan yang digarap perusahaan di luar izin, diserahkan kepada negara selanjutnya dibagikan ke masyarakat sekitar," tambahnya.
Alternatif lainnya, pihak perusahaan pelanggar bisa mengurus izin namun tetap dengan membayar kompensasi selama menggunakan lahan tanpa izin.
Selanjutnya, pansus meminta kepada Dinas Perindustrian melakukan moratorium izin PKS non kebun, menutup PKS non kebun yang diduga TBS secara ilegal dan kebun kelapa sawit di kawasan hutan.
"Kemudian, pansus meminta agar yang erkaitan dengan temuan pansus adanya perpanjangan HGU yang
dilakukan perusahaan sebelum 2 tahun masa berakhir HGU,HPH,IUPHTI dan izin lainnya. berlaku antara 50 sampai dengan 100 tahun maka diminta kepada pemda Riau melakukan langkah-langkah hukum, seperti praperadilan atau tindakan hukum lainnya untuk mengembalikan hak-hak mesyarakat tempatan," pungkas Nasril. (rud)