Selepas memimpin parlemen, Mr Sartono ditunjuk Presiden Sukarno menjadi wakil ketua Dewan Pertimbangan Agung. Di posisi barunya itu, ia tetap memegang teguh integritas dan kejujuran. Saat menikahkan putri keduanya, RA Sri Mulyati, dengan Ir Moeso Soenhadji pada 1965, Sartono melarang segenap undangan memberikan cendera mata dalam bentuk apa pun.
"Ayah menuliskan pesan itu pada surat undangan yang ditulisnya sendiri," kata Sri mengenang saat ditemui di kediamannya, Kompleks Perhubungan Udara, Warung Jati, Jakarta Selatan, baru-baru ini.
Untuk mahar pengantin pun, Sri melanjutkan, calon suaminya diminta tidak memberikan perhiasan maupun Al-Quran dan perangkat salat sebagaimana lazimnya. "Ayah malah minta suami Saya memberi mahar buku tentang Pancasila," Sri menambahkan seraya tersenyum simpul. Bertindak selaku saksi pernikahan Sri kala itu adalah mantan wakil presiden Bung Hatta, yang merupakan teman kuliah Sartono semasa di Leiden, Belanda.
Sartono tak meninggalkan harta berlimpah bagi keluarganya. Malah, hingga ajal menjemput pada 15 Oktober 1968, ia cuma menempati rumah di Jalan Agus Salim, Jakarta Pusat, pemberian sahabatnya. Sartono tak sanggup membeli rumah dinas di Jalan Imam Bonjol yang ditawarkan pemerintah meski dengan harga murah. Rumah dinas persis di seberang bekas kediaman Laksamana Maeda yang menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi itu kini menjadi rumah Duta Besar Filipina. "Ayah tidak mewariskan apa-apa, cuma seperangkat mebel dan album foto," ujar Sri.
Sikap hidup sederhana dan sangat menentang praktek korupsi, menurut Daradjadi Hoesodo Gondodiprojo, diperlihatkan Sartono selama memimpin parlemen pada 1950-1959. Sebagai ketua parlemen, Sartono sangat masygul terhadap berbagai kebocoran anggaran negara yang terjadi. Beberapa kali ia mengusulkan dibentuknya undang-undang tentang pertanggungjawaban keuangan negara yang efektif. Namun usulnya tidak mendapat banyak sambutan.
"Itu karena Mr Sartono tumbuh dewasa dalam suatu komunitas yang bersemboyan 'sedumuk bathuk senyari bumi' (selalu berupaya menjaga kehormatan diri dan tanah air)," kata penulis buku Mr Sartono Pejuang Demokrasi dan Bapak Parlemen Indonesia itu.
Daradjadi mencontohkan, ketika Ir Sakirman dari Fraksi Partai Komunis Indonesia menuding Tan Po Goan dari Partai Sosialis Indonesia terlibat korupsi dalam pembelian mobil Angkatan Darat dari Belanda, Sartono langsung menanyakan duduk perkara isu ini kepada Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Dalam jawaban tertulis, menurut Daradjadi, Sri Sultan menjelaskan bahwa Tan bukan makelar, melainkan memang pemilik NV Putera, yang merupakan agen tunggal perusahaan mobil asal Belanda tersebut. Dengan demikian, wajar kalau ia menerima 3 persen dari harga pembelian mobil sebagai biaya pengurusan impor.
Namun, ketika Tan Po Goan menyodorkan bukti-bukti penyelewengan oleh Menteri Kehakiman Djodi Gondokusumo terkait pengurusan visa seorang warga keturunan Tionghoa, Sartono tegas meminta agar hal itu dilaporkan kepada Kejaksaan Agung. "Beliau berpendapat, Dewan memang berkewajiban mengawasi kebijakan pemerintah, tapi bukan mengadili suatu perkara pidana," kata Daradjadi.
Djodi pun diproses Kejaksaan. Pengadilan kemudian menghukumnya setahun penjara. Tapi, baru enam bulan Djodi meringkuk di hotel prodeo, Presiden Sukarno memberinya grasi sehingga Djodi pun dibebaskan. "Mr Sartono, Bung Hatta, dan tokoh lain mengkritik keras keputusan Bung Karno waktu itu," kata Daradjadi. (dtc/rin)