RENGAT(HR)-Bagi daerah yang kaya akan sumber daya alam seperti daerah penghasil Migas dan pertambangan umum lainnya, akan sangat berpeluang untuk menginovasi kebijakan kebijakan sesuai dengan prioritas masalah yang ada.
Dengan deskresi fiskal keleluasaan keuangan yang dimiliki akan sangat mendorong untuk membiayai pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat lebih memperbaiki taraf hidupnya. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri, sistem desentralisasi administrasi kewenangan urusan dan desentralisasi fiskal, bagi daerah yang kaya akan sumber daya alam seperti daerah penghasil minyak dan gas bumi yang berpotensi memiliki kemampuan fiskal yang tinggi, justru menghadapi “kutukan” sumber daya (resource curse).
Kesenjangan menjadi bagian potret “kutukan”, baik antara wilayah desa penghasil dan non penghasil.
Bahkan daerah yang menjadi wilayah inti penghasil sumber daya alam justru menjadi kantong kemiskinan dan wilayah tertinggal.
Penerimaan yang besar namun miss alokasi atau salah kelola justru menimbulkan ketergantungan dan keterjebakan pembangunan ekonomi jangka pendek yang tidak bertahan lama dan dapat menciptakan jurang kemiskinan yang akut.
Fenomena yang mendekati dengan “kutukan sumber daya alam” tersebut mulai tampak di Kabupaten Indragiri Hulu, satu dari delapan kabupaten penghasil minyak dan gas bumi serta pertambagan batubara di Provinsi Riau. Meskipun tidak sepenuhnya adalah feno- mona kutukan sumber daya alam, namun fenome itu telah menggambarkan tidak optimalnya pengelolaan Dana Bagi Hasil (DBH) yang diperoleh dari hasil pengelolaan sumber daya yang dimiliki.
Kabupaten dengan jumlah penduduk 401.201 jiwa, dengan penduduk miskin mencapai 29.600 jiwa atau 7,50 persen dari total penduduk ditahun 2013. Jumlah penduduk miskin tahun 2013 justru lebih tinggi dari tahun 2012, begitu juga dengan tahun 2014 dan tentunya hal yang sama tidak akan terjadi pada tahun 2015 ini. Data yang diterima Haluan Riau, rerata tahun 2010 – 2014, penerimaan daerah dari Dana Bagi Hasil (DBH) sumber daya alam berkontribusi sebesar 41,2 persen dari total pendapatan yang diterima.
Dari total DBH SDA tersebut, sekitar 95 persen berasal dari DBH Migas, artinya lebih dari sepertiga penerimaan daerah Kabupaten Indragri Hulu bersumber dari DBH Migas. Dimana realisasi penerimaan daerah dari tahun 2010-2014 sebesar Rp6,1 triliun dan penerimaan yang berasal dari DBH Migas sebesar Rp2,1 triliun atau 35,4 persen. Salah seorang peneliti dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Riau Triyono, menyebutkan pendapatan daerah penghasil sumber daya alam berada jauh lebih tinggi di atas rerata kabupaten nasional, termasuk kondisi ruang fiskal daerahnya.
Dapat dikatakan, daerah penghasil memiliki kapasitas keuangan yang lebih fleksibel dibandingkan daerah lain. Dengan pendapatan sumber daya alam dan ruang fiskal yang tinggi seharusnya pemerintah daerah dapat dengan mudah menginovasi kebijakan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kondisi demikian terjadi di Kabupaten Indragiri Hulu.
Besarnya pendapatan yang diperoleh dari DBH sumber daya alam dan dibantu dengan besarnya dana alokasi umum yang diterima setiap tahunnya, daerah ini termasuk memiliki ruang fiskal yang tergolong tinggi.
"Persoalan kemiskinan dan kondisi infrastruktur di desa penghasil dan sekitar tambang Migas di atas memberikan gambaran potret miris wilayah penghasil tambang. Kesenjangan pembangunan antara wilayah tentu harus segera diberikan solusi yang efektif agar tidak akan menimbulkan kecemburuan masyarakat. Pemerintah daerah sebagai pembuat kebijakan (policy maker), seyogyanya menempatkan desa penghasil dan sekitar tambang sebagai prioritas pembangunan.***