Posisi geografis Indonesia di Asia Tenggara yang jauh dari pusat Islam di Jazirah Arab menimbulkan asumsi bahwa Islam di Asia Tenggara adalah pinggiran (periferal). Namun, sebenarnya ekspresi Islam di wilayah ini memiliki karakteristik dinamis yang tidak sama dengan di Timur Tengah, Afrika Utara, Asia Tengah, dan Asia Selatan.
Karakteristik Islam di Asia Tenggara, terutama Indonesia, pada dasarnya adalah Islam yang ramah (damai), moderat, dan toleran. Sementara, banyak negara Muslim di luar wilayah ini diwarnai oleh sistem pemerintahan yang otokratis/otoriter serta terjadinya kekerasan, konflik, dan perang, terutama yang dilakukan ISIS dan Alqaidah. Hal ini terjadi karena ekspresi keagamaan tidak terlepas dari pemahaman doktrin serta karakter, tradisi, dan budaya penganutnya.
Kini Indonesia bahkan dinilai sebagai negara Muslim paling toleran dan paling demokratis di dunia. Banyak pihak yang mengharapkan Indonesia dijadikan sebagai model negara Muslim modern yang demokratis. Karenanya, diperlukan upaya pengembangannya secara aktif sehingga bangsa Indonesia tidak hanya menjadi objek, tetapi juga subjek globalisasi.
Di samping kondisi yang sangat positif ini, diakui juga bahwa di era reformasi ini muncul pula gejala menguatnya aliran atau gerakan Islam dari luar Indonesia, sejalan dengan proses globalisasi yang secara umum tidak bisa dielakkan. Sebagian dari aliran atau gerakan itu, terutama kelompok puritan, radikal, dan ekstremis telah merusak karakterisitk Indonesia yang damai, moderat, dan toleran, yang berujung pada terjadinya kasus terorisme, kekerasan, dan intoleransi beragama.
Bahkan, konflik di Timur Tengah pada saat ini, terutama di Irak, Suriah, dan Yaman yang notabene melibatkan salafi/wahabi di satu pihak dan syiah di pihak lain, ikut berpengaruh tehadap munculnya ketegangan tertentu di negara ini.
Untuk merespons perkembangan tersebut, sejumlah tokoh dan organisasi Islam telah melakukan upaya penguatan pemahaman Islam yang moderat dan wawasan kebangsaan. Salah satu ormas Islam, yakni Nahdlatul Ulama (NU), bahkan menegaskan kembali perlunya mempertahankan karakteristik Islam di negara ini dengan istilah "Islam Nusantara", meski istilah ini bukanlah istilah baru. Hal ini karena Islam di Nusantara selama ini telah menunjukkan Islam yang ramah, moderat, dan toleran.
Namun demikian, agar karakterisasi Islam itu bisa diterima oleh Muslim di luar Indonesia, diperlukan istilah yang bersifat universial dan berasal dari Alquran. Dalam hal ini saya cenderung menggunakan istilah "Islam Rahmah-Wasathiyyah". Kata rahmah (berarti kasih sayang atau ramah) yang berasal dari kata rahmatan li al-'alimin, merupakan karakteristik agama Islam, sebagaimana terdapat dalam QS al-Anbiya [21]: 107. Kata ini dijadikan sebagai karakteristik Islam yang telah dikumandangkan ke penjuru dunia oleh International Conference of Islamic Scholars (ICIS) sejak 2004.
Sedangkan, wasathiyyah (berarti moderasi) merupakan karakteristik umat Islam, sebagaimana terdapat dalam QS al-Baqarah [2]: 143. Istilah "Islam wasathiyyah" ini dijadikan sebagai tema Munas ke-9 Majelis Ulama Indonesia (MUI) 2015 di Surabaya sebagai karakteristik Islam yang harus dijaga dan dikembangkan di Indonesia. Sebelumnya, Muktamar ke-33 NU dan Muktamar ke-47 Muhammadiyah tahun ini juga menegaskan perlunya menjaga dan mempromosikan Islam moderat.
Secara empiris, karakteristik Islam yang damai dan moderat ini dapat dilihat dari tiga perspektif. Pertama, dalam konteks hubungan antara warga, umat Islam di wilayah ini sangat toleran terhadap kelompok lain. Kedua, dalam konteks hubungan antara Islam dan negara, umat Islam akomodatif terhadap ideologi negara dan sistem demokrasi. Ketiga, dalam konteks kehidupan dan perkembangan dunia, umat Islam dapat menerima modernisme meski tetap memiliki orientasi keagamaan.
Banyak pemimpin Muslim di berbagai negara, para pemimpin politik dari negara-negara Barat, dan pengamat internasional (terutama Indonesianis) menyarankan kepada negara-negara Muslim di dunia akan pentingnya belajar dari Islam Indonesia. Pemerintah dan sejumlah tokoh organisasi Islam di Indonesia menyadari akan hal ini, dengan berbagi pengalaman dengan para tokoh umat di negara lain.
Dalam konteks ini, pemerintah (Kementerian Luar Negeri dan Kementeriaan Agama) telah menginisiasi penyelenggaraan dialog antaragama (interfaith dialogue) baik tingkat internasional maupun regional, multilateral, maupun bilateral.
Dialog dengan tema "the First ASEM Interfaith Dialogue" yang awalnya diselenggarakan di Bali pada 2005 itu kini sudah banyak dilakukan di berbagai negara di dunia. Pemerintah bahkan menjadikan dialog ini sebagai program unggulan dalam diplomasi publik yang merupakan second track diplomacy, dengan melibatkan para intelektual dan tokoh berbagai organisasi keagamaan (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu). Mereka bisa menjelaskan dan memberikan testimoni tentang kondisi objektif dan pengalaman kehidupan beragama di Indonesia yang damai dan toleran.
Di samping itu, sejumlah tokoh dan organisasi Islam, terutama NU dan Muhammadiyah, juga telah menyelenggarakan forum-forum internasional dengan berbagai tema, baik terkait dengan perlunya pemahaman Islam yang damai dan moderat maupun terkait upaya memajukan umat dan mengatasi persoalan yang dihadapi mereka. Forum seminar internasional tentang hal ini juga dilakukan oleh sejumlah perguruan tinggi Islam di negara ini.
Pertemuan internasional dengan mengundang ulama dan tokoh Islam dunia itu memberikan pemahaman yang benar tentang Islam di Indonesia. Semula banyak yang menganggap Islam di Indonesia sebagai Islam sinkretis, yang bercampur dengan syirik, bid'ah, dan khurafat. Namun, kini mereka memahami Islam di Indonesia dalam hal akidah dan ibadah sama dengan yang dipraktikkan oleh mayoritas umat Islam di dunia.
Yang agak berbeda adalah ekspresi keagamaan dalam kehidupan masyarakat dan negara, yang notabene lebih damai dan toleran daripada di umumnya negara-negara Muslim. Ekspresi yang demikian ini menimbulkan keinginan banyak dari mereka untuk mempelajari dan mencontoh.
Hal tersebut juga mendorong keinginan banyak pemuda Muslim di seluruh dunia, baik dari negara-negara mayoritas Muslim maupun negara minoritas Muslim, untuk belajar Islam di negara ini. Saat ini sudah ada sejumlah mahasiswa asing yang belajar Islam di Indonesia, baik yang mendapatkan beasiswa dari Kemenag maupun yang mandiri.
Namun, jumlah mereka masih sedikit karena nilainya pun sangat terbatas. Padahal ada negara yang pendapatan per kapita rakyatnya sebenarnya lebih rendah dari Indonesia, tetapi memberikan banyak beasiswa kepada mahasiswa internasional (asing). Beasiswa ini merupakan bagian dari diplomasi publik yang dilakukan mayoritas negara.
Ke depan, upaya menduniakan Islam Indonesia itu akan semakin berhasil jika didukung juga anggaran biaya mencukupi. Anggaran biaya ini diperlukan untuk meningkatkan program diplomasi people to people yang melibatkan para tokoh dan organisasi keagamaan.
Dana ini juga diperlukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi dengan standar internasional, termasuk kualitas penelitian serta publikasi buku dan jurnal dalam bahasa dunia, di samping untuk beasiswa (program S-2 dan S-3) bagi mahasiswa asing dan rekrutmen dosen internasional. Untuk merealisasikan ini, tidak diperlukan lagi pendirian universitas baru, tetapi cukup memperkuat mandat dan dana yang memadahi bagi universitas yang sudah ada.(rol)
Guru Besar, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, Rais Syuriah PBNU