Cahaya malam merupakan kebutuhan utama umat manusia, namun cahaya yang biasa berasal dari sumber energi buatan manusia tersebut, masih belum bisa dirasakan oleh seluruh penduduk di bumi nusantara ini, terutama mereka yang berdiam di daerah terpencil.
Namun asa tentu saja bisa muncul bagi masyarakat yang memang jauh dari sentuhan pembangunan tersebut, ketika di daerah mereka menjadi salah satu daerah penghasil "emas" bagi daerahnya. Jangankan menjadi primadona ketika hasil tanah yang sudah mereka huni sejak nenek moyang tersebut mereka dapatkan, namun jangankan asa tersebut terwujud, mendekatpun seakan enggan.
Puluhan tahun, isi perut bumi Desa Talang Sungai Limau, Kecamatan Rakit Kulim, terus disedot. Pundi-pundi uang dengan nilai triliunan dihasilkan, namun yang terjadi seperti kacang lupa akan kulitnya.
Penderitaan dengan hidup seadanya dan bahkan kekurangan yang bisa dirasakan penghuni wilayah yang merupakan masyarakat dengan keterbelakangan ekonomi cukup jauh dibandingkan dengan daerah yang selama ini hanya menjadi pusat pemerintahan dan malah maksimal menikmati hasil pembagian rupiah tersebut.
"Cahaya malam yang terang hanya timbul dan bisa kami saksikan pada stasiun pengumpul minyak milik PT Medco tersebut, sementara bangunan-bangunan kayu yang dilapisi triplek disekelilingnya, hanya memakai lampu pijar," jelas Kades Talang Sungai Limau Muhammad Inci.
Meskipun ada yang menggunakan genset, itu hanya sebagian dari masyarakat dan tentunya hanya akan tahan hingga pukul 00.00 WIB setiap harinya. Setelah itu, hanya lampu togok sajalah yang menjadi penerangan dengan berharap hawa sejuk dari alam yang berhembus menembus dari celah dinding rapuh dari rumah, dengan harapan mampu membuat sejuk rumah pengap karena tanpa kipas angin apalagi AC.
Menurut Kades, seharusnya kegembiraan ibarat semburan pewangi, apabila memakainya semua akan dapat merasa keharumannya. Namun tidak dengan teman mereka PT Medco, untung diraih dari minyak bumi, namun tetangga Medco yang ada 282 KK tersebut hanya bisa menjadi penikmat semu.
Kenyataan ini tentunya bertolak belakang dengan asumsi masyarakat di sekitar daerah tambang apalagi minyak bumi akan bisa menjadi daerah yang makmur dengan hasil bumi mereka yang tumpah ruah, dan mampu membuat sejahtera orang banyak.
Tapi kenyataannya malah mereka yang harus terus menderita karena memang daerah mereka jauh dari segala pusat kegiatan.
Tokoh adat Talang Sungai Limau Batin Madi, menyebutkan jangankan mendapatkan kesejahteraan, bantuan pelayanan saja seperti kesehatan, sekolah dan lainnya tidak pernah dirasakan masyarakat, jadilah jika sakit masyarakat, mau tidak mau masih mengandalkan dukun kampung saja, meskipun itu sudah menjadi tradisi masyarakat Talang.
"Pernah mereka memberikan bantuan untuk sekolah dasar (SD) yang dibangun pemerintah, itu pun hanya sebanyak lima sak semen saja, tidak lebih. Jika dibandingkan dengan hasil yang telah raup itu bukanlah sebuah bantuan yang sepadan yang harus didapat masyarakat," ungkapnya.
Peneliti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Riau, menyebutkan asumsi selama ini, penemuan ladang minyak membawa harapan kemakmuran bagi masyarakat sekitarnya. Kondisi wilayah penghasil tambang Migas di Kabupaten Indragiri Hulu justru menjadi daerah dengan rumah tangga miskin terbesar. Dikatakan koordinator Fitra Riau Usman, Kecamatan Rakit Kulim dan Kecamatan Lirik merupakan lokasi ladang minyak dan gas bumi di kabupaten Indragiri Hulu.
"Sebagai daerah penghasil migas serta desa berada disekitarnya sangat berpotensi menjadi desa terdampak atas industri tersebut, sangat tidak layak memiliki tingkat kemiskinan penduduknya yang tinggi.
Wilayah atau desa tersebut seyogyanya mendapatkan perhatian lebih besar dari pemerintah khsusunya di sektor yang mendorong masyarakatnya keluar dari kemiskinan," ucapnya. (bersambung)