Dalam rangka mengikuti pilkada serentak 9 Desember 2015, setiap pasangan calon diwajibkan membuat laporan dana sumbangan kampanye secara transparan.
Terkait laporan dana sumbangan kampanye ini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengingatkan sejumlah kejanggalan yang patut diwaspadai.
Berdasarkan pengalaman pada pilkada sebelumnya, menurut Titi, kejanggalan yang harus diwaspadai adalah banyaknya penyumbang yang mendonorkan dana dengan nominal serupa dan mengambil batas maksimal nilai sumbangan.
Terkait kejanggalan ini, Titi menduga adanya modus dana titipan. Ada satu penyandang dana besar yang sengaja membagi-bagikan uangnya kepada banyak orang untuk kemudian disumbangkan melalui banyak orang dengan nominal yang sama.
"Beberapa temuan dari pemilu 2004 dan 2009, ada yang menyumbang sesuai batas maksimal dan angka yang besar, tapi secara kemampuan finansial tidak layak untuk menyumbang sebesar itu. Ternyata, ada dana-dana titipan," kata Titi Anggraini.
Dalam pilkada, kata Titi, batas maksimal sumbangan perseorangan adalah Rp 50 juta. Sedangkan batas maksimal sumbangan untuk badan hukum, lembaga, dan perusahaan, sebesar Rp 350 juta.
Untuk mendorong transparansi laporan dana kampanye, Titi menyarankan agar profesi atau pekerjaan si penyumbang disertakan dalam laporan.
Selain itu, petugas yang memeriksa laporan dana kampanye tersebut sedianya melakukan pengecekan lapangan dengan membandingkan kelayakan hidup donatur dengan nominal dana yang disumbangkan.
"Kalau pas dicek, rumahnya masih ngontrak, tetapi sumbang Rp 50 juta, itu ada indikasi," tutur Titi.
Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) sebelumnya mencurigai laporan sumbangan dana kampanye salah satu pasangan di Tangerang Selatan. Ada 19 penyumbang perseorangan untuk salah satu pasangan calon yang menyumbangkan dana dengan nominal sama, yakni Rp 50 juta.
Rata-rata penyumbang tersebut adalah orang yang masih punya hubungan keluarga atau kerabat dengan pasangan calon.(kpc/yuk)