Awal November lalu, pemerintah mengumumkan proyeksi defisit anggaran 2015 membengkak menjadi 2,6 persen dari produk domestik bruto (PDB). Padahal, pada asumsi APBN 2015, defisit anggaran yang disetujui dipatok pada kisaran 1,9 persen dari PDB Indonesia.
Namun, siapa sangka bahwa realisasi penerimaan pajak kita jauh di bawah target. Target pajak sebesar Rp 1.294,3 triliun sepertinya sangat sulit, jikalau tidak musykil, tercapai. Per tanggal 4 November 2015, laporan Ditjen Pajak mencatat penerimaan pajak hanya sekitar Rp 774,4 trilliun atau tidak lebih dari 60 persen target yang ditentukan. Agar anggaran negara tahun ini tidak bocor, Kementerian Keuangan membuka wacana agar pemerintah kembali berutang.
Persiapan yang diambil pemerintah untuk menambah beban utang negara di tengah badai resesi ekonomi yang tidak kunjung henti ramai menuai opini masyarakat. Ada yang menolak dan meminta pemerintah untuk lebih transparan terhadap pengelolaan anggaran belanja dan penerimaan negara.
Alasannya, banyak kebijakan dalam paket kebijakan ekonomi pemerintah yang dianggap masih belum berpihak kepada ekonomi sektor riil dan mikro—tulang punggung perekonomian bangsa ini. Kebijakan fiskal pemerintah juga dipandang memenangkan korporasi dan konglomerat tanpa memperhitungkan multiplier effect bagi distribusi pendapatan dan kesejahteraan rakyat.
Ada golongan masyarakat yang masih traumatik terhadap utang negara karena memori krisis keuangan tahun 1997-1998. Akibatnya, rakyat khawatir bahwasanya ancang-ancang pemerintah untuk menambah utang hanya akan menggerus kekuatan finansial negara ini di tengah-tengah ketidakpastian iklim ekonomi domestik dan global.
Namun, apakah utang merupakan jalan satu-satunya untuk mengatasi masalah defisit?
Selain mengurangi belanja, menambah beban utang negara merupakan kebijakan fiskal yang biasa diterapkan oleh banyak negara ekonomi maju dan berkembang ketika negara mengalami defisit anggaran. Secara teori, menambah beban utang dianggap tidak akan membahayakan potensi pertumbuhan ekonomi suatu negara selama kebijakan tersebut memenuhi beberapa syarat.
Pertama, potensi utang digunakan untuk membiayai pembangunan dan proyek produktif yang dijangkakan dapat menaikkan produktivitas dan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan rakyat. Ini artinya, utang itu aman selama hasil investasi lebih besar daripada ongkos utang dan cicilan kredit.
Syarat kedua, kebijakan berutang tidak semakin membebani risiko perekonomian dan keuangan negara, baik risiko saat ini maupun di masa yang akan datang. Hakikatnya, jangan sampai anak cucu kita terbebani oleh utang negara yang nilainya terus membengkak.
Syarat ketiga, berutang tidak mengurangi kedaulatan pemerintah dalam mengambil keputusan dan kebijakan makroekonomi. Kreditor asing dilarang keras untuk terlibat di dalam proses dan pengambilan kebijakan ekonomi negara debitur demi menjaga kepentingan nasional dan asas kedaulatan ekonomi.
Ketiga syarat ini adalah mutlak agar kebijakan negara menambah beban utang sejalan dengan Nawacita kita dalam menciptakan sistem perekonomian yang lebih sehat, maju, dan menyejahterakan rakyat.
Pada praktiknya, utang dapat membahayakan perekonomian suatu negara. Krisis yang melanda beberapa negara di Eropa, seperti Yunani, Portugal, Italia, dan Spanyol memberi pesan dahsyatnya ancaman utang sekalipun negara tersebut tergolong ekonomi maju. Meski dasar dari pengambilan kebijakan pemerintah adalah untuk memenuhi kebutuhan belanja produktif, Indonesia harus tetap waspada dan hati-hati terhadap potensi ancaman dan beban ekonomi dan keuangan yang mungkin timbul akibat dari kebijakan tersebut.
Yang menjadi sulit adalah untuk melihat potensi ancaman dan risiko di masa depan; satu, lima, atau 10 tahun yang akan datang yang diakibatkan utang pemerintah saat ini. Tidak ada yang tahu dengan pasti apakah kondisi perekonomian domestik dan global di masa depan masih lesu ataukah semakin membaik.
Selain itu, banyak hasil riset post-crisis Yunani yang menunjukkan kontribusi relatif utang negara terhadap pertumbuhan ekonomi. Kontribusi relatif ini mengindikasikan bahwa pengaruh utang terhadap perekonomian tidak selamanya positif.
Pada 2012, contohnya, Reinhardt dan Rogoff memperkenalkan debt threshold atau level aman utang yang berbeda-beda pada setiap negara. Ini artinya, utang mungkin aman dan berpengaruh positif sebelum mencapai titik di mana utang pasti berdampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi.
Menyadari dampak tersebut, sejumlah ahli ekonomi dunia menawarkan beberapa proposal kebijakan fiskal alternatif. Robert J Shiller, pemenang Nobel Ekonomi dari Universitas Yale, merekomendasikan growth linked bonds atau surat berharga negara yang didasari oleh pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Senada dengan Shiller, mantan direktur pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Abbas Mirakhor juga menyuarakan sekuritas berdasarkan pertumbuhan ekonomi riil dalam jenis ekuitas.
Menurut Mirakhor, growth linked equity atau ekuitas berbasis pertumbuhan ekonomi adalah sekuritas yang paling aman yang dapat menciptakan ruang fiskal yang lebih besar bagi pemerintah sekaligus arena baru agar rakyat dapat berpartisipasi langsung dalam pembangunan. Sesuai dengan namanya, dividen ekuitas tersebut tentunya dihitung berdasarkan faktor PDB atau produktivitas ekonomi sektor riil sehingga beban dan risiko keuangan pemerintah berkurang dan mampu meningkatkan kemampuan menejemen risiko anggaran.
Jika dikeluarkan secara ritel, ekuitas ini akan menjadi produk investasi baru yang dapat meningkatkan penghasilan rakyat--terutama kelas menengah--karena keuntungan dari prinsip diversifikasi investasi portofolio. Dengan begitu, alternatif fiskal ini patut dipertimbangkan oleh pemerintah guna menghindari kemungkinan risiko yang ditimbulkan dari kebijakan menambah beban utang.
Pemerintah memang tidak boleh coba-coba dalam mengambil kebijakan ekonomi. Namun, ada baiknya apabila pemerintah dapat mempertimbangkan rekomendasi para ahli ekonomi dunia mengenai sekuritas berbasis pertumbuhan ekonomi. Mengingat pagu utang pemerintah yang terus meningkat berpotensi memperlemah tingkat kepercayaan rakyat terhadap kemampuan dan kinerja pemerintah dalam menciptakan kepastian iklim ekonomi. Karena, pada akhirnya, pemerintah dan masyarakat adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam menciptakan Indonesia yang makmur, sejahtera, serta berkedaulatan dalam ekonomi.(rol)