Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan kajian terhadap pengelolaan dan alokasi dana desa tahun anggaran 2015.
Pengucuran dana desa dari pemerintah pusat dengan total anggaran Rp20,7 triliun itu dinilai memiliki sejumlah persoalan yang membuka celah terjadinya tindak pidana korupsi.
Pelaksana Tugas (Plt) Wakil Ketua KPK, Johan Budi SP, mengatakan sekira 14 permasalahan ditemukan KPK terkait penggelontoran dana untuk desa-desa yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
"Setidaknya, 14 permasalahan itu dibagi dalam empat aspek. Yakni aspek regulasi kelembagaan, aspek tata laksana, aspek pengawasan, dan aspek sumber daya manusia," katanya di Gedung KPK, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.
Ia menjelaskan, persoalan pada aspek regulasi kelembagaan terlihat dari belum lengkapnya regulasi dan petunjuk teknis pelaksanaan keuangan desa. Kemudian, lanjut Budi, ditambah potensi tumpang tindih kewenangan Kementrian Desa (Kemendes) dengan Direktorat Jenderal Bina Pemerintah Desa Kemendagri.
Budi menuturkan, formula pembagian dana desa dalam PP Nomor 22 Tahun 2015 tidak cukup transparan dan hanya didasarkan atas dasar pemerataan. kemudian, pengaturan pembagian penghasilan tetap bagi perangkat desa dari ADD yang diatur dalam PP Nomor 43 Tahun 2014 kurang berkeadilan.
Selain itu, tambah ia, kewajiban penyusunan laporan pertanggungjawaban oleh desa tidak efisien akibat ketentuan regulasi dan tumpang tindih.
"Jadi, jangan sampai pembagian dana desa hanya dilihat dari aspek pemerataan belaka. Padahal kebutuhan desa satu dengan desa lain bisa berbeda. Baik dari sisi geografi dan kebutuhan desa itu sendiri," ujar Johan.
Sementara pada aspek tata laksana, kata Johan, terdapat lima persoalan. Yakni, kerangka waktu situs pengelolaan anggaran desa sulit dipatuhi oleh desa, satuan harga baku barang atau jasa yang dijadikan acuan bagi desa dalam menyusun APBDesa belum tersedia, dan transparansi rencana penggunaan dan pertanggung jawaban APBDesa masih rendah.
"Dan laporan pertanggungjawaban yang dibuat desa belum mengikuti standar dan rawan manipulasi. Serta APBDesa yang disusun tidak sepenuhnya menggambarkan kebutuhan yang diperlukan desa," imbuhnya.
Pada aspek pengawasan, lanjut Johan, terdapat tiga potensi persoalan. Yakni efektivitas inspektorat daerah dalam melakukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan di desa masih rendah, saluran pengaduan masyarakat tidak dikelola dengan baik oleh semua daerah dan ruang lingkup evaluasi dari pengawasan yang dilakukan oleh camat belum jelas.
"Terakhir, pada aspek sumber daya manusia terdapat potensi persoalan yakni tenaga pendamping berpotensi melakukan korupsi karena memanfaatkan lemahnya aparat desa. KPK berpandangan dana desa haruslah mampu memajukan desa," tukasnya.***