Jika hikayat Abu Nawas terkenal dengan dongeng 1001 malamnya, ke depan negeri ini mungkin akan mewariskan satu legenda bertajuk “1001 kartu”. Lelucon ini tidak berlebihan kiranya, menyusul beredarnya aneka kartu (bisa jadi: voucher) yang bisa ditukarkan dengan sejumlah nominal. Bermula dari tiga kartu sakti masing-masing bernama Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Keluarga Sehat (KKS).
Konon, sejumlah kartu lain juga siap diluncurkan. Sepertinya hidup di negeri ini semakin mudah dengan hanya bermodalkan kartu-kartu tersebut. Cukup dengan mengantre berbekal selembar kartu, uang ratusan ribu bisa didapat. Bahkan karena sangat mudahnya, berbisnis kartu pun dilakoni sejumlah oknum tak bertanggung jawab.
Seperti yang diberitakan harian Haluan, Selasa (2/12), ratusan orang di Kelurahan Alai Parak Kopi Kecamatan Padang Utara, tertipu dengan ulah tiga orang IRT (Ibu Rumah Tangga) yang mengaku melakukan pendataan warga guna mendapatkan Kartu Republik Indonesia (KRI). Dengan cukup meyakinkan, ketiganya beroperasi berbekal surat tugas bertuliskan, “Garuda Macan Putih RI 1 Istana Negara Rebublik Indonesia”. Untuk administrasi, setiap warga dikutip bayaran sepuluh ribu rupiah.
Cukup mengagetkan memang! Saya sendiri baru tahu dan mendengar kalau ada yang namanya Kartu Republik Indonesia alias KRI. Ironisnya, aksi tipu-tipu ala ibu-ibu rumah tangga ini justru terjadi di perkotaan yang notabene melek teknologi dan dekat pada pusat pemerintahan. Tapi sang oknum tetap saja nekad melakukan aksinya. Bayangkan bagaimana nasib masyarakat yang tinggal di pelosok desa, nagari, jorong, daerah perbatasan atau pulau terluar negeri ini! Bisa jadi mereka akan ditipu mentah-mentah oleh oknum yang menangguk di air keruh tersebut.
Semua karena satu objek bernama kartu. Ya, kartu-kartu yang bisa menjelma menjadi angka-angka rupiah yang menggiurkan.
Antara Kompensasi dan Kemiskinan Secara teori, peluncuran kartu-kartu sakti oleh Pemerintah Jokowi-JK memang bagus. Namun aturan di atas kertas seringkali tidak linear alias sejalan dengan aplikasi di lapangan. Program kartu yang merupakan pengalihan subsidi BBM tersebut, pada kenyataannya acapkali tidak tepat sasaran.
Kompensasi yang diharap sebagai sitawa sidingin akibat pencabutan subsidi BBM tersebut, juga merupakan copy paste dari program sejenis tahun lalu. Selain itu, ketidakjelasan sumber pendanaan dan terkendala “restu” pihak legislatif membuat program tersebut seperti sebuah pemaksaan alias prematur.
Menurut hemat Saya, setidaknya ada dua hal yang harus menjadi perhatian pihak terkait, jika pemerintah tetap bersikeras melanjutkan program ini. Apalagi jika kemudian muncul pula kartu-kartu jaminan sosial lainnya. Pertama, masalah data penerima bantuan. Pasalnya, kompensasi yang sudah mulai dicairkan oleh PT Pos Indonesia sejak sepuluh hari lalu itu masih menggunakan data lama, yakni data BLSM tahun 2013.
Seperti yang kita ketahui, data BLSM tahun 2013 sangat kacau balau dan banjir protes dari berbagai kalangan, terutama masyarakat penerima kompensasi. BPS sebagai penyuplai data tetap bersikukuh dengan data yang mereka punyai. Kementerian dalam Negeri (Kemendagri) juga kewalahan dan dituding melakukan manipulasi data kependudukan. Dua institusi yang seharusnya bertanggungjawab ini justru saling lempar masalah.
Aparat kelurahan tidak bisa memberikan jawaban ketika masyarakat membutuhkan penjelasan kenapa nama mereka tidak tercantum sebagai penerima dana kompensasi. Sementara, pihak PT Pos Indonesia, sudah terlebih dahulu memproteksi lembaganya hanya sebagai “juru bayar” dengan data-data yang diberikan pihak terkait. Ke mana masyarakat harus mengadu?
Kedua, tumpang tindihnya program kartu-kartu sakti ini dengan sejumlah program pemerintah daerah lainnya. Seperti yang kita ketahui, tidak sedikit program bantuan yang digagas pemerintah daerah kabupaten/kota maupun provinsi, baik berupa bantuan tunai langsung maupun dalam bentuk pembangunan infrastruktur. Salah satu contoh, untuk bantuan pendidikan misalnya, ada bantuan beasiswa dari pihak swasta, CSR BUMN, Baznas dan lain sebagainya.
Di satu sisi, banyaknya bantuan ini bisa meringankan beban masyarakat jika memang tepat sasaran. Namun di pihak lain, justru mendidik masyarakat menjadi manja, malas dan terlena.
Seharusnya kompensasi diberikan dalam bentuk pancingan atau modal usaha guna penguatan sektor ekonomi kecil menengah. Termasuk membuka dan menciptakan lapangan pekerjaan baru. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Pemerintah malah melempar wacana moratorium penerimaan PNS untuk lima tahun mendatang.
Dari sudut pandang ekonomi, hilang atau turunnya daya beli masyarakat justru akan menciptakan kemiskinan baru. Logikanya, orang yang tadinya setengah miskin, sekarang benar-benar jatuh miskin. Yang sudah benar-benar miskin, semakin terpuruk. Selain itu, kompensasi tunai akan membentuk prilaku konsumtif dan menjadikan laju inflasi kian kencang dan merepotkan pemerintah.
Karena itu, pemerintah harus sesegera mungkin melakukan evaluasi atau bahkan menghentikan program bagi-bagi kartu ini. Sebab, jika terus membagi kartu tanpa akurasi data dan pengawasan ketat serta berkeadilan sosial, maka program ini tak ubahnya seperti membuang garam ke laut.***
Penulis adalah pengamat sosial, tinggal di Padang.