Bagaimana perasaan Anda jika sesuatu yang Anda miliki tiba-tiba asing, padahal dari segi fisik, benda tersebut tak berubah sama sekali, bahkan Anda masih menyandang sebutan sebagai pemiliknya? Orang Melayu Riau memiliki pengalaman mengenai hal ini dari berbagai segi. Tak saja berkaitan dengan ekonomi dan politik, juga bahasa.
Ringkas cerita, bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu Riau. Kenyataan ini tentu saja menyebabkan tak sedikit orang Melayu Riau di bawah ambang sadarnya beranggapan bahwa bahasa Indonesia juga bahasa Melayu Riau. Tepat sekali yang dikatakan Sapardi Djoko Damono, salah seorang bintang sastra Indonesia, dalam bukunya bahwa besar kemungkinan hanya orang Melayu Riau dan Jakarta saja yang telah menjadikan bahasa Indonesia bahasa ibu sejak kecil.
Cuma tentu saja, banyak hal yang membedakan antara Melayu Riau dan Jakarta ketika berhadapan dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu. Pasalnya, dalam diri Melayu Riau, ketika menggunakan bahasa Indonesia, ada perasaan kepemilikan asal. Tak demikian halnya bagi orang Jakarta yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu dengan latar belakang keragaman.
Sekarang bayangkan saja diri Anda sebagai orang Melayu Riau yang sedang membaca koran atau majalah. Bagaimana perasaan Anda ketika bertemu dengan kata seronok dalam lembaran yang sedang Anda baca. Dalam bahasa Melayu Riau, seronok berarti sesuatu yang menyenangkan, sementara dalam media yang Anda baca mengarah pengertian pada pornografi.
Mungkin juga Anda menemukan frasa sumpah serapah yang dalam bahasa Indonesia cenderung bermakna sebagai suatu keadaan tindakan berkaitan dengan marah. Namun, dalam bahasa Melayu Riau, kumpulan dua kata itu berhubungan dengan jampi-jampi. Kalau berhubungan dengan marah, sebutannya adalah sumpah seranah. Jadi, keduanya dibedakan oleh satu fonem: antara -p- dan -n-, serapah?-seranah.
Alkisah, banyak lagi contoh yang dapat disebutkan. Namun, contoh-contoh tersebut sudah memadailah menunjukkan arah perkembangan bahasa Indonesia yang tak merujuk pada asal bahasa Indonesia itu sendiri. Hal semacam ini juga terjadi pada memasukkan serapan baru dalam bahasa Indonesia yang mengesampingkan bahasa asalnya, termasuk bahasa daerah lain? tentu saja perlu tulisan tersendiri untuk memperkatakannya.
Sebagai orang Melayu Riau, apa yang Anda lakukan berhadapan dengan kenyataan ini, apalagi kalau Anda seorang penulis? Pasalnya, di Riau sendiri, akhirnya kebanyakan orang mengikuti arus penggunaan kata-kata yang maknanya tak sesuai dengan kata asalnya dan menjadi bahasa ibu Anda dengan tujuan agar dapat dipahami. Di sisi lain, Anda menolak keadaan tersebut dengan alasan-alasan kebahasaan itu sendiri baik ditinjau dari psikologi maupun sosial, disadari atau tidak.
Akhirnya, pikiran dan perasaan Anda berputar-putar sendiri dengan masalah itu yang niscaya mengganggu kreativitas. Jadi, Anda bingung, kan.***