Penulis memang tidak mempelajari bahasa secara khusus, tetapi ketertarikan terhadap kebudayaan dan bahasa telah membuatnya cukup penasaran dan melakukan sedikit penelusuran tentang Bahasa Melayu.
Berikut ini adalah fakta-fakta dan opini yang diberikan terkait Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia, bahasa terbesar di ASEAN dan salah satu yang paling banyak dituturkan di dunia.
Diluar Konteks Bahasa Indonesia
Lebih dari 50 persen penduduk ASEAN adalah penutur "Bahasa Melayu". Dalam konteks ini marilah kita tidak melihat Bahasa Melayu dari segi "nasionalisme", melainkan dari segi linguistik atau ilmu kebahasaan.
Selain Malaysia, melalui Indonesialah Bahasa Melayu dianggap sebagai salah satu bahasa terbesar di dunia. Di luar Bahasa Indonesia itu sendiri, banyak penutur asli dialek Bahasa Melayu di negeri kita, yaitu di Kalimantan, Kepulauan Riau dsk, dan di tempat yang diduga kuat sebagai tanah kelahiran Bahasa Melayu yaitu Pulau Sumatera (Indonesia ada 237.641.326 jiwa di tahun 2010, data BPS).
Secara nasionalis kita memiliki bahasa persatuan yaitu Bahasa Indonesia yang merupakan hasil Sumpah Pemuda pada tahun 1928; Malaysia pula memiliki bahasa nasional yaitu Bahasa Malaysia.
Meski demikian tidak dapat dipungkiri bahwa kedua bahasa nasional tersebut merupakan Bahasa Melayu (ingat, dari segi linguistik, bukan nasionalis). Di Singapura dan Brunei, bahasa ini tetap disebut sebagai "Bahasa Melayu".
Di Indonesia, khususnya kita yang bukan berasal dari Sumatera atau Kalimantan, sering mengasosiasikan Bahasa Melayu dengan Kerajaan Malaysia, padahal Bahasa Melayu dipakai di berbagai daerah di dalam negara kita.
Dengan demikian, Bahasa Melayu sebenarnya memiliki potensi yang amat besar untuk menyatukan negara-negara ASEAN, khususnya bagi orang-orang yang kesulitan belajar bahasa asing lain (misalnya Inggris atau Spanyol) tetapi masih berkehendak untuk bersaing di dunia internasional.
Selain Malaysia, Indonesia, Brunei, dan Singapura, dialek dan varian Bahasa Melayu/Indonesia ditemukan juga di Thailand bahkan Vietnam.
Bahasa Melayu dan Pasar Bebas Asean
Tahun 2015 ini, kita memasuki era Pasar Bebas ASEAN (MEA - Masyarakat Ekonomi ASEAN) dimana penduduk negara-negara ASEAN akan saling melakukan interaksi ekonomi dan budaya dengan lebih bebas.
Sejauh ini Bahasa Inggris adalah bahasa yang paling sering dan secara resmi digunakan di ASEAN. Marilah kita tengok Uni Eropa, dimana selain Bahasa Inggris, ada pula Bahasa Belanda, Prancis, Jerman, dan Spanyol yang digunakan untuk interaksi antarbangsa; di Amerika Latin, Bahasa Spanyol merupakan bahasa pemersatu utama selain Bahasa Inggris.
Pembeda Bahasa Indonesia
Yang membedakan Bahasa Indonesia dengan mayoritas varian Bahasa Melayu di Malaysia, Singapura, dan Brunei adalah tata bahasanya yang dibakukan secara terpisah dengan Bahasa Melayu negara-negara tersebut sebagai bentuk nasionalisme yang penting, mengingat banyaknya bahasa daerah yang kita miliki.
Meski demikian, penduduk Indonesia yang daerah asalnya menggunakan dialek/Bahasa Melayu (Misalnya provinsi-provinsi tertentu di Kepulauan Riau, Sumatera, Kalimantan, dan sekitarnya tetap menggunakan
"Bahasa Melayu" sebagai bahasa lokal mereka layaknya Bahasa Jawa dipakai di Jawa. Selain itu,
Bahasa Indonesia memiliki banyak sekali serapan dari bahasa Belanda. Dalam "Senarai Kata Serapan dalam Bahasa Indonesia" (1996) yang disusun oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (sekarang Pusat Bahasa), disebutkan bahwa bahasa Indonesia memiliki sekitar 3.280 kata serapan dari Bahasa Belanda saja.
Kata-kata serapan tersebut termasuk bahasa sehari-hari yang tidak kita sadari merupakan serapan Bahasa Belanda, tetapi dapat disadari oleh penutur Dialek Melayu non-Indonesia.
Misalnya kata karcis, apotek, dan kantor, yang berasal dari Bahasa Belanda kaartje, apotheek, dan kantoor; sementara dalam Bahasa Malaysia kata yang digunakan adalah tiket, farmasi, dan pejabat.
Meski demikian kita masih dapat memahami pilihan kata (diksi) yang digunakan dalam Bahasa Malaysia (meski pejabat memiliki arti yang berbeda).
Di sisi lain, Bahasa Malaysia menggunakan Bahasa Inggris sebagai acuan kata serapan.
Sebagai Bahasa Antar Bangsa
Bahasa Melayu terbeban sebagai bahasa nasional. Stakeholder (pemangku kepentingan) utama dalam hal ini tentunya Indonesia dan Malaysia yang memiliki penutur bahasa secara signifikan.
Meski demikian, nama resmi varian bahasa yang kita pakai adalah "Bahasa Indonesia" dan bukan "Bahasa Melayu".
Dari segi kepentingan nasional menjadikan "Bahasa Melayu" sebagai bahasa resmi ASEAN mungkin saja dapat mengecilkan arti bahasa-bahasa resmi yaitu "Bahasa Indonesia" atau "Bahasa Malaysia" di mata dunia, padahal kita tentunya mau bahasa nasional kita dikenal secara terpisah dari Dialek Melayu karena nilai-nilai sejarah dan perbedaan ketatabahasaan yang ada.
Dari segi persahabatan "antarbangsa serumpun" dan objektivitas, sebenarnya "Bahasa Melayu terstandarisasi" lebih pantas digunakan sebagai bahasa resmi di ASEAN karena digunakan di lebih dari satu negara yaitu Malaysia, Singapura, dan Brunei.
Seandainya pun bila kita menganggap Bahasa Indonesia tidak sama dengan Bahasa Melayu, penutur asli
"Dialek Melayu" di Indonesia tetap sangat banyak, khususnya di Pulau Sumatera & sekitarnya, Kalimantan, dan beberapa bagian Indonesia Timur.
Dialek Melayu di Indonesia
Berbagai dialek daerah di Indonesia, yang sering kita sebut sebagai Bahasa Manado, Bahasa Ambon, Bahasa Banda, Bahasa Makassar dsb, pada dasarnya adalah "Bahasa Melayu Kreol", yaitu Bahasa Melayu yang telah berasimilasi dengan berbagai pengaruh internal dan eksternal.
Bahasa Melayu Kreol berbeda dengan bahasa-bahasa suku yang ada di daerah-daerah tersebut. Pengaruh tersebut tidak terlepas dari hebatnya nenek moyang kita di jaman kerajaan-kerajaan berabad-abad yang lalu, jauh sebelum ada Indonesia atau Malaysia.
Nusantara masa itu terdiri dari kerajaan-kerajaan besar yang saling berinteraksi dengan Bahasa Melayu sebagai bahasa internasional. Contoh dalam "Bahasa Manado" atau "Bahasa Ambon", "dorang" atau "dong" bermakna "mereka", sebenarnya kata tersebut merupakan kependekan dari kata "dia orang" yang merupakan frasa khas Dialek Melayu.
Bahasa Melayu Piawai
Banyak ahli setuju, bahwa Dialek/Bahasa Melayu Riau adalah akar Bahasa Melayu standar yang ada saat ini, yang secara historis (melalui penemuan prasasti-prasasti) menjadi Bahasa Melayu yang dipertuturkan di Malaysia dan Indonesia (karena persebarannya kerap disebut Dialek Melayu Johor-Riau).
Meski demikian, standarisasi dan perlakuan di kedua negara berbeda, sehingga muncul perbedaan-perbedaan tata bahasa nasional.
Pada 29 Desember 1972, Indonesia dan Malaysia membentuk MBIM yaitu Majlis Bahasa Indonesia-Malaysia, yang kemudian menjadi MABBIM (Majlis Bahasa Brunei Darrusalam-Indonesia-Malaysia) setelah Brunei masuk sebagai anggota di tahun 1985. Belakangan, Singapura pun masuk sebagai pemerhati.
Sejak masa itu hingga kini, MABBIM aktif melaksanakan Sidang Pakar yang menggunakan Bahasa Melayu/Indonesia sebagai bahasa pengantar.
Dalam website tersebut kerap kali digunakan istilah "Bahasa Melayu/Indonesia" yang mengesankan belum adanya konsensus atau penerimaan yang resmi tentang istilah yang paling tepat untuk digunakan tanpa menyinggung salah satu bangsa (khususnya Bangsa Indonesia, karena kuatnya pengaruh sumpah pemuda hingga kini).
Bahasa Melayu Riau, yang notabene adalah salah satu bahasa daerah di Indonesia, seperti merupakan "jalur tengah" yang berdiri di antara Bahasa Malaysia dan Indonesia karena sering dianggap sebagai Bahasa Melayu Piawai, namun apakah mungkin Dialek Melayu Riau dapat distandarisasi sehingga menjadi bahasa pengantar di ASEAN?
Hal ini rasanya kurang mungkin, karena Bahasa Malaysia (yaitu Bahasa Melayu yang distandarisasi) dan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional memiliki kekuatan hukum yang pasti dan pengaruh nasional yang sangat kuat di masing-masing negara/kerajaan.
Namun tidak menutup kemungkinan bahwa Dialek Melayu Riau dapat dijadikan sebagai bahan referensi yang berguna antara kedua bangsa saat menetapkan "tatabahasa penengah".
Alternatif Lain
Bila "Bahasa Melayu" secara spesifik dijadikan sebagai bahasa resmi di ASEAN, hal ini dapat mengecilkan makna Bahasa Indonesia yang secara historis mulai terpisah dari Bahasa Melayu yang dipertuturkan di negara-negara lain.
Orang asing akan tertarik untuk belajar "Bahasa Melayu" dan bukan "Bahasa Indonesia" karena mereka menganggap bahasa tersebut sama. Di sisi lain, bila orang asing belajar bahasa tersebut di Indonesia, ia akan kurang memahami bahasa yang dipakai di Malaysia dan Brunei karena Bahasa Indonesia memilki beberapa perbedaan.
Diperlukan konsensus atau kesepakatan untuk istilah yang digunakan diikuti dengan "tata bahasa penengah" atau setidaknya dibuat panduan/buku saku bahasa yang praktis untuk komunikasi di ASEAN.
Konsensus perlu dicapai tanpa mengorbankan martabat salah satu bangsa. Selain itu, alternatif yang digunakan bisa saja dengan membuat standarisasi baru, misalnya "Bahasa Melayu Nusantara" (baik Malaysia maupun Indonesia sama-sama menggunakan istilah "nusantara") yang mudah dimengerti penutur Bahasa Malaysia maupun Indonesia, atau apa pun itu yang dapat memuaskan kepentingan sosial-politik keseluruhan negara penutur Dialek/Bahasa Melayu.
Pada akhirnya, bila pun tidak ada konsensus, semoga dalam perjalanannya sebagai bahasa nasional, tidak ada perbedaan yang semakin jauh antar Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia (maupun Bahasa Melayu Brunei), karena sebenarnya adanya persamaan dapat menguntungkan kedua belah pihak.
Bagaimana pendapat Anda, perlukah dan bagaimana agar menjadikan Bahasa Melayu/Indonesia sebagai bahasa resmi di ASEAN?***