Tak berapa lama lagi, Negeri Seiya Sekata yang terkenal dengan wisata Bono ini akan berpesta. Tepat 9 Desember mendatang, 193 ribu lebih penduduk kabupaten pecahan dari Kampar ini akan memilih pemimpin untuk lima tahun ke depan, periode 2016 hingga 2021. Ada dua pasang putra terbaik negeri ini yang akan bertarung, pihak incumbent dengan nomor urut satu, Harris dan Zardewan dan pasangan muda, Zukri dan Anas Badrun nomor urut dua. Ke pundak putra terbaik itulah, masa depan negeri ini dipertaruhkan.
Namun, banyak pihak yang dibuat dilema dengan pemilihan secara langsung ini. Kelompok sipil abdi negara, adalah salah satunya. Begitu pula, posisi kepala desa dan aparaturnya. Secara ketentuan, kelompok masyarakat abdi negara yang berseragam Pegawai Negeri Sipil dan pemimpin di desa ini, berada di garis netral. Artinya, mereka tidak akan berpihak sana dan sini. Namun, mereka memiliki hak pilih untuk pemimpin yang dikehendaki.
Suhu politik menjelang helat tiba pun kian memanas. Kedua pihak yang bertarung pun menghembus isu santer, bahwa para abdi negara dan aparatur desa terlibat berpolitik praktis. Alhasil, posisi mereka pun menjadi dilema dan kerap menerima ancaman. Bila saksi dan bukti menyudutkan mereka terlibat berpihak, maka alamat posisi tidak akan nyaman. Bahkan, tak jarang, keberpihakan para Kades dan Aparatur Sipil Negara itu memicu terjadinya konflik. Itu merupakan dilema pemilihan secara langsung.
Agar para ASN bisa hidup nyaman dan tenang, sebaiknya pesta demokrasi itu dikembalikan kepada aturan sebelumnya, bupati dan wakilnya dipilih langsung oleh para legislator atau DPRD. Dari segi efisiensi penghematan anggaran negara, sisi keamanan hingga kenyamanan dan moderatnya, sebaiknya Pilkada Kabupaten/Kota dipilih oleh DPRD saja. Biarkan ASN bisa hidup tenang tanpa dihinggapi rasa khawatir dan dilema. Begitu pula, di tengah masyarakat, tak terjadi saling klaim bahwa pilihannya yang paling pas, yang berpotensi merusak tatanan kehidupan sosial hingga berujung retaknya tali silahturahmi.***