Di tengah gencarnya Negara-negara maju “memerangi” rokok sebagai salah satu penyebab kematian terbesar di setiap Negara, Indonesia yang katanya negara berdaulat dan bebas dari intervensi manapun, memberanikan diri “pasang badan” demi keberlangsungan industri rokok di tanah air.
Aksi nekat penghuni rumah rakyat tersebut bisa dilihat dari bagaimana sepak terjang para politisi mengabdi untuk perusahan rokok dengan cara memasukkan pasal mengenai kretek dalam Draf Rancangan Undang-Undang Kebudayaan yang sekarang lagi digodok oleh wakil rakyat.
Pengabdian oknum anggota dewan yang terhormat kepada korporasi rokok tidak main-main. Lagu lama yang dimainkan dengan gaya baru adalah jurus yang mereka lakukan untuk meloloskan pasal seludupan tersebut untuk mendapatkan payung hukum atas nama undang-undang. Dalam Draf Rancangan Undang-Undang Kebudayaan, dijelaskan bahwa rokok keretek akan dilindungi sebagai warisan kebudayaan yang harus dilestarikan.
Dalam naskah draf, keretek tradisional masuk ayat 1 pasal 37 tentang penghargaan, pengakuan dan perlindungan sejarah serta warisan budaya.
Lebih jelasnya masalah keretek ini dijabarkan dalam pasal 49. Karena itu, pemerintah diminta membuat inventarisasi dan dokumentasi;
menfasilitasi pengembangan kretek tradisional; serta mensosialisakan, mempublikasikan dan mempromosikan keretek tradisional, bakan yang lebih “gilanya” lagi pemerintah wajib membuat festival keretek tradisonal dan melindunginya. Kondisi seperti ini sudah menunjukkan Negara Indonesia sudah berada pada posisi akut, sehingga negara akan menjadi musuh bersama oleh rakyatnya sendiri. Mana ada negara yang masih normal menyediakan payung hukum berisi kewajiban pemerintah memelihara dan bahkan memperluas dan memasyarakatkan tradisi merokok.
Jalan Berliku Kontroversial Keretek
Pantang menyerah mungkin itulah yang pantas disematkan kepada pemain industri rokok. Perusahaan yang akan melahirkan “ahli hisap” tersebut tidak pernah kehilangan akal untuk mempertahankan kerajaan bisnisnya di tengah ancaman global terhadap keberlangsungan rokok atas dalih kesehatan. Berbagai cara sudah ditempuh untuk menggoalkan misi mereka. Mulai dari iklan rokok yang sangat kreatif dan atraktif, masifnya memberikan sponsor-sponsor kegiatan bahkan sampai kepada menyeludupkan pasal-pasal pelaris dalam rancangan undang-undang.
Kalau kita menilik ke belakang, apa yang terjadi tahun 2009 silam, yaitu hilangnya pasal yang menegaskan bahwa tembakau adalah zat adiktif dalam Undang-Undang Kesehatan tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada draf Undang-Undang Kebudayaan. Tahun 2013, mereka kembali mencoba untuk meloloskan “pasal penglaris”. Tiada angin dan tiada hujan, tiba-tiba DPR memasukkan RUU Tembakau dalam program prioritas pembahasan yang belum pernah dibahas sebelumnya yang berakhir kandas karena masyarakat menolak RUU ini. Belum lagi Indonesia masuk dalam 177 negara yang yang menandatangani Kerangka Kerja Konvensi Pengendalian Tembakau (FCTC) yang juga menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan industri rokok sampai kepda tipu muslihat dengan menyelipkan pasal kretek dalam Draf Rancangan Undang-Undang Kebudayaan.
Menakar Keretek Warisan Budaya
Pertanyaan sederhana yang menggelitik adalah apakah pantas kretek dijadikan sebagai warisan budaya? Untuk menjawabnya pertanyaan tersebut kita harus mendudukkan perkara apa yang dimaksud dengan warisan budaya bangsa. Menurut Badan Pendidikan, Sains dan Kebudayaan (UNESCO) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), warisan budaya didefinisikan sebagai “cultural heritage is the legacy of physical artefacts and intangible attributes of group or society that are inherited from past generations, maintained in the present and bestowed for benefit of future generations”. Merujuk kepada terminologi UNESCO tersebut secara terang menderang bahwa warisan budaya harus memberikan keuntungan dan kegunaan bagi generasi mendatang. Berbagai rujukan dalam dunia kesehatan jelas menunjukan bahwa rokok memberikan dampak pada terjadinya peyakit jantung dan pembuluh darah, berkontribusi terhadap kejadian stroke dan penyakit kanker, lantas logika dan alasan apa yang menjadi pembenaran anggota Dewan yang terhormat untuk memasukan kretek adalah budaya bangsa.
Menimbang untuk Rugi
Kalaulah pasal seludupan ini mendarat dengan selamat sejalan dengan disahkannya Draf Rancangan Undang-Undang Kebudayaan ini menjadi undang-undang maka sudah bisa ditaksir snow ball effect yang akan ditanggung oleh pemerintah dan rakyat Indonesia di antaranya adalah; Pertama, legislator kita dalam hal ini DPR sudah menyiapkan perangkat hukum untuk melakukan “pembunuhan massal” oleh rokok. Kedua, penjualan rokok kretek akan meningkat tajam padahal kita tahu bahwa kretek itu berasal dari tembakau yang mengandung zat adiktif yang akan menyebabkan kecanduan. Ketiga, rokok akan menjadi senjata pembunuh massal. Laporan WHO menyebutkan di Indonesia pada tahun 2010 telah tewas 190.260 jiwa yang disebabkan oleh penyakit akaibat merokok dengan bahasa sederhana ada kematian 500 orang perhari.
Laporan tersebut juga menceritakan bahwa jumlah perokok di Indonesia telah mencapai 36 persen dari total populasi atau setara 60 juta orang penduduk Indonesia merokok. Trennya angka itu akan selalu merangkak naik, diprediksi ankan bertengger pada posisi 90 juta jiwa di tahun 2025 nanti. Perkara yang sangat menyayat hati adalah 19 persen dari “ahli hisap” tersebut adalah generasi produktif yang berumur 13-15 tahun. Bagaimana generasi emas Indonesia pasca tahun 2025 nanti.
Keberlangsungan Indonesia ke depan terletak pada tangan anggota dewan yang terhormat. Di hadapannya ada dua pilihan; pragmatisme sesaat dengan meloloskan pasal seludupan penglaris rokok atau menolak untuk kemaslahatan ummat yang lebih banyak. Hanya dengan mempersempit ruang gerak iklan dan promosi rokok, menolak segala bentuk intervensi cukong rokok dalam mendikte Negara serta menaikan tarif rokok 10 persen per tahun layaknya seperti dilakukan oleh Malaysia harapan Indonesia bisa meminimalisir jerat raksasa pembunuh massal bernama rokok bisa terelakan. Salam anti Rokok.***