Simpang siur dan kegaduhan tentang kunjungan Presiden Joko Widodo ke Amerika Serikat masih terus berlanjut. Pihak Kementerian Luar Negeri RI secara keras mengeluarkan statementnya, bahwa tidak ada keterlibatan makelar dalam pertemuan pemimpin kedua negara tersebut.
Ketika bantahan tersebut dikonfrontasikan dengan dokumen autentik yang bernama service agreement, maka bantahan akan keterlibatan konsultan asing semakin kehilangan maknanya. Kasus ini bukan semata masalah hukum internasional, tapi juga mengandung hukum perjanjian yang pihaknya bukan negara (nonstate entity), yakni perusahaan konsultan dengan perusahaan konsultan yang tunduk pada ranah privat.
Sebagai para pihak yang terlibat adalah Pereira Internasional Pte Ltd dengan R and R Partners Inc. Pereira Internasional sebagai konsultan internasional berbasis di Singapura yang memiliki kliennya, yakni Pemerintah RI.
Mengingat butir kesepakatan dalam perjanjian tersebut diantaranya adalah menyukseskan pertemuan dua kepala negara, maka tentu hal ini tidak sekadar domain privat, tapi merupakan domain publik yang sangat sensitif dan sakral. Sebagai langkah selanjutnya Pereira Internasional mensubkontrakkan kepada R&R Partners Inc yang berkedudukan di Las Vegas, Amerika Serikat, dan ditandatangani pada tanggal 8 Juni 2015 melalui sebuah service agreement.
Apabila merujuk pada service agreement khususnya butir kedelapan, secara eksplisit ditegaskan bahwa, "Registrant will provide consulting and lobbying services to foreign principal (Pereira Internasional, Penulis) as relates to foreign principal's client, the Republic of Indonesia, services will include arrange and attend meetings with key policymakers and member of congress, address joint session of congress during president Widodo's visit to us to support efforts of president Widodo".
Selanjutnya, pada butir kesembilan secara autentik service agreement menyebutkan bahwa, "Registrant will communicate the importance of the republic of indonesia to the US focusing on the areas of security, commerce, and the economy. Registrant will arrange meeting with members of congress and their staff and the department of state. Registrant will seek to secure an opportunity for president widodo to address a joint session of congress during a visit to us".
Sudah terang benderang bahwa berdasarkan butir delapan dan sembilan service agreement, Indonesia sebagai kliennya foreign principal dalam hal ini Pereira Internasional Pte Ltd yang selanjutnya melakukan perjanjian dengan R&R Partner Inc. Dokumen service agreement secara tegas menyebutkan bahwa pemerintah Indonesia dan Presiden Joko Widodo secara berulang-ulang. Apakah hal tersebut belum cukup akan status dan posisi pemerintah Indonesia dan Presiden Joko Widodo sesungguhnya dalam kontrak tersebut?
Investigasi
Hal yang urgent bagi pemerintah adalah melakukan penyelidikan mengapa Pereira Internasional melakukan kontrak tersebut, apa motif dari kontrak tersebut, siapa doen pleger (yang menyuruh melakukan), siapa yang turut serta melakukan (uitloker), membantu melakukan (medepleger) termasuk siapa yang membayarkan consultant fee sebesar 80 ribu dolar AS.
Secara logika, ketika pemerintah Indonesia bahkan kepala negara Republik Indonesia secara berulang-ulang disebutkan dalam service agreement tersebut, maka Presiden Joko Widodo patut diduga sebagai pihak yang memberikan perintah atau setidak-tidaknya atas sepengetahuan dan seizin Presiden Joko Widodo.
Sungguh menjadi tidak penting ketika Pemerintah Indonesia mendesak Michael Buehler yang merilis dokumen tersebut untuk melakukan klarifikasi dan pertanggungjawaban. Justru sebaliknya kita harus berterima kasih pada Buehler. Hal ini karena Buehler yang memunculkan skandal ini ke permukaan dan membuka mata dan kesadaran publik akan karut marut birokrasi, politik, diplomasi, dan bisnis tercampur baur dalam suatu skandal yang bernama Joko Widodo-Obama gate.
Sedangkan di sisi lain, apabila merujuk pada substansi perjanjian, sesungguhnya Pereira Internasional dapat menggugat pada R&R yang telah melakukan wanprestasi, yakni tidak melakukan apa yang telah diperjanjikan dalam service agreement, yakni adanya sesi dengan Kongres AS dan para pembuat kebijakan yang berpengaruh di Amerika Serikat.
Sementara, Presiden Joko Widodo hanya dipertemukan dengan Presiden Barack Obama. Sungguh memilukan dan memalukan.***
*) Dosen Hukum Internasional Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.