Tragedi dugaan suap yang menerpa Legislatif Riausepertinya tak pernah berujung. Setelah kasus duagaan suap PON tahun 2012 yang menerpa gubernur Riau dan sejumlah anggota Dewan, kini tragedi itu terulang dengan kasus yang berbeda yakni soal suap APBD.
Secara tersirat, memang dua persoalan itu memang masuk dalam substansi APBD tapi itu dikemas dengan cara yang berbeda. Dan keduanya juga ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dengan persoalan ini tentunya sebagai bagian masyarakat Riau jelas prihatin. Status sebagai anggota Dewan terhormat, harus dibayar mahal dengan sangkaan yang disampaikan KPK.
Kasus APBD 2015, persoalan dugaan gratifikasi dana aspirasi, gratifikasi janji pinjaman mobil dinas hingga kepada dugaan gratifikasi suap masing-masing Rp40 juta, begitu menarik didengar.
Memang sejak otonomi daerah dilontarkan awal tahun 2000-an, pengesahan APBD 2015 yang diusulkan di atas Rp10 triliun merupakan pengesahan tercepat dalam sejarah Provinsi Riau. Ini dibahas setelah Dewan yang terhormat membahas dan mengesahkan APBD-P 2014 hanya berselang beberapa hari.
Dan dalam perjalanan ternyata, pendesakan pengesahan APBD 2015 atas keinginan Gubernur Riau dengan dalil anggota Dewan periode 2014-2019 akan disibukan dengan persiapan internal, sehingga dikuatirkan pengesahan yang dilakukan Dewan baru akan memakan waktu lama. Sehingga disarankan anggota Dewan lama karena pengalaman sudah membahas lima kali APBD Riau.
Memang, dalam perjalanan itu pula, tidak semua anggota Dewan yang akan purna bakti setuju membahas. Namun, mungkin diduga ada janji-janji yang disampaikan penguasa Riau ke Dewan, maka dengan dalil rasa tanggungjawab sebagai Legislatif maka keinginan tersebut berjalan sebagaimana mestinya.
Akan tetapi usai perjalanan pembahasan berlangsung, Riau kembali dikejutkan KPK mengamankannya GubernurRiau Annas Mammun atas dugaan suap RTRW. Tetapi setelah dikembangkan ternyata menjurus kepada persoalan suap pengesahan APBD tahun 2015. Dan proses itu berlanjut menyeret sejumlah anggota Dewan dengan dalih menerima suap yang digelontorkan uang sebesar Rp1,2 miliar.
Ternyata uang itu, sesuai catatan oknum mantan anggota Dewan rencananya akan didistribusikan kepada sejumlah anggota Dewan, dan ternyata hanya segelintir yang terbukti menerima.
Dari catatan ini jelas saya kecewa, apakah dalam perjalanan lima tahun menyandang status sebagai anggota Dewan tidak cukup fasilitas yang diberikan pemerintah. Apalah arti Rp40 juta dibandingkan fasilitas yang sudah diterima selama ini.
Berharap Dewan sekarang becermin dengan kondisi sekarang ini. "Pemerintah menjalankan APBD, setelah itu kita dapat apa," ujar segelintir Dewan, yang diucapkanya tanpa sadar saat pembahasan RAPBD-P 2015. Ini artinya dia juga berkeinginan dapat gratifikasi.***