Bersyukur, karena republik kita ini dihuni oleh orang orang beragama sekaligus merupakan negeri terbesar didunia pemeluk islamnya. Kita bersyukur pada Allah karena atas izin-Nya Islam masih eksis di negeri kita. Memang Allah tidak menjamin Islam akan ada sepanjang masa di suatu wilayah termasuk di Indonesia. Kita bersyukur karena sudah ada kecenderungan perempuan perempuan Islam menutup aurat walaupun belum sepenuhnya memenuhi ketentuan Islam. Kita bersyukur ada kecenderungan peningkatan aktivitas majelis majelis talim, wirid-wirid pengajian. Kita bersyukur setiap tahun jumlah orang menunaikan ibadah haji cenderung meningkat walaupun dengan antrean begitu lama. Kita bersyukur Musabaqah Tilawatil Quran tetap terlaksana dari waktu ke waktu, malah sudah banyak yang hafal Alquran. Kita bersyukur karena masih tetap ada peringatan peringatan hari besar Islam dan banyak lagi kecenderungan-kecendrungan positif seperti senang memakai pakaian Islami walaupun meniru-niru pakaian negeri lain (timur tengah dan asia selatan). Dengan kondisi seperti ini, logika dan akal sehat akan mengatakan bahwa ajaran Islam cenderung pula teramalkan dengan baik atau negeri ini akan dipandu oleh nilai-nilai Islam.
Risau, karena yang terjadi justru kecenderungan sebaliknya. Maksud hati memeluk gunung, apa daya gunung meletus. Logika dan akal sehat tadi belum muncul dalam keseharian umat beragama. Kita risau masih banyak rambu-rambu agama dilabrak. Kita risau kemungkaran merajalela ke seluruh lapisan. Kita risau kejujuran dan keteladanan semakin hilang. Kita risau karena akhlak sudah menjauh padahal inti ajaran Islam adalah akhlak dan tauhid. Kita risau karena begitu beratnya beban yang dipikul oleh negeri kita ini, ulah umatnya sendiri. Kita risau pilar pilar keadilan dan pendidikan roboh satu per satu. Kita risau entah ke mana lagi asa mau diusung karena semua sudah tercoreng.
Seolah-olah ada gerakan terselubung mengajak : Mari kita hancurkan negeri ini dengan cara kita masing-masing. Eksekutif dengan cara dia, legislatif dengan cara dia pula, yudikatif begitu pula, PNS, guru, murid, pemuda dan pengusaha dengan cara mereka pula. Maka muncullah asumsi bahwa negeri ini telah bergeser dari negeri yang beradab menuju negeri yang biadab. Kenapa bisa terjadi kondisi ini?
Jawaban pertama adalah karena ajaran Islam belum dijadikan kebutuhan pokok kehidupan. Ajaran Islam hanya sekadar diketahui, belum diamalkan dengan baik. Islam hanya sekadar simbol simbol, terutama bagi sebagian besar pemimpin pemimpin dan politisi Islam. Jawaban berikutnya adalah karena masih mengambang atau tidak tuntas pemahaman agama terutama antara tujuan ajaran Islam dengan rukun Islam serta rukun iman. Masih banyak menganggap tujuan Islam adalah salat, puasa, zakat, haji dan tauhid.
Padahal yang demikian sudah jelas jelas merupakan rukun atau syarat, bukanlah tujuan. Apabila rukun Islam dan rukun iman serta syariat-syariat lainnya diamalkan dengan baik maka diyakini tujuan Islam akan tercapai. Tujuan Islam adalah: agar kehidupan umat manusia berjalan aman, damai, tenteram dalam bingkai akhlak mulia dan tauhid yang mantap. Disebut juga tujuan Islam itu adalah negeri Baldhotun Thoyyibatun Warobbun Ghofur, dengan karakternya Rahmatan lil’alamiin. Apabila tujuan tidak jelas, diyakini perjalanan akan “terganggu”.
Jawaban ketiga adalah gagalnya pendidikan dan dakwah Islam melahirkan manusia manusia cerdas yang berakhlak mulia. Dakwah jarang sekali dievaluasi, apalagi ada rekonstruksi dakwah. Dakwah lebih fokus bagaimana kita bahagia di akhirat kelak sedangkan kebahagiaan dunia terabaikan. Lembaga pendidikan sebagian besar beorientasi bisnis dan hanya sebagai mesin pencetak ijazah.
Pendidikan karakter dan integritas juga terabaikan. Dengan demikian jangan heran output pendidikan dan dakwah belum mencerminkan manusia manusia berkarakter islami.
Simbol simbol keagamaan oke, namun nilai nilai agama terabaikan. Inilah yang disebut: Agama hanya formalitas. Solusinya? Tentu berusaha keras mempositifkan penyebab penyebab yang menimbulkan kerisauan kerisauan diatas.
Jadikanlah ajaran Islam sebagai kebutuhan pokok kehidupan keseharian kita. Insya Allah diyakini negeri kita betul betul menjadi negeri yang Baldhatun Thoyyibatun Warobbun Ghofur. Wallahua’lam
Pemerhati sosial keagamaan.