Rencana pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Kebakaran Lahan dan Hutan atau asap berakhir antiklimaks. Rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Jumat malam, (30/10), menolak pembentukan pansus tersebut karena belum mematuhi mekanisme tata acara persidangan. Padahal sebanyak 171 anggota dewan dari sembilan fraksi telah menyetujui lahirnya pansus asap.
Keberadaan pansus sesungguhnya adalah bagian penting dari fungsi pengawasan dewan. Fungsi ini signifikan dalam mengawal setiap kebijakan pemerintah yang menyangkutkepentingan rakyat. Termasuk tragedi kabut asap yang melanda sebagian Sumatera dan Kalimantan yang telah meluluhlantakansendi-sendi kehidupan rakyat, bahkan telah menelan korban jiwa dan ratusan ribu rakyat terjangkit penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
Namun sebagian anggota dewan dan publik melihat pembentukanpansus asap sarat politisasi dan berpotensi melahirkan bias, sengketa serta kecurigaan politik antara sesama anak bangsa. Artinya, urgensitas pansus asap tidak berada pada level mustahak dalam menyelesaikan kabut asap. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal.
Pertama, rakyat membutuhkan aksi nyata bukan sekedar turut berbelasungkawa atau berduka cita. Sebab derita sebagian rakyat sudah berbulan-bulan dalam ketidakpastian dan terus mengosumsi udara yang tidak layak alias berbahaya bagi kesehatan. Bahkan negara dirasa tidak hadir dalam kehidupan rakyat. Baru belakangan ini perhatian pemerintah terasa agak serius ketika kabut asap sudah sampai langit Jakarta dan menelan korban jiwa. Sebelumnya masih menganggap kabut asap belum masuk kategori,” Indonesia darurat asap”,. Persis dengan penanganan kasus narkoba, ketika sudah mengorbankan anak penguasa dan sudah menjadi korban, baru dilakukan operasi besar-besaran.
Kedua, aroma politisnya lebih mendominasi. Bagaimanapun pansus adalah kerja politik yang sulit dipisahkan dari kepentingan politik. Jangankan hasilnya nanti yang ditengarai sarat kepentingan politik, melahirkan wadah pansus saja sudah dicium memiliki sensasi politisasi. Alhasil, pro kontra menyelubungi proses lahirnya bayi pansus asap, baik dari sesama anggota dewan maupun dari pemerintah. Seperti ungkapan ketua DPR Setya Novanto yang menilai pansus tidak perlu, dan pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla bahwa keberadaan pansus hanya akan menyita waktu menteri saja.
Ketiga, momentumnya yang tidak tepat. Sebab musibah asap telah berlangsung tiga bulan lebih dan telah merusak berbagai dimensi kehidupan rakyat. Apalagi pada tanggal awal Nopember ini anggota dewan memasuki masa reses. Masa kunjungan anggota DPR ke daerah pemilihannya itu akan berlangsung selama dua minggu. Artinya masa reses akan mengganggu kinerja pansus sehingga tidak optimal dalam menjalankan tugasnya.
Pesan Rakyat
Kendatipun pansus asap gagal terbentuk, namun pemerintah harus menangkap signal wacana pansus asap sebagai peringatan kepada pemerintah untuk bekerja lebih maksimal dan optimal dalam menangani kabut asap. Komando pemadaman harus terintegrasi dengan baik, bukan bekerja sendiri-sendiri. Sehingga banyak potensi yang saling tunggu atau tidak bergerak secara simultan. Koordinasi dengan pemerintah daerah harus terbangun dengan baik.
Pemerintah Jokowi-JK harus membaca kegelisahan dan penderitaan rakyat dengan bijak. Jangan timbun kekecewaan rakyat dengan sikap dan pernyataan politik yang tidak pro rakyat. Rakyat daerah yang terpapar asap sudah muak dengan perilaku pejabat yang hanya mementingkan para korporasi dan cukong-cukong yang menikmati hasil hutan dan kekayaan Indonesia. Sakit hati rakyat bertambah perih dengan berhembusnya isu bahwa pemerintah tidak akan melansir ke publik perusahaan atau korporasi yang terindikasi melakukan pembakaran.
Sudah saatnya pemangku kekuasaan negeri ini meletakkan kepentingan rakyat dan masa depan anak cucu bangsa dalam prioritas utama dalam menjalankan hala tuju membangun negara dan bangsa. Jangan lagi menggadaikan hutan kepada segelintir korporasi hanya untuk meraup pundi-pundi ekonomi yang notabene kenikmatan sesaat tapi laknat bagi rakyat. Jangan jual murah nyawa-nyawa anak negeri ini dengan stempel hutan tanaman industri (HTI) atau perkebunan yang meluluhlantakkan hutan. Akibatnya, tanah negeri ini terus menjadi tempat singgah musibah.
Dunia telah mencatat bagaimana perlakuan kejam Indonesia terhadap hutan, bahkan tercatat dalam World Guinness Book of Records sebagai negara yang laju kerusakan hutan tercepat di dunia. Kerusakan atau ancaman yang paling besar terhadap hutan di Indonesia adalah penebangan liar, alih fungsi hutan menjadi perkebunan, kebakaran hutan dan eksploitasi hutan secara tidak lestari baik untuk pengembangan pemukiman, industri, maupun akibat perambahan.
Khusus untuk kebakaran pada tahun 2015 di estimasi melebihi tahun 1997-1998, di mana lahan yang terbakar pada tahun tersebut menurut kajian yang dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional bersama Bank Pembangunan Asia (ADB) mencapai 9,75 juta hek tar. Forest Watch Indonesia pun mencatat kerusakan hutan di Indonesia dari tahun terus meningkat, sampai saat ini saja sudah mencapai 2 juta hektar per tahun. Alhasil 72 persen hutan asli Indonesia telah musnah, bahkan selama 50 tahun terakhir telah berkurang dari 162 juta hektar menjadi 98 juta hektar.
Oleh karena itu lahirnya pansus asap sejatinya memberikan harapan kepada rakyat agar pemerintah mereformasi pengelolaan hutan dan mengumumkan pelaku yang merusak hutan serta menegakkan hukum dengan seadil-adilnya. Semoga” terkaparnya” pansus asap bukan indikasi untuk menutupi akar permasalahan asap dan pesan rakyat dengan selubung politik asap.Wallahu’alam.***