Aktivis lingkungan di Riau menghargai pemberian sanksi kepada perusahaan terkait kebakaran hutan dan lahan di Sumatera, tetapi mereka mempertanyakan kenapa sejumlah perusahaan kelas kakap 'tidak disentuh'.
Koalisi pemantau pengrusakan hutan di Riau mengatakan, pemerintah juga dapat memberikan sanksi lebih tegas dengan membawa kasusnya ke pengadilan serta mewajibkan perusahaan-perusahaan tersebut membayar ganti kerugian kepada warga yang terdampak kabut asap.
"Pemberian sanksi itu merupakan langkah cepat, cukup menjanjikan. Tapi, kita lihat nanti, apakah langkah serupa juga akan dilakukan terhadap perusahaan-perusahaan besar yang terdeteksi dan tercatat ada titik api dan mengalami kebakaran tiap tahun di wilayah konsesinya," kata aktivis koalisi pemantau pengrusakan hutan (Eyes on the forest) di Provinsi Riau, Afdhal Mahyuddin, dikutip dari BBC Indonesia.
Sebelumnya, empat perusahaan di Sumatera dikenai sanksi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait kebakaran hutan dan lahan.
Perusahaan yang izinnya dibekukan adalah PT LIH (Riau), PT TPR (Sumsel) dan PT WAJ (Sumsel), sementara PT HSL (Riau) dicabut izin usahanya.
Perusahaan-perusahaan itu harus menghentikan semua kegiatan operasional di lapangan dan memenuhi kewajibannya, seperti melengkapi peralatan pencegahan kebakaran.
Sanksi ini didasarkan berita acara Satuan tugas khusus (Satgasus) Kementrian Lingkungan hidup dan Kehutanan. Mereka saat ini telah mengunjungi 286 lokasi bekas terbakar di Sumatra dan Kalimantan.
Bayar ganti rugi
Lebih lanjut Afdhal Mahyuddin mengatakan, dirinya tidak terlalu heran saat mengetahui bahwa pemerintah telah membekukan izin PT LIH.
"Karena, pada 2013 lalu, mereka telah menjadi tersangka dan sampai sekarang belum disidangkan," kata Afdhal.
Demikian pula, Afdhal tidak terlalu terkejut saat pemerintah mencabut izin usaha PT HSL di Riau. "Wajar saja, karena sudah lama tidak aktif," tambahnya.
Namun demikian, lanjutnya, pemerintah seharusnya dapat memberikan sanksi serupa, atau yang lebih tegas, terhadap perusahaan-perusahaan besar lainnya yang selama bertahun-tahun melakukan pelanggaran serupa.
"Catatan kita, ada beberapa perusahaan konsesi yang terindikasi melakukan tindakan pelanggaran. Herannya, mereka tidak dicabut izinnya atau diberi sanksi," kata Afdhal.
"Saya pikir perlu tindakan terhadap perusahaan berskala besar atau kelas kakap," tambahnya.
Dia juga mengusulkan, sanksinya seharusnya lebih dari sekadar pembekuan atau pencabutan izin usahanya, seperti membawa kasusnya ke pengadilan pidana atau perdata.
"Mereka juga harus membayar ganti rugi kepada masyarakat yang terdampak luas akibat kabut asap," katanya lebih lanjut.
Saat ini, tim KLHK mengunjungi 286 lokasi bekas terbakar di Sumatera dan Kalimantan.
Lebih lanjut dikatakan, KLHK mengatakan, perusahaan yang dibekukan izinnya wajib melengkapi sarana dan prasarana yang belum dipenuhi untuk mengurangi potensi kebakaran.
Pembekuan akan berdampak pencabutan izin jika perusahaan tersebut bersalah di pengadilan, kata pejabat KLHK.***