PASIR PENGARAIAN (HR)- Paska mendesak PT Torus Ganda segera mengembalikan sekitar 50 hektarr milik ulayat di Luhak Tambusai, kini giliran perusahaan induknya PT Torganda didesak tokoh adat untuk segera menyerahkan tanah ulayat sekitar 2.480 hektare.
Upaya penyelesaian, Lembaga Adat Melayu (LAM) Rohul menggelar mediasi Rabu (21/1) antara tokoh adat Luhak Tambusai dengan manajemen PT Torganda, di Kantor LAM Rohul. Sayangnya, perusahaan mengirimkan orang yang tidak berkompeten, sehingga tidak bisa mengambil keputusan.
Ketua Tim Penyelesaian Hak Ulayat Luhak Tambusai, Mahyudin mengatakan lahan persukuan Luhak Tambusai sekitar 2.480 hektare masih dikuasai PT Torganda dan anak perusahaannya, seperti di Mahato dan Rantau Kasai Kecamatan Tambusai Utara. Perusahaan ini ini menguasai tanah persukuan di Desa Tambusai Timur, Kecamatan Tambusai.
Mahyudin menjelaskan ada tiga poin tuntutan tokoh adat Luhak Tambusai. Pertama pengembalian lahan 2.840 ha, kedua masalah hutang piutang warga yang tidak habis sampai saat ini. Terakhir masalah produksi seluruh kebun pola bapak angkat yang tidak jelas.
Agar lebih konsentrasi, pada mediasi di Kantor LAM Rohul kemarin dibahas terkait desakan tokoh adat atas lahan persukuan Luhak Tambusai 2.480 ha yang belum diserahkan oleh perusahaan milik DL Sitorus tersebut.
Mahyudin mengakui lahan milik kelompok tani Tambusai, dari 13 ribu ha yang dikelola PT Torganda, baru sekitar 812 hektare direalisasikan perusahaan.
"Kalau kita ambil kasarnya, dari 40 persen total lahan, seharusnya realisasi lebih dari 812 hektare," kata Mahyudin saat istirahat mediasi dengan manajemen PT Torganda di Kantor LAM Rohul.
Selain masalah konflik lahan, PT Torganda juga dinilai kerap terlibat dengan tokoh adat di Luhak Tambusai. Perusahaan raksasa di bidang perkebunan kelapa sawit berlokasi di Kecamatan Tambusai Utara itu masih terus menambah luas arealnya, tanpa memikirkan konflik di belakang hari.
Sementara itu, Ketua LAM Rohul Tengku Rafli Armien mengakui mencuatnya konflik antara anak kemenakan di Luhak Tambusai dengan PT Torganda karena ada perjanjian atas lahan persukuan 2.840 ha yang belum selesai.
Sesuai perjanjian, ribuan hektare lahan persukuan dikelola oleh perusahaan dengan sistem bagi hasil 60 persen perusahaan 40 persen warga.
"Masalah ini yang belum duduk sampai sekarang. Karena anak kemenakan hanya mendapatkan 1,8 hektare per orang," jelas Tengku Rafli.
Ditanya adanya desakan dari tokoh adat Luhak Tambusai agar luas lahan PT Torganda diukur ulang, menurut Tengku Rafli, bukan hanya perusahaan DL Sitorus saja yang diukur ulang. Namun, seluruh areal perusahaan di Kabupaten Rohul harus diukur ulang.
"Karena ada dugaan, lahan mereka (perusahaan, red) sudah tidak sesuai izin dari Kementerian Kehutanan," tegas Tengku Rafli.
Menurut Kepala Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Rohul ini, jika dilakukan ukur ulang seluruh areal perusahaan sesuai izin Kementerian, dia yakin bahwa seluruh konflik sosial bisa diminimalisir.
"Tentukan titiknya menggunakan GPS, sehingga kita bisa tahu lahan sebenarnya," kata Tengku Rafli dan mengakui LAM akan lebih mengutamakan nasib anak kemenakan dan keturunannya.
Tengku Rafli mengungkapkan konflik tokoh adat di Luhak Tambusai dengan PT Torganda sebenarnya sudah lama terjadi. Sejak perusahaan itu ekspansi di Kabupaten Rohul banyak konflik pecah.
Seperti pada 1996 silam, anak kemenakan di Mahato terlibat cekcok dengan PT Torganda. Menyusul, satu tahun setelahnya, pada 1997, cekcok menjalar ke daerah Dalu-dalu. Selain rumah dibakar, Kantor Camat Tambusai juga ikut terbakar.
"Kabarnya ada juga korban jiwa saat itu. Ini yang kita upayakan diselesaikan," tandas Tengku Rafli dan meminta Kandir PT Torganda di Medan-Sumut untuk ikut campur dalam menyelesaikan konflik berkepanjangan secepatnya.(rtc/esi)