Ditengarai sukarnya pemberantasan kabut asap di Sumatra dan Kalimantan karena ada mafia (kita sebut saja mafia asap) dalam sistem pengelolaan hutan di negeri ini. Apa pun usaha dan program untuk memberantasnya selalu berakhir sesuai dengan kehendak sang mafia.
Maka dalam konteks ini bolehlah negeri kita disebut negeri para mafioso, suatu istilah yang lebih dikenal dalam kartel perdagangan narkotika di Meksiko.
Sang mafia karena dibekali dana berlimpah dan jaringan kekuasaan, dapat mengatur dan mengendalikan semuanya di balik layar. Tinggal perintah dan tekan tombol. Jika pun ada yang tertangkap, si pelaku pembakaran hutan dan lahan (karhutla) hanyalah orang suruhan (kroco) sekaligus menjadi tumbal yang dapat dikambinghitamkan oleh manusia-manusia yang kehilangan nurani.
Sementara, sang mafia duduk berleha-leha di kursi empuk dan minum kopi di hotel berbintang untuk mengatur strategi berikutnya. Bahkan, jika pun ada mafia yang tertangkap, diduga tak lebih dari sekadar pencitraan untuk mengelabui masyarakat (sebenarnya masyarakat pun tidak terkelabui, para aktor mafia saja yang merasa bisa mengelabui) sementara waktu, yang kemudian proses hukumnya juga hilang ditelan bumi.
Kondisi penegakan hukum yang sangat memprihatinkan ini merupakan peluang yang terbuka lebar bagi para aktor mafia untuk menjalankan aksinya. Maka, terjadilah drama demi drama pembakaran hutan di Tanah Air, khususnya di Sumatra dan Kalimantan.
Kemudian, sang aktor mengucapkan selamat tinggal bagi mimpi anak bangsa untuk terbebas dari asap. Siapa pun presiden, gubernur, dan para bupati/wali kotanya, hanya sekadar pergantian pimpinan belaka. Sementara, karhutla dan kabut asap akan menjadi bencana yang sudah ditetapkan sebagai langganan rutin bagi negeri ini setiap tahun, tepatnya sejak 18 tahun silam.
Tidak cukup drama pembakaran dan kabut asap, rakyat pun disuguhkan sandiwara penguasa pusat dan daerah yang saling hujat dan salah-menyalahkan. Sandiwara yang sudah memuakkan untuk dipertontonkan kepada masyarakat.
Pemerintah daerah menghujat bahwa pemerintah pusat tidak sungguh-sungguh. Pemerintah pusat pun tak kalah serunya, menuding bahwa pemerintah daerah kurang sigap dan tangkas mengantisipasinya. Sesekali terdengar pula celaan pemerintah yang menuding pihak swasta yang membandel dan bengal.
Selagi semuanya bisa diatur (dengan uang dan kepentingan syahwat), maka selama itu pula masalah karhutla dan kabut asap akan tetap menjadi bola liar dalam bencana lingkungan di Tanah Air. Siapa yang mengatur siapa? Kepentingan yang mengatur semuanya. Kemudian fulus sebagai barternya. Permainan segitiga nan apik, antara pengusaha hitam, pejabat korup, dan politisi busuk.
Memang tidak semuanya begitu, tapi perbuatan segelintir saja dari orang-orang tersebut sudah cukup untuk menimbulkan bencana lingkungan. Cukup satu titik nira untuk merusak air susu sebelanga, begitu peribahasa mengajarkan kepada kita.
Sebagai perbandingan, di Australia dan California, Amerika Serikat, juga kerap terjadi kebakaran hutan dahsyat dan sukar dipadamkan, yang biasanya terjadi pada musim kemarau yang sangat panjang. Namun, tidak pernah diberitakan bahwa kebakaran itu karena ada pembakaran hutan oleh oknum tertentu. Kejadian memang disebabkan murni gejala alam.
Titik awal dan terpenting untuk menghentikan atau setidaknya meminimalisasi karhutla dan kabut asap di Riau dan Tanah Air pada umumnya adalah melestarikan sumber daya hutan yang masih ada. Hutan tropis yang berada di luar lahan gambut sudah tidak seberapa lagi luasnya.
Dahulu, ada yang beranggapan jika tegakan pohon sudah semakin menipis dan punah, maka kebakaran hutan akan berhenti, selanjutnya kita akan bebas asap. Ternyata, prediksinya keliru. Tegakan pohon semakin punah, tapi kabut asap tak berhenti, bahkan dengan semakin hilangnya tegakan pohon, kebakaran yang ditimbulkannya makin hebat. Aneh tapi nyata.
Masyarakat awam kadang bingung karena tegakan pohon semakin hilang, tapi kabut asap akibat karhutla makin dahsyat. Tetapi, kini masyarakat sudah semakin mengerti bahwa yang terjadi sekarang lebih banyak adalah kebakaran lahan gambut, untuk perluasan perkebunan kelapa sawit serta kegiatan perkebunan dan kehutanan lainnya yang memanfaatkan lahan gambut.
Kenyataan di lapangan menunjukkan, kebakaran hebat yang lebih sukar diberantas adalah kebakaran lahan gambut, yang dahulunya tidak diperhitungkan. Makanya, istilahnya menjadi karhutla.
Pekerjaan rumah pemerintah dan stakeholder terkait sekarang adalah mengembalikan lahan gambut yang ketebalannya mencapai tiga meter kembali kepada keadaaan semula, yaitu lahan basah (wetland) yang dikenal selama ini. Saya kira ini yang pertama dan terpenting dilakukan sekarang.
Bagaimana caranya? Pertama, menutup kembali kanal di areal lahan gambut yang banyak dilakukan oleh korporasi besar. Kanal ini adalah titik awal sumber bencana di kemudian hari. Mengapa? Karena dengan adanya kanal, kandungan air yang berada di lahan gambut lama-kelamaan menjadi kering-kerontang.
Jika lahan gambut semakin mengering, ekosistemnya akan berubah, dan ini memang diciptakan untuk memudahkan pengurusan perkebunan sawit dan usaha hutan tanaman industri (HTI). Akibatnya, jika terjadi musim kemarau yang ekstrem, dengan mudah lahan gambut yang sudah mengering dan berubah akan terbakar. Jika sudah terbakar, sangat sukar dihentikan karena ketebalan dan juga keluasan lahan gambut yang ada.
Sebaliknya, jika lahan gambut dikembalikan kepada keadaan semula, ekosistem lahan basah tersebut akan tetap basah dengan kandungan air yang yang disimpannya sehingga akan lebih sukar untuk terbakar. Selain itu, lahan gambut yang dibiarkan secara alamiah akan kembali ditumbuhi oleh pohon-pohon rindang beraneka ragam yang akan berfungsi untuk menjaga keseimbangan ekologi.
Jadi, langkah utama dan terpenting sekarang adalah selamatkan lahan gambut. Tutup kanal-kanal yang ada dan biarkan lahan gambut seperti keadaan sebelumnya. Biarkan lahan gambut tumbuh dan berkembang secara alamiah.
Jadikan lahan gambut yang ada di Riau dan tempat lainnya sebagai lahan konservasi abadi. Di samping itu, hutan tropis yang masih tersisa di luar lahan gambut tetap dilestarikan.
Apakah bisa melakukannya? Mampuhkah berhadapan dengan mafia asap? Mampukah memejamkan mata dari duit asap? Pertanyaan yang sukar untuk dijawab. Wallahu a'lam.(rol)
Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Islam Riau
Oleh: Apriyan D Rakhmat