Kembali kita disuguhkan dengan usulan kontroversial. Di mana publik terutama aktivis antikorupsi dikejutkan dengan laku wakil rakyat yang sangat berambisius untuk merevisi Undang-undang 30/2002 tentang KPK. Padahal banyak persoalan di negeri ini seharusnya mendapatkan perhatian yang lebih serius dan dibenahi. Bukannya mengusik sesuatu yang telah mapan.
Misalkan asap, kemiskinan, kondisi ekonomi yang semakin terpuruk, rancangan Undang-undang tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana dari tahun 1960-an sampai sekarang masih saja belum rampung sehingga kita tetap tunduk dengan produk kolonial tersebut, dan sebagainya. Tapi apalah daya, merekalah pilihan rakyat itu.
Ada 3 poin krusial yang diusulkan dalam revisi itu. Pertama, KPK hanya menangani perkara yang nominal kerugian negaranya adalah Rp50 miliar. Kedua, KPK tidak berwenang menangani perkara korupsi para penegak hukum. Ketiga, masa kerja KPK dibatasi hanya selama 12 tahun.
Sistem Checks and Balances
Di negeri ini, untuk membuat undang-undang maupun revisi terhadap undang-undang, ada dua pihak punya posisi tawar yang sama-sama kuat. Para pihak tersebut adalah DPR dan Presiden.
Jika usulan revisi undang-undang itu berasal dari DPR, apakah usulan DPR itu menjadi undang-undang atau tidak, Presidenlah yang menentukan. Jika Presiden menolak, maka selamanya tidak akan pernah menjadi undang-undang. Begitu juga dengan revisi undang-undang KPK usulan DPR hari ini. Oleh karenanya, mari kita nantikan drama ini. Sebab usulan DPR ini bukan ditolak oleh Presiden, namun hanya ditunda.
Begitu juga sebaliknya. Jika usulan revisi undang-undang itu berasal dari Presiden, maka DPR-lah yang menentukan apakah usulan itu menjadi undang-undang atau tidak. Jika DPR menyetujuinya, barulah usulan itu akan menjadi undang-undang. Jika tidak, selamanya tidak akan pernah menjadi undang-undang. Sebab undang-undang adalah produk bersama DPR dan Presiden.
Pasal 20 Ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa, “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”.
Dalam kajian hukum tata negara pola seperti ini disebut dengan sistem checks and balances (saling mengawasi dan menyeimbangi). Ketika usulan DPR merugikan rakyat, maka Presiden katakan tidak. Begitu juga kalau yang merugikan itu datangnya dari Presiden, maka DPR pula yang mengatakan tidak.
Nah, bagaimana ketika usulan revisi DPR itu misalkan secara jelas merugikan rakyat atau rakyat merasa dirugikan, namun Presiden menyetujuinya sehingga usulan revisi itu menjadi undang-undang termasuk usulan revisi Undang-undang KPK?
Dulu, undang-undang tidak dapat digugat, sebab konsep yang dibangun adalah supremasi politik (legislatif/eksekutif). Ketika belum direvisi atau diubah oleh DPR dan Presiden, undang-undang tersebut tetap berlaku. Jadi masyarakat tidak bisa berbuat apa-apa. Misalkan yang paling ketara betul untuk melindungi penguasa ketika itu adalah Undang-undang Subversi yang mengekang kebebasan untuk berpendapat, Undang-undang Golkar dan Partai Politik yang memberikan kedudukan istimewa pada Golkar, Undang-undang Referendum yang “memustahilkan” perubahan atas UUD 1945, dan sebagainya.
Dan sekarang, masyarakat ada tempat untuk mengadu, sebab konsep yang kita bangun pascaamandemen UUD 1945 adalah supremasi konstitusi. Pasal 24 C Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar,...”.
Andaikata ada yang merasa dirugikan dengan keberadaan sebuah undang-undang, maka yang bersangkutan dapat menggugat undang-undang tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Jadi dalam hal ini Mahkamah Konstitusilah yang mengontrol produk DPR dan Presiden itu. Lagi-lagi sistem checks and balances turun tangan dalam hal ini.
Sejarah mencatat, banyak undang-undang yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Beberapa kali Mahkamah Konstitusi tidak hanya membatalkan beberapa pasal dari sebuah undang-undang, bahkan semua pasal dari undang-undang tersebut. Salah satunya adalah Undang-undang 7/2004 tentang Sumber Daya Air. Dari undang-undang ini, satu pasalpun tidak ada yang tersisa lagi. Semuanya dicabut oleh Mahkamah Konstitusi. Undang-undang 7/2004 itu memberikan kebebasan tanpa batas kepada pihak swasta (pengusaha) untuk mengkomersialisasikan air melalui industri air kemasan dan ini tentu saja merugikan masyarakat. Sebab sumur-sumur warga menjadi kering terutama di daerah-daerah Jawa. Pengusaha dilegalkan untuk menyedot air sesuka hati.
Karena itu menurut Mahkamah Konstitusi, undang-undang tersebut bertentangan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa, seharusnya undang-undang dibentuk berdampak kepada kemakmuran rakyat, bukan membuat nasib rakyat menjadi tak karuan. Terlebih lagi ini adalah air. Untuk mengisi kekosongan hukum, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Undang-undang Sumber Daya Air yang lama berlaku kembali.
Hebat bukan? Undang-undang yang dibuat oleh 560 anggota DPR plus 1 orang Presiden bisa diluluhlantahkan minimal oleh 5 orang hakim Mahkamah Konstitusi.
Memang undang-undang lahir dari proses politik, bukan berarti juga DPR dan Presiden boleh sesuka hati. Karena itu, andaikata terjadi revisi Undang-undang KPK, Presiden menyetujui usulan DPR itu, maka gugat saja ke Mahkamah Konstitusi. Untuk hal ini, Mahkamah Konstitusi bisa kita andalkan.***
Dosen dan Pembina Himpunan Mahasiswa Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Riau. E-mail: wiraibnuhajar@yahoo.co.id