Kalaulah boleh saya menggunakan nomenklatur “saudara kandung” yang tak diinginkan keberadaannya atau bahkan “anak kandung” yang tak diinginkan kelahirannya untuk sebuah lembaga negara, maka dua nomenklatur itu wajar kalau kemudian disematkan kepada Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Tak hanya di masa lampau, kini pun juga masih begitu.
Pertama, sebagai “saudara kandung” yang tidak diinginkan keberadaannya. Saudara kandung DPD ini adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Secara teori, kedua lembaga ini adalah puncak kekuasaan legislatif. Maksudnya adalah untuk mewujudkan check and balances system.
Dari sisi kelahiran, DPR lebih duluan lahir daripada DPD. DPR lahir sebelum amandemen UUD 1945. Sedangkan DPD lahir dari hasil amandemen UUD 1945.
Perihal ketidaksukaan DPR dengan DPD ini tak hanya terjadi di belakang layar, tapi juga di depan layar. Sehingga semuanya pun tau, termasuk DPD itu sendiri.
Secara konstitusi, Pasal 22 D UUD 1945 menyebutkan bahwa DPD dilibatkan dalam pembentukan undang-undang (UU) berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, termasuk juga memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan UU (RUU) yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama meskipun dalam legislasi terbatas. Sebab DPD hanya ikut mengusulkan dan membahas RUU. DPD tidak dilibatkan dalam proses persetujuan RUU itu.
Hal ini sangat berbeda dengan negara-negara lain misalkan Australia dan Amerika yang memiliki 2 puncak kekuasaan legislatif, DPD-nya (Senat) punya posisi kuat berkaitan dengan daerah. DPD punya fungsi legislasi full. Artinya DPD tidak hanya mengusulkan, tapi juga sampai dalam proses persetujuan sebuah RUU.
Sayangnya di negeri ini, sudahlah kewenangan terbatas yang dimiliki DPD, namun “saudara kandungnya” itu kemudian dibantu oleh sahabatnya (Presiden) melalui UU 27/2009 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) dan UU 12/2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) mengebiri kewenangan DPD itu.
Pengebirian ini dapat dilihat dalam beberapa hal. Pertama, kualitas usulan legislasi DPD disamakan dengan legislasi anggota, komisi, dan gabungan komisi DPR. Kedua, DPD tidak dilibatkan dalam seluruh proses pembahasan RUU.
Ketiga, DPD tidak dilibatkan dalam penyusunan program legislasi nasional.
Keempat, termasuk juga bahwa RUU berasal dari DPD menjadi RUU “milik” DPR.
Karena diperlakukan begitu oleh DPR, maka DPD menggugat UU MD3 dan UU P3 itu ke MK. Ada 5 substansi yang dituntut, 4 sebagaimana yang dikebiri oleh DPR di atas dan 1 lagi adalah DPD menuntut agar dilibatkan juga di dalam proses persetujuan UU yang berkaitan dengan daerah.
Melalui Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 Tentang Pengujian UU MD3 dan UU P3, MK mengembalikan kewenangan DPD yang dikebiri oleh DPR dan Presiden itu. Dari 5 tuntutan tersebut, 1 ditolak MK yaitu perihal keterlibatan DPD dalam persetujuan RUU menjadi UU. Secara normatif, Putusan MK ini benar sebab Pasal 22 D UUD 1945 sama sekali tidak memberikan kewenangan persetujuan itu kepada DPD.
Jahatnya lagi adalah, sudahlah ada Putusan MK yang mengembalikan kewenangan konstitusional DPD itu, DPR dan Presiden melalui UU MD3 terbaru, yaitu UU 17/2014 kembali memuat “pasal yang sama”.
Karena itu, DPD mengadu kembali ke MK. Di hari Selasa lalu, tertanggal 22 September 2015, MK melalui Putusan 79/PUU-XII/2014 kembali “mencoret” pasal “kenakalan” DPR dan Presiden itu. Alasan utamanya adalah karena sudah ada Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 di masa lalu.
Kedua, sebagai “anak kandung”. “Ibu kandung” DPD ini adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Ibarat seorang anak, DPD ini tidak dikehendaki kelahirannya oleh sang ibu. Sehingga sang anak tumbuh dengan kekurangan “gizi” (kewenangan). Tentu saja sang anak tak begitu “bermanfaat” keberadaannya.
Dilihat dari sisi sejarah, minusnya kewenangan DPD hari ini tidak terlepas dari penolakan anggota-anggota MPR ketika itu (periode 1999-2004). Terutama dalam hal ini adalah anggota-anggota MPR dari PDIP.
Berbicara PDIP, tentu kita berbicara Megawati. Sang ketua umum inilah paling ngotot bahkan sama sekali tidak menginginkan DPD itu lahir. Alasan Megawati adalah karena negara kita negara kesatuan. DPD itu identik dengan negara serikat. Bagi Megawati, keberadaan DPD ini merusak sendi-sendi NKRI.
Di sisi lain, anggota-anggota MPR dari Partai Golkar menginginkan DPD ini ada. Bahkan partai dengan lambang pohon beringin ini mengusulkan DPD dengan segala kewenangan yang mumpuni, termasuk untuk diberikan kewenangan menyetujui RUU yang berkaitan dengan daerah menjadi UU.
Harus diakui bahwa Fraksi PDIP dan Golkar adalah 2 fraksi terbesar ketika itu. Tentu saja tarik menarik atau tawar menawar ada di tangan mereka. Dua fraksi ini yang paling berpengaruh.
Golkar menginginkan DPD kuat. Sedangkan PDIP tidak. Golkar menginginkan pemilihan presiden (pilpres) putaran kedua tetap melalui rakyat andaikata tidak ada satupun pasangan calon yang meraih suara 50%+1. Sedangkan PDIP menginginkan itu melalui MPR.
Singkat kisah, perbedaan pandangan itu kemudian berimbas ke DPD. Sebab PDIP kemudian mau menerima usulan Golkar bahwa pilpres putaran kedua tetap melalui rakyat dengan catatan kewenangan DPD tidak full seperti di negara-negara lain. Alasannya, kita adalah negara kesatuan. Dan mengenai usulan ini Golkar pun sepakat. Jadilah DPD yang kekurangan “gizi” seperti yang terjadi sampai hari ini. Ini sejarahnya. Kita harus tau itu.
Proposal Diajukan
Secara teori ada dua cara perubahan terhadap UUD. Pertama, perubahan formal. Perubahan ini lebih sulit, bahkan kalau boleh dikatakan “hampir mustahil”.
Sebab syarat perubahannya begitu rigid. Dimana di Indonesia disulkan oleh 1/3 anggota MPR, dihadiri oleh 2/3 anggota MPR, dan terakhir disetujui rancangan UUD itu menjadi UUD oleh 50%+1 dari keseluruhan anggota MPR.
Kendatipun DPD berkali-kali mengusulkan perubahan itu, hal ini pun tidak menjamin akan terjadi perubahan. Sebab anggota DPD sedikit sekali. Dimana tidak sampai 1/3 anggota MPR. Jadi butuh dukungan saudara kandungnya juga, DPR. Tapi lagi-lagi, jangankan perubahan UUD 1945, melalui UU pun DPR selalu mengebiri kewenangan DPD.
Kedua, melalui jalur informal. Di mana teksnya (pasal) tidak mengalami perubahan, tapi maknanya sudah berubah. Salah satunya adalah melalui penafsiran hakim. Di Indonesia melalui penafsiran Mahkamah Konstitusi (MK).
Perubahan melalui jalur informal ini sudah berkali-kali dilakoni MK. Salah satunya adalah ketika MK memberanikan diri untuk menguji peraturan pemerintah pengganti UU (Perppu). Padahal menurut teks UUD 1945, kewenangan MK itu adalah menguji UU, bukan Perppu.
Oleh karenanya, karena begitu sulitnya perubahan secara formal itu, sudah seharusnya MK memberanikan diri lagi untuk melakukan terobosan bermakna berikutnya. Dan sesungguhnya dua kali pengujian yang lalu, MK diharapkan memanfaatkan moment itu. Sayangnya, MK melewatkannya.***
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Riau.
Oleh: Wira Atma Hajri, SH, MH